Kenapa Sakit Hati Lebih Tertanam Dibandingkan Kata-kata yang Menyakiti?
Info Sehat | 2024-12-04 18:46:20Pernahkah kamu ketika dahulu mengalami kejadian yang menyakitkan hal yang kamu ingat justru perasaan kamu pada saat kejadian itu berlangsung? Kenapa ya seakan-akan kita seperti dejavu dengan kejadian yang lalu itu, bukan pada kata-kata yang menyakiti tapi how they make you feel dan ketika pada saat sekarang kamu mengingat kejadian itu lagi yang membekas di batin kamu justru rasa sakit tersebut? Sekeras apapun usaha kamu untuk melupakan kejadian tersebut tapi tetap saja “perasaan yang menyakitkan” itu tetap membekas. Melalui penjelasan di bawah ini kamu akan mengetahui penjelesan dari sisi sains dan beberapa langkah yang bisa kamu ambil dalam mengurangi perasaan menyakitkan tersebut. Silakan disimak dengan baik ya.
Kata-kata yang menyakitkan atau menyinggung sering kali membekas di ingatan karena dampak emosional yang mereka ciptakan. Otak manusia tidak sekadar menyimpan kata-kata tersebut secara harfiah, tetapi lebih kepada emosi yang muncul sebagai respons terhadapnya. Ketika seseorang mendengar sesuatu yang melukai perasaan, otak mencatat momen tersebut dengan sangat kuat. Hal ini terjadi karena adanya keterlibatan amigdala, apasih amigdala itu? Amigdala adalah bagian otak yang bertanggung jawab dalam memproses dan mengatur emosi. Amigdala bekerja sama dengan hipokampus, yang berfungsi dalam pembentukan dan penyimpanan memori jangka panjang atau long term memory. Saat merasakan emosi yang kuat seperti rasa sakit, marah, atau kecewa yang dipicu, amigdala mengirimkan sinyal ke hipokampus untuk memperkuat penyimpanan memori tersebut, membuatnya lebih mudah diingat dan bisa menetap dalam jangka panjang.
Emosi yang kuat juga memicu pelepasan neurotransmiter seperti adrenalin dan norepinefrin. Kedua zat kimia ini memainkan peran penting dalam memperkuat koneksi antara sel-sel saraf di otak. Ketika neurotransmiter dilepaskan dalam jumlah besar, sinyal antar neuron menjadi lebih kuat, membuat memori yang terkait dengan peristiwa emosional lebih tertanam di dalam jaringan otak. Selain neurotransmiter, protein sinaptik juga berperan sebagai “lem” yang menjaga koneksi antara neuron agar tetap kokoh. Semakin kuat koneksi ini, semakin mudah otak mengakses kembali memori tersebut di masa depan. Itulah sebabnya pengalaman yang melibatkan emosi negatif sering kali terasa lebih nyata dan terus membayangi, bahkan bertahun-tahun kemudian.
Namun, proses penyimpanan dan pengaktifan kembali memori emosional ini membutuhkan energi yang signifikan. Perlu kita ketahui bahwa otak adalah organ yang sangat aktif, bahkan saat tubuh sedang beristirahat seperti tidur. Saat seseorang mengingat kembali pengalaman yang menyakitkan, otak harus bekerja keras untuk mengaktifkan kembali jaringan saraf yang terlibat dalam memori tersebut. Proses ini tidak hanya memakan energi yang banyak untuk mengakses informasi, tetapi juga untuk memproses ulang emosi yang muncul kembali. Inilah yang menyebabkan kelelahan mental. Mengingat pengalaman traumatis atau menyakitkan bisa membuat seseorang merasa sangat lelah secara emosional dan fisik, meskipun aktivitasnya hanya berupa proses berpikir dan mengingat kejadian menyakitkan tersebut yang terjadi di masa lalu.
Dalam kasus trauma atau stres berat, memori menjadi lebih sulit dikelola karena otak terus mengaktifkan kembali pengalaman tersebut sebagai mekanisme perlindungan. Proses ini, yang dikenal sebagai ruminasi, dapat menyebabkan seseorang terus-menerus memikirkan peristiwa negatif, memperkuat memori dan emosi yang pernah dirasakan pada masa lalu yang terkait setiap kali diingat. Pengulangan ini menciptakan siklus kelelahan mental dan emosional yang sulit diputus.Oleh karena itu, penting bagi seseorang untuk menemukan cara yang sehat dalam mengelola dan memproses kenangan negatif.
Lalu bagaimana sih cara kita untuk mencegah hal tersebut bisa semakin parah?
Kita bisa melakukan teknik seperti meditasi, konseling kepada para ahli seperti psikolog, atau terapi yang dapat membantu mengurangi beban emosional dan mencegah dampak negatif jangka panjang pada kesehatan mental. Mengubah cara kita merespons dan memaknai pengalaman negatif juga dapat membantu melemahkan koneksi memori yang menyakitkan, sehingga mengurangi intensitas emosi yang muncul saat memori tersebut diaktifkan kembali.
Perlu kita ketehui bahwa kata-kata memang memiliki kekuatan untuk menyakiti, tetapi sejatinya dampak tersebut hanya terjadi jika kita memberikan izin atau membiarkan diri kita terpengaruh olehnya. Artinya, bukan kata-kata itu sendiri yang melukai, melainkan bagaimana kita memaknai dan meresponsnya. Saat seseorang mengatakan hal yang tidak menyenangkan, otak kita secara otomatis menilai dan mengaitkan kata-kata tersebut dengan pengalaman, keyakinan, atau rasa harga diri. Jika kita menganggap kata-kata itu sebagai ancaman atau penghinaan, emosi negatif seperti marah, sakit hati, atau kecewa akan muncul. Namun, yang menarik adalah kita cenderung tidak mengingat kata-kata spesifik yang diucapkan. Sebaliknya, yang kita ingat dengan jelas adalah perasaan yang ditimbulkan oleh kata-kata tersebut. Hal ini terjadi karena otak lebih fokus pada emosi yang dirasakan dibandingkan dengan informasi verbal.
Emosi yang kuat memicu aktivitas di bagian otak yang disebut amigdala, yang berfungsi memperkuat penyimpanan memori emosional, sehingga kenangan tersebut terasa lebih melekat. Inilah mengapa dampak emosional dari kata-kata bisa bertahan lama, bahkan ketika kita sudah lupa detail percakapannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk belajar mengelola respons emosional dan tidak memberikan kekuatan berlebih pada kata-kata negatif. Dengan mengubah cara kita memandang dan merespons kata-kata yang menyakitkan, kita bisa melindungi diri dari dampak emosional yang berkepanjangan dan menjaga keseimbangan mental.
Pada akhirnya, kata-kata hanya memiliki kekuatan untuk menyakiti jika kita membiarkannya. Dengan mengelola emosi dan mengubah cara kita memandang serta merespons kata-kata negatif, kita bisa menjaga diri dari dampak yang berkepanjangan. Pilih untuk fokus pada hal-hal positif dan menciptakan kenangan yang membawa kebahagiaan, sehingga kita dapat hidup dengan lebih damai dan penuh kendali atas perasaan kita sendiri.
Daftar Pustaka
Kensinger, E. A. (2009). Remembering the details: Effects of emotion. Emotion review, 1(2), 99-113.
Tsokas, P., Hsieh, C., Flores-Obando, R. E., Bernabo, M., Tcherepanov, A., Hernández, A. I., ... & Sacktor, T. C. (2024). KIBRA anchoring the action of PKMζ maintains the persistence of memory. Science Advances, 10(26), eadl0030.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.