Wakaf Harta Terbaik
Filantropi | 2024-10-06 07:18:02Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
(Pendiri Wakaf Insani Institute dan Penulis Buku Membangun Peradaban Wakaf)
Salah satu cara melakukan optimasi pengembangan wakaf adalah mewakafkan harta terbaik. Ketika wakif mewakafkan harta terbaiknya, maka nazir lebih mudah melakukan pengembangan dan optimasi harta wakaf untuk menghasilkan surplus.
Surplus yang dihasilkan selain untuk mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf), sebagiannya boleh dialokasikan untuk pengembangan harta wakaf, sehingga harta wakaf produktif semakin bertumbuh skala dan jumlahnya.
Misalnya, seorang wakif mewakafkan sebuah ruko komersil di lokasi strategis dengan nilai sewa per tahun sebesar Rp 200 juta. Hasil sewa ruko menjadi surplus wakaf yang dialokasikan untuk mauquf ‘alaih dan sebagiannya diakumulasi untuk pengembangan harta wakaf, semisal membeli ruko kedua, ketiga, dan seterusnya.
Seiring harta wakaf produktif yang terus bertumbuh jumlah dan skalanya, secara otomatis penerimaan surplus wakaf pun terus bertumbuh. Bayangkan jika wakif mewakafkan harta terbaiknya berupa perusahaan, hotel, pom bensin, mini market, saham, maka potensi surplus wakaf yang diperoleh semakin besar lagi. Maka itu, semakin besar pula kebermanfaatan yang disalurkan kepada mauquf ‘alaih.
Paradigma wakaf seperti inilah yang perlu disosialisasikan dan dikampanyekan bersama kepada masyarakat. Wakaf yang afdhal itu dengan harta terbaik. Ayatnya pun jelas memotivasi untuk mencapai kebajikan sempurna.
“Kamu sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apapun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 92).
Kita bisa memetik pelajaran dari kisah dua anak Nabi Adam yang diperintahkan untuk berkurban sebagaimana dikisahkan dalam surat Al-Maidah ayat 27. Kurban yang diterima adalah kurbannya Habil. Sebagai peternak Habil berkurban dengan harta terbaiknya berupa seekor domba gemuk dan sehat.
Sebaliknya, kurban Qabil tidak diterima. Sebagai petani Qabil tidak berkurban dengan harta terbaiknya, melainkan harta yang buruk berupa buah-buahan kering dan sudah mulai membusuk.
Inilah yang disinggung dalam Al-Qur’an, “Wahai orang-orang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Ketahuilah Allah Mahakaya Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah [2]: 267).
Setelah mewakafkan harta terbaik, sebaiknya penyerahan harta wakaf dilakukan secara total oleh wakif agar tidak menyisakan persoalan dikemudian hari dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf. Terkadang permasalahan muncul ketika wakif berwakaf dengan bersyarat.
Misalnya, wakif mewakafkan sebuah perusahaannya, namun dengan syarat dirinya masih menjadi salah satu direksi di perusahaan tersebut dan berhak atas bagi hasil surplus wakaf dengan prosentase sekian persen. Ini masih terjadi di lapangan.
Dalam hal bagi hasil prosentase surplus wakaf masih bisa diakomodir dengan akad waqf musytarak, yaitu kombinasi antara waqf ahli dan waqf khairi. Namun, syarat masih menjadi direksi, ini yang terkadang menimbulkan persoalan dalam pengelolaan harta wakaf.
Pertanyaannya wakif menjadi direksi dalam kapasitas sebagai apa? Sebagai wakif yang masih ikut mengelola atau mitra pengelola wakaf? Karena, konsekuensi keduanya berbeda. Jika wakif menjadi direksi dalam kapasitasnya sebagai wakif, maka ini yang berpotensi masih melakukan intervensi cukup kuat dalam pengambilan kebijakan. Akhirnya, nazir menjadi tidak leluasa.
Jika wakif masih ingin terlibat dalam pengelolaan perusahaannya yang sudah diwakafkan, maka pola yang lebih tepat adalah wakif bertindak dalam kapasitas sebagai mitra pengelola wakaf. Dengan kata lain wakif “bekerja” untuk nazir.
Dengan demikian, kompetensi dan profesionalisme wakif sebagai mitra pengelola wakaf yang jadi acuannya. Pola ini juga memberikan batasan bagi wakif agar tidak memiliki intervensi kuat dalam tata kelola harta wakaf. Sehingga, nazir memiliki keleluasaan dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf.
Membangun pemahaman seperti ini memang tidaklah mudah kepada wakif yang hendak mewakafkan aset strategisnya. Hal ini bisa dipahami karena nilai wakafnya sangat besar. Namun demikian, poin mencapai kebajikan sempurna dalam surat Ali ‘Imran di atas bisa menjadi pintu masuk bagi nazir memberikan edukasi kepada wakif.
Lebih baik nazir konsisten dengan tata kelola wakaf yang baik dalam aspek prosedur penerimaan harta wakaf, ketimbang melakukan kompromi dan menerima syarat-syarat wakif dalam berwakaf. Dengan demikian, nazir tidak disibukkan oleh berbagai persoalan harta wakaf dan bisa mencurahkan fokusnya untuk pengembangan harta wakaf agar memberikan manfaat maksimal bagi mauquf ‘alaih.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.