Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Islamy Jamil

Prancis Pascapemilu 2024: Politik tanpa Kepastian Usai Sukses Jegal Sayap Kanan

Politik | 2024-07-08 20:47:02

Ahmad Islamy Jamil

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

FRONT Populer Baru (NPF)berhasil memenangkan kursi terbanyak dalam pemilu legislatif Prancis yang mendebarkan jantung banyak orang di Eropa. Koalisi sayap kiri pimpinan Jean-Luc Mélenchon itu mengandaskan impian partai sayap kanan National Rally (NR) menjadi penguasa baru di negeri Napoleon.

Kendati sukses menjadi pemenang pemilu, NPF gagal memenangkan mayoritas parlemen. Hasil tersebut membuat Prancis kemungkinan besar menghadapi kebuntuan politik.

Associated Press (AP) pada Senin (8/7/2024) ini melansir, gejolak politik tersebut dapat mengguncang pasar dan perekonomian Prancis, perekonomian terbesar kedua di Uni Eropa. Hasil pemilu tersebut juga mempunyai implikasi luas terhadap perang di Ukraina, diplomasi global, dan stabilitas perekonomian Eropa.

Pada 9 Juni lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron membubarkan parlemen dan menyerukan digelarnya pemilu di negara itu. Seruan tersebut menyusul kekalahan partainya dan peningkatan signifikan jumlah pemilih sayap kanan Prancis pada pemilihan anggota Parlemen Eropa.

Dan pertaruhan itu tampaknya menjadi bumerang bagi Macron dan koalisinya yang berhaluan tengah. Menurut hasil resmi yang dirilis pada Senin pagi waktu setempat, pemilu Prancis kali ini menghasilkan tiga kekuatan utama di parlemen. Ketiga poros itu adalah koalisi NPF sayap kiri pimpinan Mélenchon (sebagai pemenang pemilu), blok tengah Macron, dan NR yang anti-Islam beserta sekutunya pimpinan Jordan Bardella.

Presiden Prancis Emmanuel Macron. (Foto: X/@EmmanuelMacron)

Dari ketiga blok utama tersebut, tidak ada satu pun yang mencapai 289 kursi yang dibutuhkan untuk menjadi mayoritas dan mengendalikan Majelis Nasional (DPR Prancis). Untuk diketahui, Majelis Nasional memiliki total 577 kursi dan merupakan lembaga legislatif yang punya kekuasaan lebih besar di Prancis, daripada Senat.

Hasil resmi menunjukkan, 182 kursi menjadi milik NPF, mengungguli aliansi Macron yang memperoleh lebih dari 163 kursi. Sementara partai sayap kanan NR dan sekutunya berada di posisi ketiga dengan perolehan 143 kursi. Meski berada di bawah Front Populer dan blok Macron, NR memperoleh penambahan kursi yang signifikan dibandingkan pemilu sebelumnya pada 2022 yang berjumlah 89 kursi.

Dalam sejarah Prancis modern, komposisi parlemen berimbang (hung parliament) semacam itu dapat memperlemah posisi presiden. Sebab, presiden terancam tidak dapat menjalankan agenda politiknya tanpa kekuatan mayoritas absolut yang mendukungnya di dewan. Apalagi, Perdana Menteri Gabriel Attal yang sama-sama berasal dari koalisi Ensemble dengan Macron, mengajukan pengunduran dirinya pada hari ini. Sementara Macron sendiri masih mempunyai sisa masa jabatan presiden hingga 2027.

Pada Pemilu 2022, aliansi sentris Macron menjadi kelompok terbesar meski tanpa mayoritas absolut. Aliansi tersebut mampu memerintah selama dua tahun dan menarik anggota parlemen dari kubu lain untuk melawan upaya menggulingkan blok tengah tersebut dari kekuasaan. Namun, hanya berselang dua tahun, peta politik Prancis banyak berubah.

Sistem pemilu Prancis dijalankan dengan dua putaran. Pada putaran pertama yang digelar pada 30 Juni lalu, partai sayap kanan radikal National Rally berhasil memimpin dengan perolehan 34,2 persen suara, diikuti oleh aliansi sayap kiri NPF dengan 29,1 persen. Sementara koalisi Ensemble pimpinan Macron meraih 21,5 persen suara. Hasil pemungutan suara di lebih dari 300 daerah pemilihan (dapil) kala itu menunjukkan bahwa para kandidat dari tiga blok utama tersebut berhasil melaju ke putaran kedua.

Dan menjelang pemilu putaran kedua, koalisi Macron dan aliansi pimpinan Mélenchon membuat semacam pemufakatan. Blok tengah dan kiri itu bersatu demi mencegah NR menguasai parlemen. Seperti dikutip dari iNews.id, Macron meminta para caleg dari koalisinya dan para kandidat dari blok kiri yang berada di urutan ketiga di dapil masing-masing pada pemilu putaran pertama, agar mundur dari putaran kedua. Tujuannya adalah untuk mencegah para kandidat sayap kanan NR memenangkan kompetisi, sehingga suara kandidat Ensemble ataupun NPF yang tadinya menempati posisi kedua bisa naik ke posisi atas. Sebagai tindak lanjut atas seruan itu, sedikitnya 190 kandidat dari koalisi liberal Ensemble dan aliansi sayap kiri NPF pun mengundurkan diri dari putaran kedua pemilu.

Hasilnya seperti terlihat seperti hari ini. NR yang memenangkan putaran pertama pemilu dan hampir saja menjadi penguasa parlemen, kini harus terlempar ke urutan ketiga. Taktik yang dijalankan Macron dan blok kiri sukses mencegah kaum sayap kanan radikal berkuasa.

Kini, dengan posisi parlemen yang tergantung tanpa mayoritas, muncul banyak pertanyaan, bagaimana ketiga blok utama tersebut akan bernegosiasi untuk menentukan pemerintahan dan oposisi ke depan. Mungkinkah sayap kiri dan sayap kanan bergabung untuk membentuk kabinet, meninggalkan blok sentris Macron di luar pemerintahan? Atau mana yang lebih berpeluang dibangun untuk mengendalikan parlemen, koalisi kiri-sentris (Mélenchon dan Macron) atau kanan-sentris (Bardella dan Macron)?

Jika selepas putaran pertama pemilu pekan lalu Macron "bersekongkol" dengan sayap kiri untuk mencegah NR menang, apa mungkin dia sekarang beralih membentuk koalisi dengan Bardella demi mengamankan pengaruhnya di parlemen, karena perolehan suara Ensmble notabene berada di atas NR?

Namun jika Macron menggandeng NPF, dia dipastikan menjadi presiden yang lemah, karena blok kiri itu adalah pemenang pemilu. Dia harus merelakan pemerintahan dijalankan oleh blok kiri. Jika ini yang terjadi, Prancis akan berada dalam kondisi kohabitasi, yaitu ketika presiden terpaksa memberikan kursi pemerintahan kepada partai pemenang pemilu yang bukan pendukungnya.

Dalam sejarahnya, seperti dikutip dari Le Monde, Prancis sebelumnya sudah tiga kali mengalami kohabitasi. Yang pertama berlangsung pada 1986-1988 di bawah Presiden François Mitterrand (Partai Sosialis) dan Perdana Menteri Jacques Chirac (Blok Konservatif). Berikutnya terjadi pada 1993-1995, ketika negara itu dipimpin Presiden Mitterrand dan PM Edouard Balladur (Konservatif). Yang terakhir berlangsung pada 1997-2002 di bawah Presiden Chirac (Konservatif) dan PM Lionel Jospin (Partai Sosialis).

Yang pasti, mengutip artikel Ben Hall di Australian Financial Review (AFR) hari ini, ketika kekuasaan kepresidenan lebih lemah dan parlemen tanpa mayoritas justru punya kekuatan lebih, Prancis bakal menghadapi ketidakpastian politik selama berbulan-bulan, dan mungkin bertahun-tahun. ***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image