Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudhi Hertanto

Paradoks Asian Value, Demokrasi yang Everybody Happy

Ngariung | Wednesday, 12 Jun 2024, 06:11 WIB

Berbeda! Dalam demokrasi, perbedaan adalah hal yang dihargai. Pertukaran pikiran dibutuhkan untuk menjaga nalar sehat. Bahkan dalam spektrum yang terlihat nyeleneh sekalipun. Disisi lain, pemikiran multiperspektif menjadi ruang untuk mengukur tingkat kematangan percakapan.

Salah satu yang trending menjadi pembicaraan publik adalah viralnya potongan pendek podcast dengan topik politik dinasti. Secara garis besar, host diskusi tersebut menilai politik dinasti sebagai Asian Value, merupakan bagian hak asasi manusia, dan bukan sebuah kesalahan karena semua pihak happy.

Tentu saja hal itu memantik diskusi yang meluas. Kita perlu membagi premis yang diajukan tersebut, dalam horizon berpikir pada kehidupan demokrasi sebagai pilihan kita model bernegara. Politik dinasti atau kekerabatan, sesungguhnya menempatkan kekuasaan secara terbatas dalam dominasi elit.

Akumulasi kuasa itu dipergilirkan pada circle yang kecil, dilandaskan garis keturunan. Proporsi pemilik kekuasaan akan bergantung kentalnya trah dan aspek kekeluargaan. Apakah ini merupakan Asian Value? Bisa saja, bila melihat definisinya sebagai nilai Timur yang berbeda dari norma Barat.

Pemaknaan Asian Value menjadi antitesis konsep negara Barat, yang mempromosikan demokrasi dan kebebasan sebagai prinsip dasar. Pada Asian Value formula pokoknya harmoni, titik sentralnya terletak pada keluarga dengan model kerjasama. Hal tersebut merupakan nilai baik, tetapi bukan tidak ada kritik.

Sebagian kalangan menafsir paradoks, upaya internalisasi Asian Value adalah strategi untuk melanggengkan kekuasaan di ruang sempit. Partikularisme nilai ketimuran Asia, berlawanan dengan universalisme Barat. Nilai demokrasi diktum awalnya mengharuskan sirkulasi, sehingga keberimbangan diukur dari kesetaraan pada akses kuasa secara adil.

Kedua hal itu adalah pilihan, dalam konteks kehidupan bernegara, keputusan telah dibuat untuk menggunakan mekanisme demokrasi. Jika kemudian pola politik dinasti yang Asian Value tersebut dibenarkan secara konstitusional, melalui jalur keputusan hukum, lantas apa artinya?

Kita memang belum sampai pada kematangan rasional, untuk dapat memahami bila tangan kekuasaan mampu merasuk ke berbagai ranah, pun pada meja mahkamah hakim. Demokrasi yang dibangun mengalami kemunduran, terbukti sebagai demokrasi cacat -flawed democracy.

Lantas bila pada akhirnya semua berbahagia -everybody happy dengan politik dinasti, dimana masalahnya? Toh demokrasi mengusung hak asasi manusia, dimana setiap orang memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Pernyataan yang sepintas benar ini, sesungguhnya problematik.

Demokrasi memberi ruang berimbang bagi semua pihak untuk maju ke pentas perebutan kekuasaan, prinsipnya adil, setara dan berimbang. Dengan begitu, dasar pertimbangannya meritokrasi atas kemampuan. Politik dinasti justru memberi hak Istimewa alias privilege, pada asal darah keturunan.

Kesalahan dalam menempatkan asumsi semua pihak berbahagia, mengandaikan keterwakilan publik. Padahal everybody happy dalam politik dinasti hanya terjadi pada lingkaran kekuasaan, menyoal berbagi jatah kursi kuasa, tidak merepresentasikan mayoritas masyarakat.

Pendekatan greatest happiness of the greatest number, hanya menjadi signifikan bila kuantitas dan kualitas bersanding, bukan sekedar diwakilkan sebagaimana praktik politik yang berlaku selama ini.

Paradoksal Asian Value berhadapan dengan realitas politik uang, dan rendahnya literasi. Tetapi hal ini bukan berarti pemakluman, justru harus terdapat upaya sadar untuk mencerahkan kehidupan publik. Dan hal itu adalah tugas bersama, karena negeri ini bukan hanya milik kelompok elit semata yang berlaku dengan cara usang warisan masa lalu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image