Menelaah Problem Pikiran Manusia
Eduaksi | 2024-07-02 22:30:25Saya berpikir bahwa banyak orang di zaman ini hidup dalam penderitaan baik mahasiswa, orang tua, bahkan sampai lansia semuanya hidup tidak luput dari penderitaan yang tak kunjung usai dalam hidupnya. Penderitaan itu sebagian besar berasal dari pikiran mereka sendiri. Penderitaan ini sering kali muncul dalam bentuk kecemasan tentang masa depan yang belum pasti dan penyesalan atas keputusan atau tindakan di masa lalu. Ketika seseorang mampu menjaga pikirannya tetap jernih, bebas dari cengkeraman kecemasan dan penyesalan, mereka lebih mampu mengatasi penderitaan dalam kehidupan sehari-hari dengan lebih baik. Pikiran yang jernih membantu seseorang melihat situasi dengan lebih jelas dan objektif, sehingga mampu menemukan solusi yang efektif untuk masalah yang dihadapi.
Jika pikiran seseorang dipenuhi dengan kecemasan dan penyesalan, bahkan hal-hal kecil dapat terasa sangat sulit dan rumit. Pikiran yang terus-menerus dikuasai oleh kekhawatiran tentang masa depan atau penyesalan terhadap masa lalu cenderung membuat hidup terasa lebih berat dan membebani. Penting untuk belajar mengelola pikiran dengan baik, mengurangi kecemasan dan penyesalan, sehingga dapat menjalani kehidupan dengan lebih bahagia di dunia yang fana ini.
Individu yang selalu dibebani oleh pikiran berlebihan akan mengalami kesulitan dalam berelasi dengan masyarakat sekitarnya. Mereka sering kali tidak mampu membantu diri mereka sendiri, yang akhirnya membuat mereka menjadi penghambat bagi orang lain dan bahkan menyebabkan penderitaan bagi orang-orang di sekitarnya. Ketidakmampuan mereka untuk mengatasi beban pikiran membuat mereka tidak dapat melihat dan menghargai kesederhanaan dan keindahan hidup. Kehidupan yang sebenarnya indah dan sederhana menjadi terasa berat dan rumit karena mereka terus-menerus dikuasai oleh kecemasan dan penyesalan. Saya berpikir bahwa manusia zaman ini harus terus belajar mengelola pikiran agar dapat berfungsi lebih baik, membantu diri sendiri dan orang lain, serta menikmati kehidupan yang sebenarnya penuh dengan keindahan dan kesederhanaan.
Kunci untuk mencegah berbagai masalah dalam hidup adalah dengan memahami hakekat dan dinamika pikiran manusia. Setiap konsep yang kita miliki adalah hasil dari proses berpikir kita sendiri. Melalui konsep-konsep itu, manusia merespons berbagai situasi dan keadaan di sekitar mereka. Emosi dan perasaan yang muncul juga merupakan hasil dari konsep-konsep yang terbentuk dalam pikiran kita. Dengan memahami bagaimana pikiran membentuk konsep-konsep ini dan bagaimana konsep-konsep tersebut memengaruhi emosi dan perasaan kita, kita dapat mengelola pikiran kita dengan lebih efektif. Pemahaman ini memungkinkan kita untuk merespons situasi eksternal dengan cara yang lebih konstruktif dan bijaksana, sehingga menciptakan kehidupan yang lebih seimbang dan harmonis
Pikiran manusia memiliki beberapa ciri mendasar yang perlu dipahami secara mendalam. Pertama, pikiran tidak nyata dalam artian bahwa ia bukanlah kenyataan yang konkret, melainkan interpretasi atau tanggapan subjektif terhadap dunia luar. Pikiran dibangun dari abstraksi konseptual atas kenyataan, sehingga apa yang kita alami dan persepsikan seringkali dipengaruhi oleh bagaimana kita mengonseptualisasikan pengalaman tersebut.
Ciri kedua dari pikiran manusia adalah sifatnya yang sementara dan berubah-ubah. Pikiran datang dan pergi seiring dengan perubahan kondisi internal dan eksternal. Sebagai contoh, cuaca yang berubah dapat mempengaruhi mood dan pikiran seseorang. Selain itu, kondisi fisik seperti rasa lapar atau kenyang juga dapat memengaruhi kinerja pikiran kita. Ketika kita lapar, pikiran cenderung menjadi lemah, sedangkan ketika kita merasa kenyang, pikiran berpotensi untuk bekerja secara lebih optimal.
Ciri terakhir adalah kerapuhannya. Pikiran manusia rentan terhadap perubahan dan kesalahan. Apa yang kita pikirkan belum tentu selalu benar, dan keyakinan kita terhadap pikiran kita sendiri dapat mengarahkan kita pada kesalahan dan penderitaan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Kesadaran akan kerapuhan ini memungkinkan kita untuk lebih fleksibel dan terbuka terhadap perubahan, serta lebih hati-hati dalam menilai dan merespons situasi secara tepat. Dengan memahami dan mengelola pikiran kita dengan bijak, kita dapat meningkatkan kualitas hidup dan hubungan dengan orang lain.
Namun demikian, banyak dari kita sering kali mengalami kesulitan dalam membedakan antara pikiran yang muncul dalam benak kita dengan realitas yang sesungguhnya. Sebagian besar orang cenderung menganggap pikiran mereka sebagai sesuatu yang mutlak dan tidak terbantahkan. Mereka percaya bahwa apa yang mereka pikirkan adalah kebenaran yang absolut, dan segala bentuk emosi dan perasaan yang timbul dari pikiran tersebut dianggap sebagai realitas yang tak terbantahkan pula. Kendala utama terletak pada kesulitan untuk menjaga jarak yang sehat antara diri mereka dengan pikiran-pikiran yang muncul.
Pada tahap ini, sering kali terlihat dua reaksi umum yang muncul, yaitu ekspresi dan represi. Ekspresi melibatkan eksternalisasi dari pikiran-pikiran dan emosi yang dirasakan, baik melalui tindakan nyata maupun melalui kata-kata. Biasanya, orang lain menjadi objek dari ekspresi ini, dan sering kali menghasilkan interaksi sosial yang bermasalah. Beberapa orang mungkin merasa tersinggung atau terhina, yang dapat memicu spiral kekerasan yang lebih luas dan lebih merusak.
Di sisi lain, represi merupakan upaya untuk menahan atau menekan emosi dan pikiran yang dianggap tidak pantas atau tidak sesuai dengan norma yang diharapkan. Ini sering kali mengakibatkan tekanan psikologis yang mendalam, karena emosi yang tertekan terus-menerus dapat memunculkan stres yang berkepanjangan. Bahkan, dampaknya bisa jauh lebih serius lagi dalam jangka panjang, dengan potensi mengarah pada munculnya penyakit fisik yang berbahaya seperti kanker atau penyakit jantung dalam tubuh manusia, dan hal ini perlu kita garis bawahi dalam dinamika kehidupan kita zaman ini.
Baik ekspresi maupun represi memiliki konsekuensi yang signifikan dalam kehidupan sosial dan personal seseorang. Ekspresi sering kali menghasilkan masalah sosial yang kompleks, sementara represi cenderung menciptakan masalah internal yang mengganggu keseimbangan emosional dan psikologis seseorang. Banyak dari kita terjebak dalam dilema ini, sulit untuk melepaskan diri dari pengaruh yang kuat dari pikiran dan emosi yang dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari diri kita.
Namun, ada alternatif yang lebih sehat dan produktif yaitu melalui observasi. Observasi mengacu pada proses mengamati dengan seksama segala bentuk pikiran, emosi dan perasaan yang muncul dalam diri kita. Dengan cara ini, kita belajar untuk tidak lagi mengidentifikasi diri kita sepenuhnya dengan pikiran yang muncul. Kita mulai melihat pikiran dan emosi sebagai bagian dari pengalaman sementara dan berubah-ubah, bukan sebagai kebenaran absolut yang harus dipertahankan atau ditekan.
Melalui praktik observasi yang berkesinambungan, kita dapat memperluas kesadaran kita terhadap pengalaman kita sendiri. Kita mulai bertanya pada diri sendiri, siapa sebenarnya yang sedang mengamati semua ini? Kesadaran ini membawa kita melewati identifikasi yang berlebihan dengan pikiran dan emosi kita, menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita yang tidak hanya terbatas pada respons pikiran atau gelombang emosi yang terjadi.
Dengan demikian, observasi memberikan kita kebebasan sejati dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan. Kita tidak lagi terperangkap dalam permainan pikiran yang sering kali membingungkan dan menyesatkan. Sebaliknya, kita mengembangkan ketangguhan emosional dan mental yang memungkinkan kita untuk tetap tenang dan terpusat dalam menghadapi segala tantangan yang mungkin timbul dalam kehidupan sehari-hari.
Observasi adalah salah satu cara untuk mengatasi kebuntuan pikiran yang sering menghambat kita. Melalui observasi, kita memperhatikan semua tindakan kita dengan seksama, dengan apa yang terjadi di dalam pikiran kita. Kita bisa melihat bagaimana pikiran-pikiran bermunculan, berganti dari satu objek ke objek lainnya, serta bagaimana emosi dan perasaan terbentuk dan kemudian mereda.
Dengan melakukan observasi ini, kita menciptakan jarak dengan segala hal yang muncul dalam pikiran kita. Kita tidak lagi terjebak dalam pandangan bahwa semua pikiran dan perasaan itu adalah kebenaran mutlak. Akibatnya, emosi, pikiran dan perasaan tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengendalikan atau mempengaruhi kita sepenuhnya. Kita merasakan kebebasan yang sesungguhnya dalam menghadapi dinamika kehidupan sehari-hari.
Pertanyaan mendasar yang timbul adalah siapa yang sebenarnya melakukan pengamatan ini. Kita menyadari bahwa kita bukanlah identitas dari pikiran kita, juga bukanlah emosi dan perasaan kita, karena semua itu bersifat sementara dan rapuh. Maka, siapakah sebenarnya yang sedang mengamati? Jawaban seperti jiwa atau roh yang sering digunakan, juga hanyalah konsep-konsep yang terbentuk dari pikiran kita dan memiliki sifat yang tidak nyata, sementara, dan rapuh.
Pertanyaan ini membuka dimensi baru dalam pemahaman diri kita. Dengan secara teratur mengajukan pertanyaan, "Siapa yang sedang mengamati ini?", kita semakin sadar akan keberadaan pengamat dalam diri kita. Kesadaran ini memberi kita kekuatan untuk lebih tegar menghadapi segala situasi dalam hidup. Seiring waktu tidak ada lagi emosi, pikiran, atau perasaan yang dapat menguasai atau mempengaruhi kita secara mendalam.
Melalui praktik observasi ini, kita mengembangkan kemampuan untuk mengamati setiap detik pikiran, emosi, dan perasaan yang muncul dan pergi di dalam diri kita. Kesadaran ini menjadi pondasi kekuatan yang membantu kita menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik. Dalam jangka panjang kita merasakan kebebasan yang sejati, di mana tidak ada lagi yang dapat mengendalikan kita kecuali kesadaran diri kita sebagai manusia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.