
Fenomena Overthinking: Cermin Kegelisahan Generasi Z?
Gaya Hidup | 2025-04-06 19:39:50Di tengah derasnya arus informasi dan tuntutan zaman modern, Generasi Z kerap kali dihadapkan pada berbagai tekanan yang kompleks, baik dari aspek sosial, pendidikan, pekerjaan, maupun relasi pribadi. Salah satu respons psikologis yang kerap muncul dari tekanan tersebut adalah overthinking atau dalam bahasa Indonesia disebut berpikir berlebihan. Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan merenung mendalam, melainkan suatu bentuk kegelisahan yang mencerminkan beban mental dan emosional yang tidak jarang sulit diatasi.

Apa Itu Overthinking?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “berpikir” berarti menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Sementara itu, “berlebihan” diartikan sebagai melebihi ukuran yang semestinya. Maka, berpikir berlebihan dapat dipahami sebagai proses berpikir yang melebihi batas kewajaran, di mana individu cenderung terus-menerus memikirkan sesuatu secara mendalam hingga menimbulkan kecemasan, keraguan, bahkan kelelahan emosional.
Overthinking bukanlah diagnosis klinis, tetapi lebih merupakan gejala yang dapat berkaitan dengan gangguan kecemasan (anxiety disorder), stres kronis, atau depresi. Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, dinilai memiliki kecenderungan lebih besar mengalami fenomena ini dibandingkan generasi sebelumnya. Mengapa demikian?
Tekanan Sosial dan Budaya Digital
Salah satu penyebab utama dari meningkatnya perilaku berpikir berlebihan di kalangan Generasi Z adalah eksistensi media sosial. Di era digital, kehidupan individu seolah dipertontonkan dalam ruang publik yang tak mengenal batas waktu dan tempat. Instagram, TikTok, Twitter, dan platform lainnya tidak hanya menjadi tempat berbagi, tetapi juga menjadi sumber pembanding dan pencipta standar kesuksesan, kecantikan, gaya hidup, dan pencapaian.
Akibatnya, banyak anggota Generasi Z merasa perlu untuk selalu tampil sempurna dan memenuhi ekspektasi sosial yang tinggi. Setiap keputusan kecil dalam hidup mulai dari pilihan jurusan kuliah, pekerjaan, hubungan, hingga cara berpakaian tidak lepas dari penilaian orang lain. Hal ini mendorong mereka untuk terus memikirkan kemungkinan terbaik dan terburuk, bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya sederhana.
Lingkungan Pendidikan dan Karier
Selain media sosial, sistem pendidikan yang kompetitif juga menjadi pemicu overthinking. Sejak dini, Generasi Z dituntut untuk memiliki prestasi akademik yang tinggi, aktif dalam organisasi, serta memiliki berbagai keterampilan tambahan seperti kemampuan bahasa asing, teknologi, dan kepemimpinan. Harapan ini sering kali datang dari orang tua, guru, atau bahkan dari diri sendiri.
Setelah lulus, tantangan baru muncul di dunia kerja. Persaingan yang ketat, tuntutan produktivitas, serta ketidakpastian ekonomi global memperparah tekanan mental. Tidak sedikit dari mereka yang merasa kehilangan arah, takut gagal, atau merasa tertinggal dari rekan sebayanya. Pikiran-pikiran seperti "Apakah aku cukup baik?", "Bagaimana jika aku gagal?", atau "Apa yang akan orang lain pikirkan tentangku?" terus membayangi keseharian mereka.
Relasi dan Harapan Emosional
Selain tekanan eksternal, overthinking juga kerap dipicu oleh konflik batin dalam menjalin hubungan sosial maupun percintaan. Generasi Z dikenal sebagai generasi yang sangat sadar akan kesehatan mental, tetapi di sisi lain, mereka juga memiliki kecenderungan tinggi terhadap rasa takut ditinggalkan (fear of abandonment), kesulitan mengungkapkan perasaan, dan ketidakpastian dalam mengambil keputusan emosional.
Perkembangan teknologi komunikasi memang memudahkan konektivitas, tetapi juga menimbulkan paradoks: semakin mudah terhubung, semakin sulit merasa benar-benar dekat. Ketidakpastian dalam relasi ini sering kali menimbulkan keraguan, interpretasi berlebihan atas pesan atau tindakan pasangan, dan pemikiran negatif yang tidak berkesudahan.
Menemukan Jalan Keluar
Menghadapi fenomena overthinking di kalangan Generasi Z memerlukan pendekatan yang holistik. Pertama, penting bagi individu untuk mengenali bahwa berpikir berlebihan bukanlah tanda kelemahan, melainkan respons yang manusiawi atas tekanan yang dihadapi. Kesadaran ini merupakan langkah awal untuk mengelola kecemasan secara sehat.
Kedua, dukungan lingkungan sangat diperlukan, baik dari keluarga, teman, maupun institusi pendidikan dan kerja. Pendekatan yang empatik, terbuka, dan tidak menghakimi dapat membantu individu merasa didengar dan dipahami.
Ketiga, membiasakan diri dengan praktik mindfulness, meditasi, atau menulis jurnal bisa membantu menjernihkan pikiran dan mengurangi kecenderungan berpikir berlebihan. Terapi psikologis seperti cognitive behavioral therapy (CBT) juga terbukti efektif dalam membantu individu mengatasi pola pikir yang tidak adaptif.
Fenomena overthinking yang marak dialami oleh Generasi Z bukanlah sekadar tren sesaat, melainkan cermin dari kegelisahan kolektif akibat tekanan sosial, budaya digital, dan kompleksitas hidup modern. Menghadapi kenyataan ini, perlu adanya kesadaran bersama untuk membangun lingkungan yang lebih sehat secara emosional dan mental, serta memberi ruang bagi generasi muda untuk tumbuh tanpa rasa takut terus-menerus akan kegagalan atau penilaian orang lain.
Dengan memahami akar permasalahan dan menawarkan solusi yang relevan, kita tidak hanya membantu individu mengatasi overthinking, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih empatik dan peduli terhadap kesehatan mental
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook