Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nesyahrani Wigdi Trias Putri

Gen Z dan Horor Media Sosial

Gaya Hidup | 2024-06-12 16:21:22

Media sosial sudah menjadi belahan jiwa para homosapiens abad ke-21, terutama Gen Z. Dari Facebook, Instagram, X, hingga Tiktok sudah menjadi bestie untuk menghabiskan waktu mereka. Media sosial tidak hanya digunakan untuk hiburan, tetapi juga dapat digunakan untuk mengunggah postingan, mendapatkan informasi, hingga membangun personal branding. Bak pisau bermata dua. Media sosial juga bisa menjadi momok bagi penggunanya.

Seringkali kita mendengar orang-orang berkata overthinking, entah overthinking karena kekasih, overthinking karena pekerjaan, overthinking tentang masa depan, bahkan overthinking karena komentar orang lain, seperti misalnya overthinking karena sudah mengunggah sesuatu di media sosial. Mengutip beberapa komentar di platform tiktok:

Nama akun @Bungi : “nangis tiap malam gara-gara mikir masa depan takut ga sesuai ekspektasi ortu”

Nama akun @iuymima : “ga kuat sumpah hidup penuh jealous sama temen ditambah banyak kekurangan jadi pasrah sama kehidupan”

Nama akun @khel : “overthinking masa depan tuh sakit banget, nyesek daripada overthinking hal yang lain-lain”

Di platform X, banyak generasi muda yang takut untuk mengunggah postingan karena overthinking terhadap komentar orang lain. Mengutip tweet dari platform X:

Nama akun @peachyabry : “akhir2 ini takut bgt sm warga twt ???????????? org posting di akun sendiri tp kena salty-nya kek udh ngebongkar rahasia negara, ngeri bgt ????”

Nama akun @ heshfy : “Takut buat posting sesuatu di akun sendiri dan ngerasa ngga enak sama org yg ngeliat. Kek HEY?! Ini akun sendirii?? Knp malah ngga enak sama orang lain? Toh yg mau diposting bukan yg aneh² sksks siapa?

Aku????”

Tak heran, banyak generasi muda yang bisa ratusan kali berfikir sebelum mengunggah foto di akun sosmed mereka. Perasaan takut untuk dianggap alay ataupun freak menjadikan mereka malu dan takut untuk mengunggah sesuatu di sosmed mereka. Terlalu takut dianggap gendut karena foto di depan cermin, terlalu takut dianggap “sok ngartis” ketika membuat video tentang makeup ataupun daily vlog, terlalu malu untuk mengunggah outfit yang sudah dipakai karena takut dianggap “sok seleb”.

Padahal yang sebenarnya terjadi adalah orang lain mungkin tidak terlalu peduli tentang apapun yang kita unggah di akun sosmed kita. Asalkan kita tidak mengunggah postingan yang mengandung SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) maka unggah saja apapun yang kita inginkan.

Adanya tekanan untuk menampilkan versi sempurna dari diri sendiri menjadikan generasi muda mungkin merasa tergoda untuk mengedit dan memoles foto mereka menjadi sempurna, menyajikan kehidupan mereka dalam cahaya yang positif atau bahasa kerennya “positive vibes”, yang bisa meningkatkan perasaan percaya diri pada mereka. Sebetulnya edit foto adalah hal yang wajar. Semua orang pasti menginginkan versi terbaik mereka dilihat oleh orang lain.

Akan tetapi jika sudah merasa mengedit foto sebelum diunggah di media sosial adalah kegiatan wajib yang haram untuk ditinggalkan, itu akan menjadi sebuah masalah. Selain itu, paparan berlebihan terhadap konten yang menekankan tubuh serta wajah yang sempurna, kekayaan material, atau gaya hidup yang tidak realistis juga dapat mempengaruhi perasaan ketidakpercayaan diri para generasi muda.

Penting bagi generasi muda untuk memahami bahwa apa yang mereka lihat di media sosial hanyalah potongan kecil dari kehidupan orang lain dan seringkali tidak mencerminkan kenyataan sepenuhnya. Memiliki kesadaran diri yang kuat dan kemampuan untuk mengenali tekanan media sosial adalah kunci untuk menjaga kesehatan mental di era digital ini.

Para generasi muda sering kali merasa insecure ketika melihat orang lain mengunggah prestasi yang mereka dapatkan di media sosial. Saat scrolling melalui feed yang penuh dengan pencapaian akademis, karier, dan personal orang lain, mereka sering merasa kecil dan tidak berarti. Mereka mungkin mulai mempertanyakan kemampuan diri mereka dan merasakan tekanan untuk mencapai hal serupa. Ketika belum mendapatkan prestasi yang bisa dibanggakan, perasaan tidak mampu dan tidak berharga pun muncul.

Media sosial, yang seharusnya menjadi tempat untuk terhubung dan berbagi kebahagiaan, malah menjadi sumber perbandingan sosial yang tak sehat. Ini menyebabkan banyak generasi muda merasa tertinggal, meskipun mereka mungkin memiliki potensi dan kualitas yang luar biasa. Perasaan insecure ini bisa semakin parah ketika mereka terus-menerus terpapar pada konten yang menampilkan kehidupan orang lain yang tampak sempurna dan penuh pencapaian.

Rasa insecure yang menggerogoti jiwa mereka ini sering kali bertransformasi menjadi perasaan jealous. Mereka mulai merasa iri terhadap kesuksesan dan kebahagiaan orang lain, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi hubungan sosial dan kesehatan mental mereka. Alih-alih merayakan prestasi orang lain, mereka merasa tersisih dan semakin terpaku pada kekurangan diri sendiri. Perasaan jealous ini dapat menghambat perkembangan pribadi mereka karena lebih banyak energi yang terbuang untuk membandingkan diri dengan orang lain daripada fokus pada pertumbuhan dan potensi diri sendiri.

Penting bagi generasi muda untuk menyadari bahwa media sosial sering kali hanya menampilkan sisi terbaik dari kehidupan seseorang, bukan keseluruhan cerita. Dengan demikian, mereka dapat belajar untuk lebih menghargai perjalanan dan prestasi mereka sendiri, mengembangkan rasa syukur, dan membangun kepercayaan diri yang lebih sehat.

Horornya media sosial juga bisa sampai merenggut nyawa seseorang. Komentar jahat hingga bullying online kerap terjadi di media sosial. Seperti contoh dari kejadian yang dialami Sully mantan personil f(x) yang bunuh diri karena komentar bullying yang dia dapatkan di media sosial. Karena banyaknya komentar jahat menjadikan sang artis stres hingga memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Hampir semua orang terkenal pernah mendapat komentar jahat, bahkan atlet nasional yang membanggakan negara pun akan dihujat ketika mereka mengalami kekalahan. Komentar jahat akan memenuhi kolom komentar mereka 1 detik setelah melakukan kesalahan, seperti contoh Ernando Ari, kiper muda timnas Indonesia ini mendapat hujatan setelah laga melawan Irak di Gelora Bung Karno, seakan save yang sudah dilakukan sebelumnya tidak pernah diingat. Hujatan pun tidak hanya terjadi pada saat seseorang melakukan kesalahan, sebagai contohnya saja ada selebgram yang dipanggil “aura maghrib” hanya karena dia mempunyai kulit sawo matang.

Sedikit kesalahan pun kalau yang melakukan adalah orang terkenal maka itu akan menjadi sasaran empuk haters untuk menghujat. Bahkan, orang biasa pun bisa terkena komentar jahat yang berasal dari lingkungan mereka sendiri, keluarga maupun teman yang jahat bisa memberikan komentar yang menyakitkan hati.

Dalam beberapa kasus, korban komentar jahat ini dapat meragukan diri sendiri dan membuat korban merasa terisolasi dengan lingkungan luar. Ketika menghadapi komentar jahat yang menyakitkan, korban mulai menarik diri dari interaksi sosial, baik online maupun offline, karena takut akan penilaian atau ejekan lebih lanjut. Rasa sakit dan malu yang diakibatkan oleh komentar tersebut dapat membuat korban merasa kesepian dan membuat rasa percaya diri turun drastis.

Dalam upaya melindungi diri, korban mungkin menghindar untuk berbagi cerita dengan orang lain, bahkan teman dekat atau keluarga, korban berfikir bahwa ketika dia bercerita hanya akan memperdalam perasaan keterasingan. Dukungan dari lingkungan sekitar dan bantuan profesional menjadi sangat penting untuk membantu mengatasi dampak negatif ini dan memulihkan kesejahteraan dirinya.

Ketika kita mendapat komentar jahat, penting bagi kita untuk menyikapinya dengan bijak dan tegas. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah tidak merespons dengan kemarahan atau emosi, karena hanya akan memperkeruh suasana. Jika memungkinkan laporkan komentar tersebut kepada platform media sosial untuk ditindaklanjuti. Selain itu, kita bisa memberikan contoh positif dengan tidak perlu menanggapi komentar tersebut. Generasi muda harus bisa menanamkan prinsip bahwa tidak semua orang suka dengan kita. Tetapi, tetap saja komentar jahat tidak boleh dilakukan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image