CBT Jadi Solusi Remaja yang Kesulitan Membangun Komunikasi Interpersonal dalam Lingkungan Sosial
Eduaksi | 2024-08-13 20:49:22Memahami Social Environment
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan sanggup menjalani kehidupannya tanpa keterlibatan manusia yang lain. Wisnuwardhani & Mashudi (2012) mengatakan bahwa seseorang akan terus-menerus mencoba menjalin hubungan dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Lingkungan sosial menjadi salah satu faktor eksternal terbesar yang turut andil dalam pembentukan karakter dan tingkah laku dari masing-masing individu. Remaja akan melakukan t(Ni’mah Suseno, 2009)indakan tertentu karena mendapat pengaruh dari lingkungan sekitarnya, baik tindakan yang sesuai atau tidak sesuai dengan norma di masyarakat. Menurut Dewantara (2010) lingkungan sosial terbagi menjadi tiga, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Permasalahan Remaja dalam Social Environment
Tidak bisa dipungkiri pengaruh lingkungan yang begitu besar terkadang menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi sebagian orang. Kebanyakan individu yang merasa kesulitan dalam beradaptasi berasal dari kalangan remaja. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmah, dkk. (2014) mengungkapkan bahwa masih banyak remaja yang belum mampu menyesuaikan diri dalam menjalin hubungan yang baik dengan lingkungan sekitarnya. Kemampuan beradaptasi memang sangat diperlukan agar kita bisa survive ketika lingkungan sedang memperlakukan kita secara tidak ramah. Dalam berkomunikasi atau berinteraksi, individu perlu menyesuaikan diri agar terciptanya keseimbangan antara individu dengan lingkungannya.
Menurut Mu’tadin (2006) salah satu tanggung jawab remaja dalam fase perkembangan masa remaja pertengahan dan remaja akhir, mereka dituntut untuk mempunyai social skill yang mumpuni agar dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Comb dan Slaby (dalam Gimpel & Merrel, 1998) mengatakan bahwa social skill adalah kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan sosial, dengan sebuah cara yang spesifik, yang bisa diterima atau bernilai serta saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Salah satu bentuk interkasi sosial yang umum terjadi di sekitar kita adalah membangun komunikasi interpersonal antarsesama.
Membangun Komunikasi Interpersonal yang Efektif
Fenomena remaja yang sulit menyesuaikan diri juga bisa terjadi ketika remaja tidak mampu membangun komunikasi interpersonal yang baik dalam lingkungan sosialnya. Definisi komunikasi interpersonal menurut Hardjana (dalam Suseno, 2009) adalah komunikasi yang dilakukan antara beberapa individu secara tatap muka, artinya pengirim bisa menyampaikan pesan secara langsung dan dapat diterima serta ditanggapi secara langsung oleh penerima pesan. Komunikasi interpersonal menjadi suatu proses sosial saling memengaruhi orang-orang yang terlibat didalamnya. Komunikasi interpersonal yang efektif adalah ketika pesan mampu diterima dan dimengerti serta direalisasikan oleh penerima pesan melalui tindakan secara suka rela.
Suranto (2011) menjelaskan ada lima hukum dalam membangun komunikasi interpersonal yang efektif dan terkenal dengan singkatan REACH yaitu Respect, Empathy, Audible, Clarity, dan Humble. Dalam komunikasi interpersonal salah satu sikap yang perlu diterapkan adalah saling menghargai. Pada dasarnya manusia selalu ingin dirinya dihargai tetapi mereka lupa untuk melakukan hal yang sama kepada manusia lainnya. Ketika kita harus mengkritik seseorang, maka lakukanlah dengan cara yang baik. Sikap saling menghargai juga dapat meningkatkan kualitas hubungan manusia.
Rasa saling menghargai saja tidak cukup untuk membangun komunikasi interpersonal yang efektif. Dalam berkomunikasi kita harus bisa menempatkan diri kita pada situasi dan kondisi yang dialami orang lain. Komunikasi tidak hanya mengandalkan kemampuaan berbicara, kemampuan mendengarkan juga menjadi aspek penting dalam proses komunikasi. “Mendengarkan” berbeda dengan hanya sekedar “mendengar” karena ketika kita mendengarkan, kita berusaha untuk memahami pesan yang disamapaikan oleh orang lain. Pada kenyataannya semua orang bisa berbicara, tetapi tidak semua orang bisa untuk dijadikan sosok pendengar yang baik. Menjadi pendengar yang baik bisa menjadi salah satu bentuk upaya kita dalam menghargai dan berempati dengan orang lain.
Selama proses komunikasi berlangsung, pesan yang disampaikan harus dapat dipahami dan mudah dimengerti dengan baik. Agar pesan yang disampaikan mudah dipahami dan dimengerti, seseorang harus bersikap terbuka sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Sikap terbuka juga dapat menumbuhkan rasa percaya (trust) antara satu sama lain. Apabila dalam komunikasi interpersonal tidak adanya keterbukaan, sangat memungkinkan terjadinya trust issues. Ketika trust issues itu muncul, seseorang akan mengalami keraguan dalam menerima pesan yang disampaikan.
Trust Issues Menghambat Proses Komunikasi Interpersonal
Memiliki Trust Issues dapat diartikan bahwa seseorang memiliki kecurigaan terhadap orang lain karena orang lain dianggap tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kondisi tertentu (Covey, 2006). Seseorang dengan trust issues tidak bisa sepenuhnya percaya untuk bertindak atas tindakan, perkataan, dan keputusan orang lain bahkan sering berpikir bahwa orang lain bertindak dengan cara yang sengaja merugikan mereka (Deutsch et al., 2000). Komunikasi interpersonal dikatakan berhasil apabila pesan yang disampaikan dapat dipahami dan diterima dengan baik, serta mampu direalisasikan oleh orang lain atau penerima pesan. Ketika trust issues muncul proses komunikasi interpersonal tidak akan berjalan efektif. Seseorang akan mengalami keraguan dalam menerima pesan yang disampaikan dan tidak dapat menjadi sebuah motivasi untuk dirinya melakukan tindakan berdasarkan perkataan orang lain.
Mengatasi Trust Issues dengan CBT
Menurut Jhonson (2008) trust issues merupakan masalah yang dapat diselesaikan menggunakan psikoterapi. Ada banyak metode yang diketahui efektif dalam mengatasi permaslahan ini. Salah satu diantaranya adalah dengan Cognitive Behavioral Therapy (CBT). CBT merupakan terapi yang berfokus pada pikiran dan perilaku pasien. Dalam buku Psychology In Your Life proses CBT dilakukan dengan merestrukturisasi atau mengganti pola pikir pasien yang negatif menjadi pola pikir yang positif (Grison & Gazzaniaga, 2019).
Melalui CBT seseorang akan dibantu untuk menemukan dan memahami terkait akar masalah dari trust itu sendiri. Trust issues biasanya berawal dari pikiran. Seorang remaja yang mengalami trust issues cenderung memiliki pola pikir negatif terhadap orang lain. Perilaku seseorang bersinergi juga dengan pola pikir. Oleh karena itu, CBT dapat dijadikan sebagai suatu trobosan untuk mengatasi masalah kepercayaan atau trust issues.
Referensi
Covey, Stephen. M. R. (2006). The speed of trust: The one thing that changes everything. Free Press.
Deutsch, M., Coleman, P. T., & Eric C. Marcus. (2000). The handbook of conflict resolution: Theory and practice (second). Jossey-Bass.
Dewantara, K. H. (2010). Membangun Kepribadian dan Watak Bangsa Indonesia. Pustaka Belajar.
Grison, S., & Gazzaniaga, M. S. (2019). Psychology In Your Life.
Ni’mah Suseno, M. (2009). Pengaruh Pelatihan Komunikasi Interpersonal Terhadap Efikasi Diri Sebagai Pelatih pada Mahasiswa The Effect of Interpersonal Communication Training in Improving Self Efficacy as a Trainer Among College Students.
Rahmah, S., Ilyas, A., & Nurfarhanah, &. (2014). Masalah-Masalah Yang Dialami Anak Panti Asuhan Dalam Penyesuaian Diri Dengan Lingkungan. 3. http://ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor
Wisnuwardhani, D., & Mashudi, S. F. (2012). Hubungan Interpersonal. Salemba Humanika.
Johnson, S. M. (2008). Attachment and emotionally focused therapy: Perfect partners. In J. Obegi & E. Berant (Eds.), Clinical applications of adult attachment. New York: Guilford Press.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.