Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shela Rahmadhani, S. Pt.

Politik Tanpa Dinasti Rasa Mustahil

Politik | 2024-06-11 15:54:10
Sumber : Republika.co.id

Gembar-gembor perayaan pesta demokrasi belakangan belum hilang, dengan segala macam isu-isu ikutannya, kini, datanglah masa pesta demokrasi kembali untuk pemilihan kepala daerah. Pesta demokrasi pemilihan presiden yang baru terjadi dihiasi dengan isu paling menonjol yakni politik dinasti dimana ayah dan paman menjadi jalan bagi duduknya sang anak. Kini politik dinasti diduga akan menjadi isu yang muncul lagi kepermukaan dengan kasat mata.

Politik dinasti berdasarkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Politik dinasti mengandalkan kepemimpinan berada pada tangan segelintir orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan (famili) ditandai dengan tersebarnya jejaring kekuasaan melalui pengaruh politik pendahulunya dengan cara penunjukkan anak, istri, paman, dan semacamnya untuk menduduki pos-pos strategis dalam lembaga negara maupun partai politik. Penganut politik dinasti ketika duduk pada posisi strategis negara, secara pasti membuka jalan-jalan bagi kerabat lain melalui kuasa dan pengaruhnya.

Politik sendiri adalah perkara yang akan selalu ada dalam masyarakat majemuk dimana masyarakat memerlukan pemerintahan untuk mengurusi kehidupan mereka. Namun, sikap kedinastian atau tidak netral dalam menyikapi keluarga dalam suatu urusan politik atau non-politik seringnya menjadi faktor rancu. Adanya hubungan keluarga menjadikan seseorang dapat mengurang-ngurangi hukuman atau memudah-mudahkan suatu urusan, padahal seharusnya kerabat dipandang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan rakyat yang lain.

Misalnya, merevisi peraturan "calon gubernur harus berusia 30 tahun saat pencalonan" menjadi "calon gubernur berusia 30 tahun saat pelantikan" melalui Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024. Diduga revisi ini jelas tidak netral, melainkan tersirat di dalamnya sikap ingin membuka jalan bagi kerabat pemerintah yang berkuasa untuk memajukan keluarganya. Apalagi langkah tersebut serupa dengan peristiwa sebelumnya dimana pada pemilu nasional direvisi UU terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden yang membuka jalan bagi anak presiden untuk maju.

Memiliki rasa memandang lebih keluarga adalah alamiah dari naluri yang menjadi pendorong lahirnya politik dinasti. Naluri kekeluargaan sejauh ini menjadi ujian terbesar dalam setiap kepemimpinan dan kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan yang adil dan objektif berdasarkan nilai-nilai universal semata. Meskipun di suatu kesempatan, akan ada kondisi kapasitas yang dimiliki seseorang kebetulan bersamaan dengan adanya hubungan keluarga.

Sesuai yang dikatakan mahfud MD bahwa "tidak seharusnya ada larangan terhadap seseorang yang dirinya hendak maju dalam pesta demokrasi baik dalam konteks sebagai calon kepala daerah (Gubernur, Bupati Atau Wali Kota ), sekalipun dirinya merupakan anggota keluarga dari salah satu penguasa negeri ini atau penguasa dalam suatu wilayah tertentu di negara ini dengan catatan bahwa yang bersangkutan punya kapasitas dan kapabilitas dalam pencalonan tersebut.

Pendapat tersebut tentu dapat diterima ketika nilai-nilai kekeluargaan dapat dicegah dan pandangan terhadap keluarga dapat disingkirkan. Ciri-ciri nya dimana seluruh proses berdasarkan kompetisi dan argumentasi logis semata tidak ada unsur abstrak atau ketidakjelasan. Ancaman dari atas ke bawah dengan menekan bantuan sosial, menggerakkan kekuatan-kekuatan khusus untuk intimidasi, dan merevisi UU untuk penyesuaian, dan langkah-langkah abstrak lain yang diketahui oleh hati dan niat pelaku saja demi duduknya seorang kerabat, merupakan faktor-faktor ganjil yang mendefinisikan ciri-ciri politik dinasti.

Politik dinasti memang kerap terjadi dan menimpa hampir seluruh peradaban. Bahkan di sistem yang disebut republik yang menjunjung hak asasi manusia sehingga semua orang baik perempuan, miskin atau kaya dapat melaju ke panggung kekuasaan, tetap ditimpa oleh politik dinasti. Demikian pula peradaban terdahulu seperti Peradaban Persia dan Romawi, yang justru menjadikan politik dinasti adalah jalan kekuasaan. Bahkan dari sanalah politik dinasti bersumber yang diikuti oleh peradaban-peradaban di depannya, termasuk peradaban hari ini. Peradaban Islam pada periode tertentu pun turut menjalankan sistem politik dinasti mengikuti cara-cara Kaisar Persia dan Romawi sekalipun masih dalam bentuk negara Islam atau kekhilafahan Islam. Politik dinasti adalah permasalahan universal yang menimpa hampir seluruh periode pemerintahan manusia.

Karena berangkat dari naluri jelas sekali sulit memberantas politik dinasti. Namun, pada periode Rasulullah dan Pemerintahan sahabat Rasulullah di sana justru kepemimpinan tanpa politik dinasti terjadi secara nyata. Setelah Rasulullah wafat diganti oleh Abu Bakar As-shiddiq sahabat Rasulullah yang tidak memiliki kekerabatan dengan beliau. Demikian pula pemerintahan setelah Abu Bakar As-Shiddiq diganti dengan Umar Bin Khattab, lalu Ustaman bin Affan. Tidak ada dari ketiga pemimpin negara Islam tersebut yang merupakan kerabat Rasulullah. Namun, setelahnya Ali bin Abi Thalib menduduki kepemimpinan, semata-mata karena Ali bin Abi Thalib memiliki kelayakan dan melalui proses yang murni, bukan karena Ali bin Abu Thalib merupakan kekerabatan Rasulullah secara fakta.

Dengan demikian periode Rasulullah dan sahabat dalam peradaban Islam bebas dari politik dinasti. Sehingga menjadi pemahaman bahwa politik dinasti dapat dihapuskan sebenarnya.

Namun, pada kondisi hari ini politik dinasti justru benar-benar dipraktikkan secara kasat mata. Tidak hanya ditingkat pusat, melainkan tingkat daerah melakukan praktik yang sama. Menjadi wakil presiden karena ayah presiden merupakan gambaran jelas dari politik dinasti, apalagi disengaja melalui revisi UU di pengadilan. Semakin nyata lagi ketika diulang dipraktikkan dalam pemilihan gubernur, sehingga membuka jalan bagi anak presiden menjadi gubernur presiden. Sungguh sangat nyata.

Politik dinasti pada hari ini mustahil dihapuskan karena membuka manfaat kapital dan materi yang luar biasa. Diantara manfaat kapital adalah seluruh keluarga dapat menduduki jabatan penting yang dihormati dan berkuasa untuk memanfaatkan atau memiliki akses terhadap aset-aset negara sesuai keinginan yang dilegalkan dengan Undang-Undang. Dengan dinasti semua keluarga dapat bekerjasama dengan mudah seringnya dalam mengambil hak-hak rakyat, mengkhianati dan mengorbankan rakyat, tanpa ada interupsi dan pencekal dari pihak-pihak pejabat tinggi yang lain. Politik dinasti sangat menguntungkan karena mampu menutup aib-aib ketika melakukan korupsi, rekayasa tertentu, dll, sehingga mustahil cara ini akan dibuang.

Oleh karena itu, dalam kepemimpinan penting sekali sebuah kelurusan. Pemerintahan yang lurus yaitu pemerintah yang duduk untuk memenuhi kebutuhan rakyat dalam mengurus hajat dan kepentingan rakyat. Hanya mengurus dan untuk mengurus rakyat dengan peraturan negara. Maka, asas-asas negara harus lurus dan praktik asas-asas negara juga lurus. Politik dinasti sebuah praktik bengkok atau menyimpang dari kelurusan. Politik dinasti sumbernya sederhana yaitu perasaan, namun jika menjelma dalam politik jadi membahayakan.

Corak politik yang dipakai hari ini jelas mengandung dinasti. Hal tersebut adalah garis bengkok jika dihadapkan dengan pemerintahan murni bebas dari politik dinasti Rasulullah bagaikan garis lurus.

Oleh : Shela Rahmadhani, S. Pt.

Alumni Universitas Gadjah Mada

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image