Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Emilia rosyanda firdaus

Stoikisme dalam Prespektif Islam

Agama | 2024-06-19 21:29:20
sumber:Ilustrasi/unifersalprofit.com

Baru-baru ini, buku Filosofi Teras karya Henry Menampiring yang membahas tentang Stoikisme telah menjadi mega best seller di Indonesia oleh penerbit buku Kompas. Popularitas buku ini mencerminkan kebutuhan mendalam anak muda Indonesia untuk mencari ketenangan di tengah tekanan hidup modern. Fenomena ini menunjukkan betapa besarnya kebutuhan akan panduan untuk mengatasi stres, kecemasan, dan berbagai tantangan hidup lainnya. Dalam konteks ini, menggabungkan prinsip-prinsip Stoikisme dengan ajaran Islam bisa menjadi solusi yang relevan dan bermanfaat.

Stoikisme: Intisari dan Relevansinya

Stoikisme adalah prinsip hidup yang bersesuaian dengan kebijaksanaan. Secara historis stoikisme dibawa oleh ajaran Zeno 2300 tahun yang lalu di Athena (Theo, 2021). Prinsip stoikisme berfokus pada penerimaan diri dan apa yang dapat kita kendalikan, prinsip stoikisme memandang bahwa kebahagiaan adalah tentang bagaimana kita dapat merespon dan menerima sebuah keadaan, seserang harus fokus pada apa yang dapat mereka kendalikan , dan menerima (takdir) hal hal yang berada di luar kendali mereka. Hal ini bersesuaian dengan ajaran di dalam agama islam, beberapa di antaranya adalah rukun iman yang terakhir "beriman kepada qadha dan qadar" (Ketentuan Allah swt), serta ajaran untuk berusaha dan ber tawakal (Berserah diri kepada Allah swt).

Islam dan filsafat

Dalam konteks Islam, filsafat seringkali menjadi topik yang kontroversial. Imam al-Ghazali berpendapat bahwa filsafat merupakan sebuah kesesatan jika dilakukan tanpa tuntunan agama (Sabirin, 2015) Imam al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah menyebutkan bahwa para filsuf adalah orang-orang yang dekat dengan kufur dan ilhad, meskipun di antara mereka (al-Ghazali dan para filosof) hidup pada rentang masa yang jauh berbeda. Dalam hal kebenaran sebagian mereka ada yang mendekati dan sebagian lain menyimpang jauh dari esensi kebenaran. Menurut al-Ghazali, kekeliruan pemikiran mereka terletak pada konsep ketuhanan, karena para filsuf hanya berpegang teguh terhadap terkaan dan sangkaan belaka. Al-Ghazali menyimpulkan bahwa banyak pemikiran yang dihasilkan para filsuf bertentangan dengan prinsip dasar agama Islam (Mas’udi, 2013). Namun disisi lain seorang filsuf besar muslim pertama yakni al-Kindi memiliki pendapat yang berbeda. al-Kindi menyatakan menyatakan bahwa tidak terdapat pertentangan antara filsafat dan agama. Filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar dan agama bertujuan menjelaskan apa yang benar dan yang baik (Mas’udi, 2013).

Filsafat di Era Modern

Awalnya, konsep-konsep filsafat terasa rumit dan menakutkan bagi banyak orang, sulit diterima, bahkan dianggap sesat oleh sebagian kelompok. Namun, di era modern ini, filsafat telah menjadi lebih diterima dan diadopsi oleh masyarakat luas sebagai panduan hidup. Salah satu aliran filsafat yang semakin populer adalah Stoikisme, bahkan di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Filsafat, termasuk Stoikisme, kini dipandang sebagai sarana untuk menemukan makna dan bijaksana dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Di tengah perubahan sosial yang cepat di era modern, nilai-nilai filsafat memberikan perspektif baru dalam menyikapi realitas sosial yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan.

Kesamaan Konsep Kebahagiaan dalam Al-Qur’an dan Stoikisme

Meskipun berasal dari aliran yang berbeda, ajaran Islam dan ajaran Stoikisme memiliki beberapa kesamaan tentang konsep kebahagiaan. Misalnya, dalam ajaran agama Islam, kebahagiaan seringkali dikaitkan dengan ketenangan batin, seperti yang terdapat dalam Surat Ar-Ra’d ayat 28. Dalam Stoikisme, kebahagiaan juga dianggap sebagai ketenangan batin. Contoh lain, dalam ajaran agama Islam, kita diajarkan untuk mengendalikan diri. Misalnya, dalam Surat Al-Baqarah ayat 183 tentang perintah berpuasa. Dalam ajaran Stoikisme, kebahagiaan juga dipandang dengan menekankan prinsip pengendalian diri dan kebijaksanaan. Yang terakhir adalah berkaitan dengan takdir. Dalam Al-Qur'an, menerima takdir dan berserah diri kepada kehendak Allah merupakan cara untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan.

Surat Al-Baqarah ayat 286 menekankan bahwa Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Stoikisme mengajarkan amor fati, atau cinta terhadap takdir, sebagai kunci kebahagiaan. Menurut ajaran ini, seseorang harus menerima segala kejadian dengan tenang karena semuanya adalah bagian dari rencana alam semesta. Meskipun demikian, ini bukan berarti hendak menyamakan kedudukan di antara keduanya, sebab keduanya berada pada ranah yang berbeda. Stoikisme adalah filsafat manusia, sementara Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang menjadi pedoman bagi umat Islam.

Simpulan

Aliran atau ajaran baru tidak semena-mena kita katakan sesat apabila berada di luar dari agama yang kita anut. Sebagai umat yang bijak dan berpikir kritis, penting untuk mempelajari dan memahami ajaran baru tersebut sebelum memberikan penilaian. Hanya karena sesuatu berbeda, bukan berarti itu salah atau sesat. Dalam Islam, kita diajarkan untuk mencari ilmu dan berdiskusi dengan orang-orang yang berilmu sebelum mengambil kesimpulan

Menurut saya, banyak ajaran atau filsafat di luar Islam yang mengandung nilai-nilai universal seperti kebaikan, keadilan, dan kesabaran, yang juga diajarkan dalam Islam. Mengabaikan atau menolak ajaran tersebut hanya karena perbedaannya dengan ajaran kita tanpa memahami esensinya adalah bentuk ketidakadilan intelektual

Sumber:

Mas’udi. (2013). Menyingkap Hubungan Agama dan Filsafat: Merenda Kesesatan Filsafat Al-Ghazali, Merespons Keterhubungan Filsafat dan Agama Ibnu Rusyd. Jurnal Penelitian, 7(2), 301–322.

Rahman, T., Pertiwi, L., dan Batu Bara, A. (2022). Hakikat Kebahagiaan Hidup: Konsensus antara Al-Qur’an dan Filsafat Stoikisme. Jurnal Riset Agama.

Theo, Y. (2021). Yang Layak’ (Kathekon): Sebuah Alternatif terhadap Dikotomi Kendali Stoikisme dalam Hidup Marcus Tullius Cicero. Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara.

Sabirin. (2015). Kritik Nalar Al-Ghazali dalam Sengkarut Filsafat Islam. El-Ihkam, 8(1), 89–110.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image