Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fladyo Pratama

Pembuktian Tindak Pidana Santet Dan Praktik Sihir Menurut KUHP Baru

Rubrik | 2024-07-15 00:00:45

Hukum perlu dianalisis dan dipelajari kembali untuk mengidentifikasi serta menjawab permasalahan yang sedang marak dalam kehidupan masyarakat. Terutama di Indonesia, yang kaya akan budaya. Perbedaan dalam budaya, keyakinan, dan adat istiadat sudah menjadi hal yang umum, terutama dalam konteks kehidupan spiritual atau mistis yang masih relevan hingga saat ini.

https://pin.it/2ceI5qPRb

Indonesia, terdapat berbagai istilah yang mengacu pada kekuatan gaib, seperti khodam,susuk, teluh,santet dan guna-guna. Santet, khususnya, telah menjadi ciri khas di Indonesia. Ilmu sihir ini memiliki nilai yang negatif. Santet sering digunakan untuk melampiaskan iri hati, dendam atau lain nya ke orang lain. Dampaknya bisa sangat merugikan, bahkan hingga menyebabkan kematian dan meresahkan masyarakat. Sulitnya membuktikan kasus santet seringkali membuat masyarakat mengambil tindakan semena-mena yakni “main hakim sendiri” dan menuduh orang yang tidak disukai sebagai pelaku yang menyantet

Tragedi pembantaian dukun santet di Banyuwangi pada tahun 1998 merupakan peristiwa yang mengguncang masyarakat. Lebih dari 250 orang yang dituduh sebagai dukun santet diburu dan dibantai secara sistematis. Kasus ini masih meninggalkan trauma dan stigma bagi keluarga korban hingga saat ini.

Kecemasan masyarakat dalam menghadapi kasus santet disebabkan oleh ketidakmampuan hukum untuk mengkategorikan santet sebagai tindakan kriminal. Akibatnya, banyak korban yang tidak mendapatkan keadilan melalui proses peradilan. Penetapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru telah memberikan kejelasan bagi masyarakat yang merasa hak-haknya terabaikan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,pada Pasal 252 tentang tindak pidana santet,akan tetapi di dalam pasal tersebut tidak di jelaskan definisi mengenai santet. Bunyi pasal 252 kuhp baru adalah sebagai berikut:

(1) Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan,menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV

(2)Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)melakukan perbuatan tersebut untuk mencarikeuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).

Unsur unsur dari pasal tersebut antara lain:

1. Setiap orang

Pelaku Santet Setiap orang yang melakukan santet.

2. Menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa;

3. Dapat menimbulkan penyakit, kematian atau penderitaan mental atau fisik;

4. kepada orang lain;

Dalam UU no 1 tahun 2023, barang siapa yang melanggar Pasal 252 berpotensi dipidana dengan penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda hingga Rp200 juta

Pembahasan

Aturan santet di KUHP baru mengutamakan pada pencegahan praktik santet. hal ini merupakan usaha menambal kekosongan hukum dan respon pemerintah akibat masyarakat Indonesia sebagian masih mempercayai hal-hal gaib Rumusan delik santet dalam KUHP baru adalah delik formil. Ini berarti bahwa jika semua unsur-unsur dari rumusan delik telah terpenuhi, seseorang dapat dikenakan sanksi pidana tanpa memperhatikan akibat dari perbuatannya. Namun, penting untuk dicatat bahwa delik santet tidak berkaitan dengan pembuktian adanya kekuatan gaib, karena hal tersebut berada pada dimensi lain.Konsep mengenai delik santet tidak memuaskan semua pihak. Meskipun ada penolakan, rumusan konsep ini menargetkan perbuatan pelaku santet yang mengumumkan, menyampaikan, menawarkan, dan memberikan jasa” untuk melakukan tindak pidana santet dengan maksud menimbulkan kesengsaraan atau kematian. Dalam Pasal 252, konsep ini sejajar dengan delik “penawaran bantuan untuk melakukan tindak pidana,” mirip dengan Pasal 162 dan 163 KUHP.

Proses pembuktian dalam kasus delik santet bukanlah berdasarkan pada fakta adanya santet itu sendiri. Sebaliknya, fokus lebih pada penawaran atau pengakuan bahwa seseorang dapat melakukan santet. Oleh karena itu, yang dibuktikan bukanlah keberadaan santet, melainkan hubungan antara tukang santet dan orang yang menyewanya. Jika terbukti adanya permufakatan jahat, maka orang tersebut dapat terkena sanksi pidana.

Pembuktian penawaran atau pengakuan bahwa seseorang dapat melakukan santet atau praktik sihir diatur dalam Pasal 184 KUHAP antara lain: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, serta keterangan terdakwa.

1. Keterangan Saksi: Alat bukti ini berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana. Saksi tidak selalu harus mendengar, melihat, atau mengalami peristiwa tersebut secara langsung, tetapi harus memberikan alasan dari pengetahuannya.

2. Keterangan Ahli :Alat bukti ini melibatkan pendapat atau penjelasan dari ahli di bidang tertentu. Ahli memberikan pandangan profesional berdasarkan pengetahuannya.

3. Surat :Dokumen tertulis seperti surat, kontrak, atau bukti lainnya dapat menjadi alat bukti sah. Surat harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar dianggap sah.

4. Petunjuk adalah tanda atau informasi yang mengarahkan pada kebenaran suatu peristiwa. Contohnya adalah sidik jari, jejak kaki, atau barang bukti lainnya.

5. Keterangan Terdakwa Keterangan yang diberikan oleh terdakwa sendiri

Perlu digaris bawahi bahwa pasal 252 kuhp baru merupakan pasal tentang ketertiban umum perlu ada nya sosialisasi tentang pasal tersebut supaya tidak terjadi kesalapahaman di masyarakat.untuk aparat penegak hukum, terdapat kelemahan dalam perumusan konsep Pasal 252 KUHP yang terbaru. Konsep ini tidak dapat mencakup semua praktik sihir atau santet, termasuk

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image