Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Hati Nurani dan Moral: Pemahaman Mendalam Terhadap Rasisme

Eduaksi | 2024-06-24 00:40:48

Rasisme merupakan fenomena yang didasari oleh diskriminasi ras atau etnis yang sudah mengakar dalam masyarakat. Fenomena tersebut menimbulkan ketidaksetaraan dalam berbagai aspek dan pertanyaan mendalam mengenai moralitas dan hati nurani manusia. Dalam tulisan berikut penulis ingin mengutarakan opini penulis mengenai hati nurani dan moral dalam fenomena rasisme. Sebelum mendalami mengenai topik rasisme, penulis ingin mendalami arti dari hati nurani dan moralitas terlebih dahulu.

Berbagai kamus menyatakan bahwa hati nurani ada kaitannya dengan sebuah perasaan, suatu kekuatan atau suatu bagian dari pikiran masing-masing individu. Arti dari hati nurani adalah seorang individu menilai dirinya sendiri dan membentuk diri sesuai dengan standar idealnya. Pemahaman mengenai arti dari hati nurani ini berdasarkan dua perspektif yaitu tradisionalis dan non-tradisionalis. Menurut perspektif tradisionalis, hati nurani ini datang secara natural atau dapat dibilang sebagai suatu berkat dari tuhan.

Jika ada suatu individu yang bertindak tidak sesuai dengan hati nurani maka rasa bersalah dan tidak tenang akan mengikuti. Sedangkan menurut perspektif non-tradisionalis, hati nurani ini merupakan fenomena sosial dan psikologis. Hati nurani datang dari interaksi sosial dan merupakan bentuk larangan, bukan merupakan sesuatu yang terbentuk secara natural.

Hati nurani menumbuhkan nilai-nilai pribadi yang menjadi pedoman hidup manusia. Individu kemudian menggunakan nilai-nilai pribadi tersebut sebagai alat ukur saat menentukan tindakan atau keputusan yang akan diambil. Hati nurani juga menjadi suatu sarana untuk membangun kesadaran sosial terhadap dampak dari tindakan yang diambil oleh individu. Selain dari itu, hati nurani juga dapat digunakan untuk memahami nilai-nilai etik yang mencakup kejujuran, empati, keadilan dan tanggung jawab.

Hal ini merupakan hal yang penting dalam membangun karakter individu untuk konsisten dalam mengikuti nilai-nilai yang sudah dibangun sebagai panduan individu tersebut. Dalam sistem masyarakat, sudah pasti akan memiliki norma dan nilai-nilai moral tertentu. Moralitas dan hati nurani merupakan hal yang diperlukan agar individu memiliki landasan etis dalam menilai kebenaran dan keadilan. Beberapa contoh dari hati nurani adalah jika suatu siswa tidak mencontek karena memiliki prinsip bahwa mencontek adalah hal yang salah. Salah satu contoh lainnya adalah tidak membuang sampah sembarangan karena hal tersebut merupakan tindakan yang buruk.

Menurut opini penulis, hati nurani dan moral individu merupakan suatu hal yang terbentuk secara sosial. Ada beberapa hal yang disadari oleh manusia secara alami, tetapi berbagai aspek moralitas dan hati nurani seseorang dibentuk oleh lingkungan di mana mereka dibesarkan. Tidak hanya melalui didikan keluarga tetapi juga melalui lingkungan tempat tinggal dan pergaulan. Terutama dalam zaman modern dimana banyak informasi dapat diakses melalui sosial media, informasi yang didapat oleh individu juga merupakan hal yang sangat krusial dalam menentukan hati nurani dan nilai moral yang dianut oleh individu tersebut.

Sebagai contoh dari hati nurani dan nilai moral yang dibentuk secara sosial, masyarakat di indonesia yang mayoritas muslim dan memiliki pandangan tertentu tidak terbiasa dengan memakai pakaian yang terbuka untuk kegiatan sehari-hari. Di sisi lain, masyarakat di Amerika Serikat atau negara-negara barat lainnya menormalkan memakai pakaian terbuka dalam mengerjakan aktivitas sehari-harinya karena tinggal di lingkungan yang memiliki moral berbeda. Sebagai contoh lainnya, seorang anak yang dididik bahwa ras tertentu tidak baik atau dikelilingi oleh lingkungan yang menghina ras tertentu secara terang-terangan di depannya mungkin tidak menyadari bahwa perbuatan tersebut merupakan bagian dari rasisme dan merupakan hal yang diskriminatif.

Anak tersebut akan menormalisasikan tindakan seperti itu karena telah dikelilingi oleh tindakan seperti itu sejak kecil. Walaupun memang benar bahwa ada beberapa lingkungan yang mengajarkan nilai negatif, tetapi memperbanyak interaksi sosial juga dapat memperluas pemahaman individu mengenai etika dan nilai-nilai moral secara positif. Maka dari itu menurut opini penulis, hati nurani dan moral merupakan sesuatu yang bersifat dinamis dan dapat berubah seiring berjalannya waktu dan berkembangnya zaman. Sama seperti bagaimana teknologi semakin berkembang dan dengan adanya globalisasi, maka moral di setiap negara dan individu juga akan berubah.

Berikutnya penulis ingin mendalami topik rasisme. Rasisme sendiri dapat didefinisikan sebagai jenis prasangka yang umumnya mencakup reaksi emosional negatif terhadap anggota kelompok tertentu, penerimaan stereotip negatif tentang orang lain, dan diskriminasi rasial terhadap orang lain; dalam beberapa kasus, ini dapat mengarah pada kekerasan. Fenomena tersebut dapat terjadi secara personal, misalnya dalam tindakan sorang individu terhadap kelompok ras tertentu.

Namun, rasisme juga dapat terjadi secara sistematis, misalnya dalam struktur sosial, hukum, dan kebijakan yang merugikan kelompok ras tertentu. Salah satu contohnya adalah berbagai kasus hukum yang diadili secara tidak etis karena sistem hukum yang merugikan kelompok ras tertentu. Berbagai faktor yang berkontribusi pada rasisme termasuk sejarah, ekonomi, sosial, dan budaya. Faktor-faktor sejarah, seperti trauma yang disebabkan oleh perbudakan, penjajahan, dan kolonialisme membentuk stereotip yang bertahan hingga hari ini. Rasa superioritas ras terhadap ras lain adalah salah satu penyebab utama rasisme.

Rasa superioritas ini mendorong stereotip dan tindakan diskriminatif yang dialami oleh korban rasisme. Karena rasa superioritas ini sudah ada sejak dulu dan diturunkan dari generasi ke generasi. Sama seperti rasa trauma yang dirasakan oleh korban, dimana rasa trauma tersebut juga diturunkan dari generasi ke generasi. Maka stereotip yang telah dibangun oleh masyarakat hingga saat ini juga sangat melekat.

Kasus rasisme yang sering terjadi di negara Amerika serikat yaitu racial profiling atau profil rasial dimana pihak yang berwenang menghentikan atau menangkap seseorang berdasarkan warna kulit atau ciri-ciri etnis lainnya. Profil rasial tersebut sangat parah sampai terjadi pembunuhan dimana pihak berwenang menembak individu yang dihentikan, walaupun korban tidak bersalah. Contoh kasus lainnya adalah ketidakadilan dalam sidang kasus kulit hitam. Dimana profil rasial ini juga terjadi dan orang kulit hitam diadili berdasarkan stereotip. Orang kulit putih mungkin akan diadili dengan ringan dan diberikan hukuman ringan, berbeda dengan orang kulit hitam yang diberi sanksi yang berat bahkan diberi hukuman mati.

Banyak kasus dimana orang kulit hitam yang sudah dihukum secara berat selama bertahun-tahun, divonis hukuman mati atau bahkan sudah kehilangan hidupnya kemudian ditemukan tidak bersalah. Salah satu contoh kasus korban penembakan berdasarkan profil rasial ini adalah Jayland Walker yang berumur 25 tahun. Polisi berusaha menghentikan jaylan walker karena diduga telah melanggar aturan lalu lintas. Sebanyak 8 polisi terlibat dalam kasus penembakan Jayland Walker. Polisi tersebut menembakkan peluru sebanyak 94 kali.

Setelah hasil autopsi oleh pihak berwenang, korban dari penembakan ditentukan ditembak 46 kali oleh polisi di Ohio, Amerika Serikat. Pada akhirnya, polisi pelaku penembakan dinyatakan tidak bersalah oleh dewan juri pengadilan Amerika Serikat. Ini adalah salah satu contoh dari kasus rasisme yang sangat melanggar hak asasi manusia, dan kasus seperti ini tidak hanya terjadi sekali saja. Hal ini merupakan cerminan dari rasisme sistematis yang menunjukkan ketidaksetaraan dalam sistem hukum.

Karena kasus seperti ini terjadi berkali-kali dan telah memakan banyak korban, pada tahun 2013 gerakan besar-besaran secara global untuk melawan rasisme dibangun. Gerakan ini bernama “Black Lives Matter” yang mengangkat topik rasisme, kekerasan dan diskriminasi kepada ras kulit hitam. BLM ini merupakan gerakan global yang berbasis di Amerika serikat, Canada dan Inggris. Gerakan tersebut berhasil menyentuh hati banyak masyarakat secara global dan berhasil untuk membawa keadilan untuk beberapa kasus rasisme walaupun secara garis besar rasisme merupakan suatu fenomena yang tetap harus dilawan sampai saat ini.

Kasus rasisme tidak hanya terjadi di Amerika Serikat atau negara barat, kasus rasisme ini juga dapat ditemukan di Indonesia. Contohnya adalah pada tahun 2022 Gubernur Jawa Timur Bu Khofifah Indar Parawansa mengunjungi SMA Negeri 1 Pakusari kabupaten Jember karena terjadi kasus rasisme antara guru dengan muridnya. Persoalan tersebut dimulai ketika salah satu siswa berasal dari papua yang memiliki sebutan “si hitam” tidak mengerjakan tugasnya. Sehingga guru tersebut kesal dan melontarkan kata-kata yang mengarah kepada rasisme. Namun kasus tersebut sudah selesai karena guru tersebut sudah meminta maaf kepada siswa dan telah dimaafkan oleh siswa yang bersangkutan dilanjut dengan permintaan maaf oleh kepala sekolah dari SMA Negeri 1 Pakusari. Fenomena rasisme yang terjadi di Indonesia seringkali ditujukan kepada orang yang berasal dari papua. Seringkali penulis menemukan individu yang mengejek warna kulit dan rambut mereka.

Menurut opini pribadi penulis, beberapa pelaku rasisme mungkin tidak mengerti secara dalam mengenai rasisme. Walaupun hal tersebut tidak membenarkan tindakan pelaku, tetapi banyak pelaku rasisme yang memang tidak dapat mengakses informasi mengenai rasisme atau tidak dapat pendidikan yang seharusnya. Banyak juga pelaku rasisme yang memang memiliki rasa kebencian terhadap suatu kelompok ras tertentu. Sehingga melakukan tindakan diskriminasi yang sangat merugikan kelompok ras tersebut. Dimulai dari hal-hal kecil dari mengomentari penampilan fisik, menghina budaya dan mengejek kelompok ras tertentu.

Mungkin karena rasisme ini berakar dari rasa superioritas yang dimiliki suatu individu atau kelompok terhadap ras dan tidak hanya terkait dengan moral atau nilai etik yang ada.Penulis seringkali menemukan pelaku rasisme yang tidak dapat diberi nasehat dan membenarkan rasisme. Hal ini membuat penulis merasa bingung bagaimana cara untuk menasehati pelaku rasisme. Penulis bertanya-tanya apakah penulis dan pelaku berbeda pandangan atau dididik dengan moral yang berbeda.

Oleh karena itu penulis kembali membahas opini penulis mengenai hati nurani dan moral yang tumbuh sesuai dengan lingkungan masing-masing individu. Karena penulis sejak kecil dikelilingi oleh keluarga penulis yang sadar mengenai berbagai isu-isu sosial yang ada. Sehingga penulis dididik oleh keluarga mengenai ketidaksetaraan yang ada di masyarakat. Penulis dididik bahwa rasisme adalah hal yang sangat buruk dan penulis dikelilingi oleh individu yang tidak mendukung rasisme, maka moral penulis juga terbentuk dan penulis sangat memahami bahwa rasisme dan diskriminasi sangat merugikan berbagai kelompok ras.

Maka dari itu penulis tidak merasakan bahwa ada superioritas antara penulis dengan individu atau kelompok ras lainnya.. Penulis pribadi sangat mendukung adanya kesetaraan dalam masyarakat. Sedangkan untuk beberapa individu, lingkungannya tidak mendidik mengenai rasisme atau mungkin bahkan mendukung rasisme. Sehingga moral yang terbentuk adalah membenarkan dan menormalisasikan rasisme. Fakta tersebut tidak membenarkan tindakan pelaku, karena rasisme telah menjadi hal yang mengakar sejak dulu dan menimbulkan sangat banyak trauma kepada berbagai ras. Hal yang sekarang penulis pertanyakan adalah bagaimana cara untuk merubah mindset individu yang sudah tertanam bahwa rasisme merupakan hal yang benar.

Untuk mencegah adanya rasisme atau fenomena rasisme ini menyebar maka menurut penulis perlu diadakan semacam sosialisasi untuk mengedukasi masyarakat mengenai bahayanya rasisme. Sosialisasi tersebut bertujuan untuk mengedukasi masyarakat yang mungkin tidak memiliki akses terhadap informasi yang diperlukan mengenai rasisme dan agar masyarakat dapat mengerti perbedaan budaya dan nilai-nilai yang dimiliki oleh budaya yang beragam. Gerakan “Black Lives Matter” juga merupakan salah satu contoh yang sangat bagus untuk menghentikan rasisme yang ada, karena walaupun gerakan tersebut tidak dapat menghentikan segala tindakan rasisme di dunia tetapi gerakan tersebut mampu menyentuh hati berbagai individu secara global dan membuat masyarakat lebih sadar mengenai betapa buruknya kasus rasisme yang terjadi.

Sosial media juga memiliki peran yang penting untuk menyebarkan informasi mengenai adanya rasisme ini kemada berbagai kelompok masyarakat dan menghindari terbentuknya stereotip kepada kelompok tertentu dengan adanya representasi di sosial media. Sama halnya dengan partisipasi politik dari kelompok ras yang mengalami diskriminasi agar suara mereka terdengar dan memastikan ada yang mewakili kelompok tersebut. Adanya organisasi internasional seperti Right to Be, Saturate the World dan berbagai organisasi lainnya juga sangat membantu untuk melawan rasisme secara global.

Hati nurani sebagai pembentuk nilai-nilai pribadi dan panduan moral memainkan peran yang sangat penting dalam menghadapi fenomena rasisme. Maka hati nurani dan moral dapat mencegah atau mengurangi terjadinya rasisme. Moralitas sebagai nilai yang menjunjung tinggi keadilan sangat bertolak belakang dengan nilai rasisme. Tindakan ketidakadilan dan diskriminasi ini seharusnya memunculkan rasa bersalah pada pelaku. Melalui perkembangan nilai moral, Dengan mengetahui nilai-nilai etis yang ada di masyarakat, sudah sangat terlihat bahwa rasisme ini sangat tidak etis dan melanggar hak asasi manusia.

Memang benar bahwa hati nurani dan nilai moral merupakan hal yang bersifat dinamis, berubah dan merupakan hasil dari pengalaman, interaksi dan pendidikan individu. Maka dari itu diperlukan keinginan dan pemikiran yang luas untuk mengembangkan hati nurani dan nilai moral yang memahami bahwa rasisme merupakan hal yang memiliki dampak sangat negatif. Hati nurani dapat memunculkan rasa bersalah dan menumbuhkan perasaan bahwa rasisme dan tindakan diskriminasi sangat negatif. Dari hati nurani ini dapat memicu rasa empati dan membuat pelaku merenungkan bagaimana rasanya jika pelaku dalam posisi korban.

Sedangkan nilai-nilai moral dapat menjadi pedoman untuk pelaku untuk menjunjung tinggi keadilan dalam masyarakat, kesetaraan dan menghargai perbedaan dalam budaya dan nilai etnis. Tentunya sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki beragam budaya, memiliki semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dan pancasila yang sila kedua dan ketiganya berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan “Persatuan Indonesia” seharusnya masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut yang sudah ditanamkan sejak kecil, menghilangkan rasa superioritas antar ras, membasmi adanya diskriminasi dan ketidaksetaraan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image