Pengesahan UU KIA, Apakah akan Menjadi Solusi yang Hakiki?
Kebijakan | 2024-06-12 15:50:04Pengesahan UU KIA
Pada 4 Juni 2024, DPR RI mengesahkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang berfokus pada fase 1000 hari pertama kehidupan. Ketua Komisi 7 DPR RI, Diah Pitaloka, menjamin bahwa undang-undang ini tidak akan mendiskriminasi perempuan di tempat kerja. Pengesahan ini mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti PKS, Kemenaker, dan Dirjen PHI dan Jamsos.
Tujuan UU KIA
UU KIA bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak selama periode krusial awal kehidupan anak. Salah satu poin penting dalam undang-undang ini adalah memberikan cuti yang lebih panjang bagi ibu bekerja. Dukungan terhadap UU ini datang dari berbagai organisasi dan lembaga yang melihatnya sebagai langkah positif untuk memungkinkan perempuan tetap berkarir tanpa mengorbankan peran mereka sebagai ibu.
Wanita Berdaya dalam Sistem Kapitalisme
Sistem kapitalisme yang saat ini mendominasi mengukur keberhasilan individu berdasarkan kemampuan mereka menghasilkan uang. Hal ini menyebabkan pandangan bahwa perempuan berdaya adalah mereka yang bekerja dan menghasilkan uang. Pandangan ini menggeser peran tradisional perempuan sebagai ibu dan pengasuh utama anak-anak mereka. Akibatnya, perempuan yang ingin tetap bekerja dan memenuhi peran keibuan mereka sering kali merasa terjepit antara tanggung jawab karir dan keluarga.
UU KIA Sebagai Solusi?
Pengesahan UU KIA merupakan respon terhadap kebutuhan untuk mendukung perempuan agar bisa menjalankan kedua peran tersebut. Namun, solusi yang diberikan berupa cuti melahirkan lebih panjang mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mendalam anak-anak yang memerlukan kehadiran dan pengasuhan ibu mereka hingga usia lebih tua.
Solusi dari Islam untuk Wanita dan Ibu
Islam menawarkan solusi yang lebih komprehensif dan sesuai fitrah untuk permasalahan ini. Dalam pandangan Islam, peran utama perempuan adalah sebagai Ummu wa Rabbatul Bait (ibu dan pengelola rumah tangga). Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya, termasuk perempuan sebagai pemimpin rumah tangganya dan anak-anaknya (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi).
Islam mengatur agar laki-laki, sebagai kepala keluarga, bertanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan nafkah keluarga. Negara dalam sistem Islam akan memastikan setiap laki-laki memiliki pekerjaan yang layak dan mampu memberikan nafkah yang cukup bagi keluarganya. Dengan demikian, perempuan tidak perlu khawatir tentang masalah finansial dan dapat fokus pada pengasuhan dan pendidikan anak-anak mereka.
Selain itu, jika perempuan memilih untuk bekerja, motivasi mereka harus didasarkan pada pemanfaatan ilmu untuk kemaslahatan umat dan Islam, bukan semata-mata untuk menopang ekonomi keluarga. Negara Islam juga akan mengatur jam kerja perempuan agar tidak mengganggu peran utama mereka sebagai ibu dan pengelola rumah tangga.
Dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang memastikan kebutuhan dasar keluarga terpenuhi, perempuan dapat menjalankan peran keibuan mereka dengan optimal. Sistem ini memuliakan perempuan dengan mengembalikan mereka pada fitrah sebagai ibu dan pendidik generasi, bukan berdasarkan seberapa banyak uang yang mereka hasilkan.
Kesimpulan
UU KIA adalah upaya untuk mendukung kesejahteraan ibu dan anak dalam konteks masyarakat modern yang kapitalistik. Namun, solusi yang ditawarkan Islam melalui penerapan syariat secara menyeluruh memberikan jaminan yang lebih komprehensif dan sesuai fitrah. Dengan sistem Islam, perempuan dapat memaksimalkan peran mereka sebagai ibu tanpa beban ekonomi, memastikan generasi yang lebih baik dan berkualitas di masa depan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.