Kenangan Sabun Muka
Kisah | 2024-07-24 20:49:49Aku membuat busa di tanganku dari sabun kolagen yang dipotong dadu itu, lalu meratakan sabun itu di wajahku. Ke kanan, ke kiri, ditambah pijatan sedikit. Jangan lupa daerah pinggir hidung dan bawah bibir yang kadang luput dibersihkan. Selesai dengan relaksasi wajah, aku membuka keran air, membasuh kembali wajah itu. Ah, segarnya.
Aku kembali ke kamar, mengambil selembar tisu dan membasuh wajah basahku. Menatap cermin. Wajahku selalu tampak bersinar setelah dicuci. Aku menyukai wajahku. Ada empat tahi lalat yang berdekatan di pipiku, aku selalu bilang ke temanku bahwa itu seperti rasi bintang dan wajahku adalah galaksinya.
Wajahku termasuk bersih. Kalau bukan karena kesadaran diri merawatnya, mungkin hasilnya tidak seperti ini. Mengilas balik, ada salah satu sebab yang membuatku mulai mencuci wajahku dengan sabun wajah.
Bandung Barat, 2018.
Aku menatap kemasan kotak berwarna merah muda dan putih itu dengan perasaan campur aduk. Tanpa tanda dan alamat pun, aku sudah tahu siapa pelaku yang menaruh kotak itu di atas mejaku. Mejaku terletak di baris terdepan, paling ujung sebelah tembok. Tidak ada orang lain selain dia yang akan melakukan ini.
Namanya Ammar. Dari sekian siswa laki-laki di kelasku, ia tampak mencolok. Bukan karena ia pintar atau tampan, tapi karena ia menyukaiku.
Pada awalnya, Ammar hanya berani bertanya lewat temanku. Pun menitipkan salam. Makin lama, Ammar makin berani. Mungkin karena gemas melihatku yang pasif. Ia mulai menaruh hadiah-hadiah kecil di atas mejaku. Murid di kelas kami hanya sedikit, dan kursi kami tidak pernah berubah. Bukan hal yang sulit bagi Ammar untuk menaruh benda-benda itu. Awalnya hanya sekedar permen, lalu susu kotak, lalu seplastik gorengan. Rupanya sekarang ia semakin berkembang.
Temanku meraih kotak berwarna merah muda dan putih itu. “Ini sabun wajah, dia mau kamu perhatian sama wajah kamu,” katanya menafsirkan sendiri pemberian yang datang tanpa pemberitahuan apa pun itu.
“Engga, pasti dia curi denger pas kita ngomongin soal kulit, kemaren kamu bilang kulit kamu kering 'kan, makanya dia kasih ini buat solusi masalah kulit kamu,” temanku yang lain berujar menyuarakan pendapatnya.
Aku mengangkat bahu. Apa pun alasannya, aku sudah memutuskan tidak akan menerimanya. Buat apa? Toh, aku bukan tipe yang peduli dengan perawatan wajah. Bedak saja tidak pernah aku pakai. Dalam kaidah kehidupanku, aku menganggap bahwa semakin kamu tidak peduli, hidupmu semakin bebas. Termasuk di soal merawat wajah. Kalau kamu memutuskan peduli dan merawat wajah dengan seabrek produk, banyak hal yang harus dikorbankan. Uang dan waktu adalah pengorbanan terbesar. Jangan sangka skincare itu murah. Temanku sampai rela menyisihkan uang saku bulanannya demi membeli produk skincare dari Korea.
“Jangan dibalikin, kasian dia, pake aja, apa susahnya sih?” Kata temanku.
“Iya nih, aku aja nunggu kapan sih aku di posisi kayak gini? Punya admirer, dapet hadiah dari cowok, kamu kok malah nolak sih.” Kata temanku yang lain.
Aku memutarkan mata. Kami sedang berkumpul di atas karpet di ruang tengah asrama. Kotak berisi sabun itu diletakkan di tengah-tengah kami, menjadi topik utama. Bagi mereka, mungkin ini sekadar kisah cinta remaja. Tapi bagiku, ini menyangkut kehormatan wanita muslimah. Ayah-ibuku mendidikku dengan pondasi Islam yang kuat. Tabu bagiku menerima uluran tangan lelaki asing yang tidak serius. Apalagi di usia remaja seperti ini.
“Iya deh, aku terima, tapi aku ngga mau make,” kataku.
“Yah, terus ngapain terima kalo gitu?”
“Makanya, 'kan mending aku balikin aja,” ujarku melotot.
“Udah udah,” seorang temanku berusaha menengahi. “Kasian kan, dia udah beli, jadi mending kamu terima aja, terus kalo kamu malu pake itu, aku temenin deh. Aku bakal pake juga sabun ini bareng kamu. Jadi kalo dia nanya, kamu bisa bilang, aku yang pake, gimana?” Tanyanya.
Aku menatapnya. Wajahnya tidak bercanda. “Boleh deh,” akhirnya aku menghela napas. Membiarkan mereka bersorak ceria khas anak remaja.
Malam itu untuk pertama kalinya aku mencuci wajahku dengan sabun wajah. Sensasi segar itu ternyata boleh juga. Di pagi hari, aku merasa ada perubahan yang baik di wajahku. Akhirnya aku melanjutkan memakai sabun itu. Sampai ketika akhirnya ia habis, aku sendiri yang membawa langkahku pergi ke sebuah toko herbal, membeli sabun muka dengan jenis yang sama.
Kini, enam tahun berlalu dan aku sudah menjadi seorang mahasiswi di sebuah kampus jauh. Aku tersenyum kecil menatap cermin. Teringat kenangan merah jambu yang mengundang geli. Sampai sekarang pun aku masih memakai sabun itu. Kalau bukan karenanya, mungkin aku tidak akan mulai merawat diri. Setidaknya, aku berterima kasih padanya atas hal itu.
Aku membuka ponselku, membaca pesan yang dikirim bulan lalu ketika aku masih di asrama kampusku. Itu pesan tentang kelahiran anak seorang temanku. Tertulis di sana, yang berbahagia, Ammar dan istri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.