Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wakaf Insani Institute

Wakaf Setengah Hati

Bisnis | 2024-06-28 14:06:46

Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

(Founder Wakaf Insani Institute)

Alih nazir pengelolaan aset wakaf pada dasarnya suatu hal biasa dalam dunia perwakafan. Namun demikian, patutlah kita menelisik lebih dalam mengapa sampai terjadi alih nazir pengelolaan aset wakaf agar kita bisa memetik pelajaran dan tidak mengulangi kesalahan?

Terjadinya alih nazir pengelolaan aset wakaf kemungkinannya karena dua penyebab. Pertama, nazir tidak kompeten mengembangkan aset wakaf yang diamanahkah kepadanya. Wakif sudah menyerahkan aset wakaf, namun bertahun-tahun tidak produktif dan mangkrak, alih-alih mendatangkan kebermanfaatan.

Hal ini mesti ditelusur lebih dalam lagi mengapa bisa mangkrak selama bertahun-tahun? Apakah memang aset wakafnya tidak potensial dan sulit dikembangkan, misalnya berupa tanah yang letaknya tidak strategis. Belum masuk skala prioritas pengembangan aset wakaf ataukah nazir betul tidak kompeten.

Jika memang nazir tidak kompeten, maka tidaklah salah bila wakif mengajukan alih nazir kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI) atas aset wakafnya. Tujuan orang berwakaf tentulah ingin memperoleh jariyah hasanah (pahala mengalir), sebagaimana sabda Rasulullah tentang tiga amalan yang akan terus mengalir pahalanya. Salah satu amal tersebut wakaf.

Ketika tujuan mulia wakaf belum jua terealisasi karena secara faktual nazir tidak kompeten mengelola dan mengembangkan aset wakaf, maka keinginan wakif untuk alih nazir pengelolaan aset wakaf bisa dipahami.

Dalam hal ini, sebaiknya nazir berfokus menerima aset wakaf yang masih dalam lingkar kendali pengelolaan dan pengembangannya. Tidak tergoda untuk menerima aset wakaf yang membutuhkan modal besar untuk aktivasinya. Nazir lebih baik fokus saja dulu meningkatkan kapasitas kelembagaan, baik dalam hal penghimpunan wakaf uang dan wakaf melalui uang maupun strategi pengembangan aset wakaf.

Kedua, wakif berwakaf setengah hati. Wakif tidak setulus hati ingin berwakaf dan mengharap jariyah hasanah, melainkan memperoleh keuntungan materi. Daripada aset miliknya mangkrak dan tidak produktif, lebih baik diwakafkan dengan skema wakaf musytarak, yaitu kombinasi antara wakaf khairi dan ahli.

Dalam hal ini, wakif berwakaf dengan klausul memperoleh bagian surplus wakaf yang dihasilkan dari aset wakaf tersebut (wakaf ahli), sementara sebagiannya lagi untuk kemaslahatan mauquf ‘alaih (wakaf khairi). Secara regulasi tidak salah. Sah saja wakif berwakaf dengan akad wakaf musytarak.

Namun demikian, wakif patut menelisik lebih dalam dan bertanya ke dalam diri apakah niat atau motif berwakaf benar-benar tulus untuk berwakaf ataukah sebetulnya mencari keuntungan materi, sehingga memilih akad wakaf musytarak ketimbang murni wakaf khairi?

Jika motifnya sedari awal sebetulnya ingin mendapatkan keuntungan materi dari berwakaf, apalagi disertai syarat-syarat lain, besar kemungkinan ketika bagi hasil surplus wakaf yang diterima tidak sesuai harapan, wakif mencari-cari alasan untuk dilakukan alih nazir.

Dibuatlah laporan bahwa nazir tidak kompeten dalam mengelola dan mengembangkan aset wakaf. Atas dasar itulah, wakif mengajukan alih nazir atas aset wakafnya. Pertanyaannya, apakah dengan alih nazir bisa memperbaiki performa pencapaian surplus wakaf? Belum tentu juga. Ataukah poinnya kembali kepada niat awal wakif yang tidak tulus?

Ketika aset wakafnya yang semula nyaris kolaps atau tidak produktif, begitu sudah diintervensi nazir dan terlihat produktivitasnya, syahwat ingin kembali memiliki aset wakaf tersebut muncul dalam hati. Bisa saja wakif membuat yayasan atau badan hukum lainnya yang disiapkan untuk menerima alih nazir aset wakaf tersebut.

Tentu saja kita tetap harus berprasangka baik. Tulisan ini bukan bermaksud bertendensi pada faktor kedua sebagai sebab terjadinya alih nazir pengelolaan aset wakaf. Tulisan ini dimaksudkan sebagai renungan reflektif. Bukankah perkara niat itu halus, tersembunyi, dan hanya pihak bersangkutan yang bisa merasakannya.

Dalam hal ini, patutlah kita merenungkan hadis berikut ini, “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Orang yang meminta kembali apa yang telah dihibahkannya bagaikan anjing yang muntah, lalu menelan kembali apa yang dimuntahkannya ke dalam mulutnya.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Sayidina Umar bin Khathtab pernah memberikan hibah seekor kuda perang kepada seseorang. Namun, karena kurang terawat dengan baik, Sayidina Umar bermaksud memilikinya kembali dengan cara membelinya, bukan memintanya kembali. Namun, ketika maksud itu dikonsultasikan kepada Rasulullah, beliau melarangnya.

Bayangkan memiliki kembali barang yang sudah dihibahkan dengan cara membeli saja dilarang oleh Rasulullah, apatah lagi dengan cara memintanya kembali. Akhirnya, mengapa Islam sangat menjaga hal-hal seperti ini, tidak lain untuk menjaga ikatan ukhuwah dan hak sesama muslim dalam bermuammalah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image