Musyawarah Penghuni Hutan
Sastra | 2024-07-02 03:07:32Hutan dilanda kegaduhan. Ini bukan kali pertama. Sejak makhluk bernama manusia mulai menebangi pohon yang entah untuk apa, hewan-hewan mulai gelisah. Banyak hewan mengeluh tak bisa lagi mencari makan. Sungai-sungai mengering, rumput dan buah-buahan mulai jarang mereka temui. Kini, kegelisahan itu telah mencapai titik puncak.
Para hewan lalu mengadakan pertemuan darurat. Dalam pertemuan itu semua spesies hadir, tanpa terkecuali. Agenda mereka adalah menentukan sikap dan merencanakan gerakan untuk menghentikan manusia.
“Kawan-kawan sekalian, hari ini kita akan bermusyawarah guna menentukan sikap” ucap seekor monyet. “Manusia sudah keterlaluan. Mereka telah merusak hutan ini, menghancurkan rumah kita.”
“Ya betul!” hewan lain mengiyakan.
“Baiklah, bagaimana baiknya. Ada usul?”
Seekor burung mengangkat salah satu sayapnya. “Menurutku kita harus bersatu,” katanya, “tindakan manusia sudah terlalu jauh, daya rusaknya terlampau besar. Kita harus melawan balik. Tidakkah kalian lihat apa yang terjadi pada spesiesku?”
Bisik-bisik mulai terdengar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejak lama manusia memburu burung. Jumlah burung di hutan semakin sedikit. Beberapa jenis burung bahkan sudah punah. Peristiwa itu sudah berlangsung sejak lama, tetapi spesies lain nampaknya tak peduli. Bagi hewan lain isu kepunahan burung tidaklah penting.
“Betul, aku setuju padamu” ucap si monyet. “hanya dengan bersatu kita dapat mengalahkan makhluk yang bernama manusia itu. Semua sepakat?”
Bisik-bisik kembali terdengar. Tikus, ular, harimau dan spesies lain saling bertanya satu sama lain. Bagaimana cara hewan melawan manusia? “Kutanya sekali lagi, maukah kalian bersatu untuk melawan manusia?”
Tak ada jawaban pasti. Semua bingung dan bimbang. Mereka belum yakin. Manusia itu jahat dan serakah, mereka tahu itu. Tapi makhluk yang bernama manusia itu sangat cerdas. Mereka mampu membuat alat-alat yang dahsyat. Mereka bisa menumbangkan pohon besar, membelokkan aliran sungai, bahkan bisa membuat api tanpa harus menunggu petir. Sungguh, kemampuan yang luar biasa.
Seekor gajah tiba-tiba mengangkat belalainya, ia maju lalu berdiri di tengah kerumunan.
“Kawan-kawan, aku setuju dengan perkataan monyet tadi. Kita harus bersatu untuk mengusir manusia.”
“Tapi bagaimana cara melawan mereka?” tanya seekor laba-laba.
Sang gajah diam sejenak, lalu menjawab “Kita harus membagi peran. Kita maksimalkan kemampuan kita masing-masing. Hewan yang pandai melompat tak usah berlatih terbang. Hewan yang hebat dalam berlari tak perlu belajar berenang. Semua harus bekerja sesuai kemampuan masing-masing.”
Bisik-bisik terdengar lagi.
“Ya, aku setuju dengan omongan gajah ini,” “ya, aku juga.” “aku juga.” Hampir semua spesies mengiyakan usulan si gajah.
“Tunggu sebentar. Tunggu!” Si monyet tiba-tiba menyela. Bisik-bisik pun redam, digantikan oleh kesunyian yang mencekam. “Aku setuju dengan pendapat gajah, tapi siapa yang akan memimpin kita? Melawan manusia butuh kerjasama, kerjasama butuh komunikasi yang baik. Berarti harus ada satu ekor hewan yang memimpin.”
“Biar aku saja,” ucap seekor ular, “aku memiliki racun yang bisa membunuh manusia. Kemampuanku paling hebat di sini.”
Seekor harimau menyergah “Haha, kau pikir manusia takut padamu? Akulah yang mereka takuti. Tiap kali bertemu spesiesku manusia selalu lari tunggang langgang. Akulah yang pantas memimpin!”
“Kau adalah pembunuh!” Tiba-tiba seekor rusa menyela dengan lantang, tatapannya penuh kebencian. “Banyak dari kami yang mati dimakan olehmu. Kami tak sudi dimpimpin hewan pembunuh sepertimu! Matilah kau di tangan manusia kotor itu!”
Suasana menjadi kacau. Mereka saling tuding satu sama lain. Hampir-hampir terjadi chaos.
“Kawan-kawan, mohon tenang!” Gajah berkata sambil mengangkat dua kaki depannya. “Tenanglah semua. Tenangkan pikiran kalian! Ini bukan saatnya saling menyalahkan!”
“Apa kau punya usul, hei!”
“Aku punya usul. Tolong dengarkan aku sebentar.” Suasana mulai tenang kembali. Gajah lalu melanjutkan “menurutku tak ada hewan yang sempurna. Untuk itu dalam menentukan pemimpin kita harus menyelenggarakan pemilihan yang diikuti semua hewan penghuni hutan ini. Setiap hewan memiliki hak yang sama, satu hewan satu suara.”
“Bagaimana kita melakukannya, makhluk besar?”
Gajah agak tersinggung dengan kalimat itu, tapi ia berusaha sabar. “Setiap kelompok spesies berhak mengajukan seekor untuk dijadikan calon pemimpin. Jika calon yang maju lebih dari tiga ekor spesies, maka pemilihan berlanjut ke putaran dua. Tiga hewan dengan jumlah suara tertinggi akan masuk putaran kedua. Pada putaran dua itu akan diadakan adu gagasan untuk meyakinkan spesies lain. Tidak boleh ada yang abstain, tidak memilih berarti mengingkari perjuangan hewan. Itu pelanggaran berat!”
Tentu saja usulan itu menimbulkan kegaduhan. Tak ada sejarahnya hewan memilih pimimpin dengan cara seperti itu. Jelas-jelas itu menodai prinsip-prinsip kehewanan.
“Cara macam apa itu?!”
“Cara yang tidak menghewankan hewan!”
“Sampah!”
Segala macam cemoohan meluncur deras pada si gajah.
“Apakah ada cara lain, hei?” semua hewan diam, “Apakah kita akan memilih hewan tercepat? atau yang terbesar? atau yang paling lincah? Ayo, ada usul?”
Semua hewan diam. Mereka tak membenarkan usulan si gajah tapi juga tak dapat menjawab pertanyaan itu. Memilih pemimpin dengan kriteria tertentu berarti mengakui kehebatan spesies lain. Jelas setiap hewan tak sudi.
“Baiklah,” kata gajah “jika tak ada usul lain berarti usulku diterima.” Dengan berat hati hewan-hewan lain menerima usulan tersebut.
Perisapan dilakukan. Pada putaran pertama terdapat enam ekor hewan dari enam spesies berbeda yakni gajah, harimau, monyet, ikan, ular, dan semut. Dari keenam calon tersebut hanya semut yang sedari tadi tak bersuara. Keberaniannya mencalonkan diri dianggap sebuah lelucon. “Haha semut? Bisa apa dia? Dia adalah yang paling lemah di antara kita. Sudah jelas dia tak akan memenangkan pemilihan ini” ucap seekor ular.
Pemilihan putaran pertama selesai dan hasilnya cukup mengejutkan. Ikan, gajah dan monyet tak lolos putaran kedua. Suara mereka kalah jauh dari semut, harimau, bahkan ular. Banyak hewan terkejut dengan hasil itu. Tapi mereka bisa apa? Toh pemilihan dilakukan secara jujur dan transparan.
Pemilihan pun berlanjut ke putaran dua. Pada putaran ini masing-masing calon harus menyampaikan gagasannya di depan semua penghuni hutan. Calon yang pertama menyampaikan gagasannya adalah harimau. Ia berpidato dengan berapi-api, sesekali diiringi dengan auman yang menggelegar. “Jika aku menjadi pemimpin hutan ini, aku berjanji tidak akan memakan satu pun dari kalian. Lalu dari mana aku dan spesiesku bertahan hidup? Kami akan memangsa manusia. Akan kupastikan hutan ini kembali seperti semula!” Pada akhir pidatonya si harimau mengaum dengan keras, sangat keras, seakan-akan tak ada yang lebih keras dari auman itu. Harimau-harimau lain menyambutnya dengan auman yang tak kalah keras. Raaawwwrrrrrr!!! Suara mereka memecah angkasa.
Calon kedua adalah ular. Ia berkata; “Aku adalah hewan yang gesit dan ditakuti manusia. Keberadaanku pasti akan membuat manusia takut. Berbekal itu, akan kupastikan hutan ini aman dari tangan kotor manusia. Aku jamin pohon-pohon kembali berbuah, sungai-sungai kembali mengalir, dan rumput-rumput kembali tumbuh.” Desis dari kawanan ular lain mengakhiri pidato tersebut. Mereka tak mau kalah heboh dari harimau.
Calon ke tiga alias terakhir adalah semut. Ia tak berbicara panjang lebar. Hanya kalimat pendek yang keluar dari mulutnya yang kecil itu. “Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Terima kasih.” Tak meriah sama sekali. Hening, hampir tak ada suara apa pun yang mengakhiri.
Kini waktunya pemilihan. Semua hewan berbaris rapi untuk menentukan pilihan. Waktu berlalu dan semua hewan telah memilih. Hasilnya lalu diumumkan. Seekor burung naik ke dahan tertinggi.
“Ehem, ehem. Baiklah, sekarang akan kuumumkan hasil pemilihan pemimpin hutan. Hewan yang akan memimpin kita adalah....” semua menunggu dengan tidak sabar, ekor mereka mengibas tak karuan, “semuutt!” Para hewan kaget. Mereka tak menyangka semut terpilih sebagai pemimpin hutan. Semut jadi pemimpin hutan? Bagaimana mungkin? Mereka lalu ingat pernyataan gajah tadi; satu hewan, satu suara. Semut memang kecil dan lemah, tapi jumlah mereka paling banyak!
“Baiklah semua, dengan ini musyawarah penghuni hutan memutuskan bahwa seekor yang memimpin perang melawan manusia adalah semut. Selamat Pak Semut, semoga tujuan kita segera terwujud.”
“Terima kasih” kata si semut.
Hari demi hari berlalu. Para hewan mempersiapkan diri untuk penyerangan. Rencananya mereka akan menyerang pada malam hari ketika manusia sudah lelah. Hari penyerangan pun tiba. Setiap spesies bergerak sesuai pos masing-masing. Tujuan mereka hanya satu: mengusir manusia dari hutan. Serangan dimulai oleh kawanan gajah, mereka masuk ke pemukiman manusia dan memporak-porandakan bangunan. Para manusia kocar-kacir. Harimau masuk setelahnya, menerkam manusia yang mereka temui. Ular bergerak cepat mematuk manusia yang berlari. Burung, monyet, rusa dan semua hewan lain juga ikut menyerang. Tentu saja serangan itu dikomandoi oleh semut, sang pemimpin hutan terpilih.
Mayat-mayat manusia bergelimpangan, darah mereka membanjiri tanah. Malam itu purnama bersinar terang. Hewan karnivora pesta besar.
Hampir tak ada manusia yang selamat. Melihat itu para hewan berteriak penuh suka cita. Mereka merasa kemenangan sudah di depan mata. Manusia sudah kalah, hewan menang!
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari kejauhan. Suara itu makin lama makin dekat. Sebuah besi kotak dengan empat lingkaran di bawahnya melaju cepat. Dari dalam benda itu muncul sekelompok manusia. Masing-masing dari mereka membawa sebuah senapan. Dar der dor! Manusia menembaki para hewan. Suara tembakannya sangat nyaring. Banyak hewan terbunuh seketika. Gajah, harimau, rusa, ular, bahkan para tikus dan burung-burung banyak yang tewas. Sisanya lari menyelamatkan diri.
Si gajah berlari sekuat tenaga, tetapi karena tubuhnya besar ia tak dapat menghindar. Dor! Sebuah peluru bersarang di salahsatu kakinya. Gajah jatuh. Lagi-lagi dor! dor! dor! Peluru lain menghujani tubuhnya tanpa ampun. Si Gajah sakaratul maut. Di sisa hidupnya si gajah tiba-tiba menyesal. Ia menyesal telah mengusulkan pemilihan pemimpin hutan. Andai bukan semut yang mempimpin, mungkin nasib para hewan tidak senaas ini.
Si semut mencoba mencoba memberi sinyal untuk mundur, tapi suaranya tak didengar hewan lain. Ia terinjak-injak. Tak berdaya. Situasi menjadi sangat kacau. Manusia tidak berhenti membunuhi hewan.
Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh manusia.
Pasca kejadian itu manusia terus memburu hewan di hutan. Banyak hewan mati. Beberapa bahkan punah. Sisanya ditangkap dan dikurung. Sementara yang hidup dipenjara dalam sebuah tempat bernama “kebun binatang.”
Hutan telah hancur sepenuhnya. Tak ada yang tersisa. Pohon-pohon diganti bangunan. Sungai-sungai raib tak tersisa. Hutan menjadi hunian manusia yang disebut “kota”. Anehnya, walau tak ada lagi burung di hutan, di kota itu ada sesuatu yang mirip burung. Ukurannya sangat besar tapi terbuat dari besi dan semen.
Gajahmungkur, Semarang 1 Juli 2024
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.