Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Farel Fachruzani

Pemerataan Akses Pendidikan di Indonesia: Apakah Sudah Setara?

Edukasi | Friday, 14 Jun 2024, 18:26 WIB
Sumber: dokumentasi pribadi

“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world” -Nelson Mandela

Akses pendidikan yang rata tentunya menjadi idaman bagi setiap insan di negeri kita yang tercinta ini. Akan tetapi, tidak semua insan kita bisa merasakan nikmat tersebut. Hal tersebut ditunjukkan dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) yang masih di bawah negara Asia Tenggara lain. Berdasarkan data dari BPS pada tahun 2022, tingkat APK pada jenjang SD/sederajat mencapai 106,26 persen, tingkat APK pada jenjang SMP/sederajat mencapai 92,13 persen, tingkat APK pada jenjang SMA/sederajat mencapai 85,54 persen, dan tingkat APK-PT (Perguruan Tinggi) mencapai 31,16 persen.

Angka APK-PT tersebut masih jauh di bawah target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020 - 2024, yaitu sebesar 37,64 persen. Rendahnya APK berdampak pada kualitas pendidikan Indonesia yang menduduki peringkat ke-64 dari 120 negara. Melihat data tersebut, ada penurunan APK setiap beranjak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) ke-4, yaitu pendidikan yang berkualitas.

Rendahnya inklusivitas pendidikan di Indonesia berdampak kepada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Hal tersebut terlihat pada jumlah tenaga kerja Indonesia yang masih didominasi oleh lulusan SD ke bawah. Menurut OJK, pada tahun 2022, tenaga kerja dari lulusan SD ke bawah sebesar 39,10 persen, lulusan SMP sebesar 18,23 persen, SMA sebesar 18,23 persen, pendidikan akhir diploma I/II/III dan universitas sebesar 12,6 persen, dan SMK sebesar 12,6 persen.

Hal tersebut dapat mengkhawatirkan masa depan bangsa Indonesia karena SDM tidak dapat bersaing di era disrupsi saat ini. Era disrupsi mengharuskan manusia untuk mengembangkan pola pikir dan karakter sesuai dengan perkembangan zaman. Apabila SDM suatu negara tidak dapat menyaingi perkembangan zaman, pembangunan suatu negara dapat tertinggal dari negara lain.

Indonesia memiliki berbagai tantangan untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif dan berkualitas. Di antaranya:

1. Infrastruktur pendidikan yang kurang memadai. Beberapa daerah di Indonesia masih memiliki fasilitas pendidikan yang kurang layak bahkan tidak layak sama sekali untuk digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal tersebut menyebabkan pelajar tidak nyaman saat belajar sehingga materi yang disampaikan oleh pengajar tidak efektif.

2. Kurangnya pengetahuan dan akses terhadap teknologi. Disrupsi teknologi yang terjadi pada saat ini menyebabkan akses terhadap ilmu pengetahuan menjadi semakin mudah. Sayangnya, tidak semua pelajar dan pengajar di Indonesia dapat mengakses sumber ilmu pengetahuan tersebut. Selain itu, banyak pelajar dan pengajar yang masih tidak mengerti cara dalam menggunakan teknologi sehingga kegiatan belajar mengajar menjadi tidak efektif.

3. Rendahnya kualitas dan kuantitas tenaga pengajar. Saat pengajar di kota-kota besar semakin bertambah, pengajar di daerah tertinggal justru stagnan. Hal tersebut menciptakan kesenjangan pendidikan di Indonesia.

Pendidikan yang inklusif dan berkualitas dapat tercapai apabila pemerintah dan masyarakat dapat bersinergi dengan baik. Pemerintah dapat membuat berbagai program yang sejalan dengan SDGs ke-4 dengan masyarakat sebagai pendukung terlaksananya program tersebut, seperti Kurikulum Merdeka. Pelajar juga harus ikut berpartisipasi untuk mewujudkan pendidikan inklusif dengan memaksimalkan segala potensi dirinya melalui fasilitas yang tersedia di tempat belajar, mengikuti program dari pemerintah dengan baik, serta belajar dan berprestasi. Melalui sinergi pelajar, masyarakat, dan pemerintah, diharapkan Indonesia dapat mewujudkan pendidikan yang inklusif dan berkualitas sesuai dengan SDGs ke-4.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image