Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Saffana Zahira

Pujian Kok Berujung Pelecehan? Begini Catcalling Dalam Perspektif Komunikasi Islam

Eduaksi | 2022-01-21 01:16:20
Source : Gaelle Marcel

“Switt swittt (bersiul), cewek. Cantik banget sih, sini abang anterin”

“Yang baju merah jangan sampai lolos...”
“Assayang mua’laikum!”

Pernahkah kamu mendengar, merasakan, menghadapi, atau bahkan melontarkan perkataan tersebut di tempat umum kepada orang yang tidak kamu kenal? Aku harap kamu tidak pernah ya.
Ucapan diatas merupakan beberapa bentuk dari catcalling atau street harrasment yang selalu menghantui orang-orang yang aktif berkegiatan di luar ruangan dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Tak pandang gender dan usia, laki-laki atau perempuan, muda-mudi hingga kanak-kanak dapat menjadi korbannya. Meskipun pada kenyataannya, perempuan dinilai lebih dominan menjadi sasaran empuk bagi para predator untuk melepaskan hasrat memuji berkedok pelecehan tersebut.

Omong-omong, kenapa sih catcalling disebut sebagai pujian berkedok pelecehan? Definisi catcalling dilansir dari Merriam-webster.com, “The act of shouting harassing and often sexually suggestive, threatening, or derisive comments at someone publicly”. Adapun maknanya yaitu, “Perilaku berteriak dengan dorongan pelecehan, seringkali terdapat sugesti seksual, mengancam, atau komentar ejekan yang ditujukan kepada seseorang di muka umum”.
Tak bisa dianggap remeh, tindakan catcalling bahkan termasuk kedalam verbal sexual harrasment loh! Yaitu kekerasan seksual verbal (secara lisan) yang bukan hanya dapat menyinggung perasaan sang korban, melainkan pula dapat memicu ketakutan hingga trauma psikis. Hal tersebut dikuatkan oleh data wawancara dalam kanal Youtube Magdalene.id kepada para laki-laki sebagai pelaku dan perempuan sebagai korbannya. Ditemukan fakta bahwa keisengan, ingin kenalan, dan memuji menjadi alasan pelaku melancarkan aksinya. Terkadang pelaku tidak memiliki motif tertentu untuk melakukan catcalling.

Sedangkan menurut korban yang didominasi oleh kaum hawa akan merasa terganggu, takut, tidak nyaman, hingga trauma akibat perilaku catcalling oleh orang yang tidak bertanggung-jawab. Sebab catcalling memang terdengar seperti rayuan manis yang menjanjikan pujian, tetapi sebenarnya hanyalah kesemuan yang berujung pada kekerasan seksual lainnya.

Mirisnya kekerasan dan pelecehan seksual termasuk catcalling masih sering dinormalisasikan oleh pelaku dan masyarakat sebagai tindakan pujian kepada korban yang terkesan sepele dan tidak berdampak negatif. Tak hanya sebagai fenomena sosial yang meresahkan, tindakan catcalling juga terindikasi mencederai komunikasi islam.
Dalam komunikasi islam penyampaian pesan-pesan kebaikan menjadi urgensi bagi para pemeluknya. Terlebih diperlukan atensi khusus pada aspek penyampaian pesan-pesan kebaikan, kebenaran, kemanfaatan, dan keindahan dalam hubungan horizontal kepada Sang Maha Esa, yaitu Allah SWT (hablumminallah) dan hubungan vertikal kepada sesama makhluk hidup (hablumminannaas) yang sesuai dengan tuntunan syariat agama islam yang utama, yakni Al Qur’an dan Hadits.

Semua tindak-tanduk perilaku manusia dalam menjalani hidup telah termaktub kedalam tuntunan syariat diatas dan juga kedalam diri Rasulullah SAW sebagai panutan dan rahmat bagi alam semesta. Rasulullah SAW bersabda: “ Tidak akan lurus amalan seseorang sampai hatinya lurus, dan tidak akan lurus hatinya kalau lisannya belum lurus. Seorang tidak akan masuk surga jika tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (Muassasah al-Risalah, 1421-2001)
Catcalling tergolong sebagai komunikasi antar pribadi secara tatap muka, spontan terlisankan oleh pelaku, dan secara langsung dapat direspon positif maupun negatif oleh korban. Kembali lagi kaitannya dengan komunikasi islam, pelaku catcalling terdeteksi mencederai prinsip komunikasi islam yang sesuai dengan Alquran.

Pertama, qaulan maysuran, ucapan menyenangkan yang mudah dipahami oleh orang lain. Alasan memberi pujian bagi para pelaku catcalling kepada korbannya dipahami oleh pelaku sebagai sarana yang tepat. Namun perkataan yang terlontar dari lisan mereka justru menjurus kepada hal-hal negatif berbau seksualitas yang menyinggung sang korban. Pelaku catcalling tidak paham bahwa qaulan maysuran adalah prioritas seseorang dalam menciptakan komunikasi efektif dengan sesamanya.

Kedua, qaulan kariman, prinsip membangun tata krama dan hormat. Menyoraki perempuan yang lewat di depanmu dengan rayuan bukanlah hal yang tepat jika berniat untuk berkenalan. Disinilah pentingnya qaulan kariman dalam bercengkrama dengan sesama agar tercipta ukhuwah Islamiyyah yang diridhoi oleh Allah SWT.
Dan terakhir, qaulan ma’rufan, mengajak pada kebenaran dan kebaikan. Iseng menjadi alasan utama para pelaku melakukan catcalling, padahal dalam qaulan ma’rufan, lisan yang baik adalah yang dipergunakan untuk berseru kepada Allah SWT dan menghindari perkataan sia-sia.

Dengan mengimplementasikan nilai-nilai komunikasi islam dalam tindakan dan perkataan sehari-hari tak hanya pada fenomena catcalling semata, diharapkan dapat terlahir kesadaran bagi semua untuk saling berperilaku positif antar sesama.......

Penulis : Saffana Zahira (2006015408) | Psikologi Komunikasi 3I | Ilmu Komunikasi UHAMKA

Referensi :

Citrawang, Junihen. Analisis Semiotika Perilaku Catcalling Sebagai Bentuk Kegagalan Komunikasi Antarpribadi Dalam Masyarakat. Surakarta : Universitas Sebelas Maret
Widarti, Lilis. dkk. (2019). Gambaran Prinsip Komunikasi Islam Oleh Hijaber Kontemporer di Instagram
@proudgirl.indo

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image