Apakah Penyandang Disabilitas Perlu Dikasihani?
Edukasi | 2024-06-13 10:46:35Penyandang disabilitas merupakan bagian integral dari masyarakat yang terdiri dari individu dengan berbagai jenis keterbatasan fisik, mental, sensorik, atau intelektual. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka sering kali menghadapi tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan individu tanpa disabilitas. Namun, apakah penyandang disabilitas perlu dikasihani? Pertanyaan ini memerlukan pemahaman mendalam tentang konsep disabilitas, hak asasi manusia, serta sikap dan perilaku masyarakat terhadap mereka.
Kasihani dan empati adalah dua hal yang penting dalam hubungan antar manusia. Namun, ada perbedaan yang signifikan antara rasa empati dan rasa kasihan. Empati mengacu pada kemampuan untuk memahami dan berbagi perasaan orang lain, sedangkan rasa kasihan sering kali mengimplikasikan bahwa seseorang berada dalam posisi inferior dan membutuhkan belas kasihan dari orang lain. Dalam konteks penyandang disabilitas, penting untuk menekankan empati dan penghargaan atas martabat manusia daripada rasa kasihan yang merendahkan (Disabilitas and Indonesia, 2022). Kasihan yang berlebihan sering kali merendahkan martabat penyandang disabilitas dengan memposisikan mereka sebagai individu yang lemah dan tidak mampu. Hal ini bisa mengurangi rasa harga diri mereka dan memperkuat perasaan bahwa mereka tidak setara dengan orang lain. Alih-alih rasa kasihan, yang dibutuhkan penyandang disabilitas adalah pengakuan atas hak-hak mereka dan akses yang setara terhadap kesempatan dan sumber daya. Ini termasuk akses terhadap pendidikan yang inklusif, pekerjaan yang adil, layanan kesehatan yang sesuai, dan lingkungan yang ramah disabilitas. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di Indonesia telah menggariskan hak-hak tersebut dan menekankan pentingnya inklusi dan non-diskriminasi. Implementasi undang-undang ini harus menjadi prioritas agar penyandang disabilitas dapat menjalani kehidupan yang penuh dan bermakna.
Pandangan masyarakat saat ini masih menganggap penyandang disabilitas sebagai masalah kesehatan yang melekat pada individu dan yang harus diatasi melalui pengobatan atau terapi medis. Namun, model ini memiliki keterbatasan signifikan dan dapat dikaitkan dengan pendekatan charity model yang merendahkan bagi para penyandang disabilitas (Tsai and Ho, 2010). Model medis cenderung mengabaikan aspek sosial dan lingkungan yang mempengaruhi pengalaman disabilitas. Misalnya, seorang pengguna kursi roda mungkin tidak terlalu terpengaruh oleh kondisi fisiknya sendiri, tetapi lebih oleh kurangnya aksesibilitas di ruang publik. Pendekatan yang hanya berfokus pada penyembuhan medis mengabaikan pentingnya mengubah lingkungan fisik dan sosial untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan penyandang disabilitas (Syafi, 2012). Dari hal tersebutlah yang memberikan stigma bahwa penyandang disabilitas harus dikasihani dan diberikan pertolongan, penyandang disabilitas tidak memerlukan rasa kasihan yang merendahkan, tetapi dukungan yang memberdayakan. Ketika penyandang disabilitas dipandang dengan kasihan, fokusnya sering kali terletak pada keterbatasan mereka daripada kemampuan dan potensi mereka. Hal ini dapat menghambat kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan apa yang bisa mereka capai dan berkontribusi secara positif.
Dari adanya stigma yang telah melekat oleh masyarakat, melahirkan tindakan lebih lanjut yang memandang penyandang disabilitas sebagai objek belas kasihan dan penerima bantuan biasa disebut dengan charity model. Dalam pandangan ini, penyandang disabilitas sering kali dianggap tidak mampu mengurus diri sendiri, penyandang disabilitas sering dijadikan target utama sebagai kegiatan untuk berbagi. Akan tetapi, pendekatan ini sering kali mengabaikan potensi dan hak-hak dari penyandang disabilitas. Akibatnya, charity model dapat memperkuat stigma negatif dan stereotip tentang penyandang disabilitas sebagai individu yang lemah dan tidak berdaya. Menggeser pendekatan dari charity model dan model medis ke model sosial dan berbasis hak adalah langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil, di mana setiap individu, terlepas dari disabilitasnya, dihormati dan diakui potensinya.
REFERENSI
Disabilitas, P. and Indonesia, D.I. (2022) ‘NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial’, 9(2), pp. 807–812.
Syafi, M. (2012) ‘BAGI PENYANDANG DISABILITAS’, pp. 269–290.
Tsai, I. and Ho, M. (2010) ‘An Institutionalist Explanation of the’.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.