Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gabriel Gamel Gunason

Film Berdasarkan Tragedi: Antara Refleksi dan Eksploitasi

Edukasi | 2024-06-09 23:24:49

Dari masa ke masa, media penyampaian informasi hadir dalam bentuk yang beragam, salah satunya adalah film. Film tidak hanya menjadi saran hiburan, tetapi menjadi sarana bagi pembuat maupun penontonnya untuk merefleksikan kehidupannya dan tak jarang memberikan sebuah pelajaran. Dikarenakan sebuah film dapat dijadikan cerminan dari masyarakat, tak jarang film diangkat dari kisah nyata agar lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah kisah tragedi. Akhir-akhir ini, adaptasi kisah tragedi menjadi perdebatan di masyarakat. Hal ini terjadi setelah pengumuman bahwa tragedi Vina Cirebon akan diangkat menjadi sebuah film berjudul Vina: Sebelum 7 Hari.

Adaptasi sebuah tragedi menjadi sebuah film, bukanlah suatu hal yang asing. Beberapa waktu lalu, Oppenheimer yang diangkat dari bapak bom atom dibalik tragedi Hiroshima dan Nagasaki, mendapatkan banyak pujian dan penghargaan.

Di Indonesia sendiri, tak lama setelah perilisan Vina: Sebelum 7 Hari, diumumkan bahwa tragedi selebgram Laura Anna juga akan diangkat menjadi sebuah film berjudul Laura. Namun, tak seperti Vina: Sebelum 7 Hari, film tersebut tak mendapatkan kecaman keras meski sama-sama berangkat dari sebuah kisah tragedi.

Lantas timbul beberapa pertanyaan. Bolehkah sebuah kisah tragedi diangkat menjadi sebuah film? Mengapa tidak semua film tragedi mendapat kecaman keras dari masyarakat?

Beberapa minggu setelah perilisan Vina: Sebelum 7 Hari, Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia (ALMI) melaporkan Dheeraj Kalwani, selaku produser film ke Mabes Polri. Hal ini dikarenakan film tersebut dianggap menyebabkan kegaduhan dan dapat memengaruhi proses hukum yang sedang berlangsung terkait kasus pembunuhan Vina.

Sempat dilaporkan atas dugaan kegaduhan, nyatanya Vina: Sebelum 7 Hari tercatat lolos sensor Lembaga Sensor Film (LSF). Ketua Komisi I LSF, Nasrullah, mengatakan bahwa Vina: Sebelum 7 Hari memenuhi kriteria lolos sensor dengan klasifikasi dewasa di atas 17 tahun. Dengan ini artinya sesuai UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film, dan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2019 bahwa film tersebut tidak melanggar aturan dan sah secara hukum.

Menanggapi hal tersebut, sang sutradara, Anggy Umbara mengaku heran atas laporan tersebut. Baginya film tersebut sudah lolos sensor dan didasari oleh kisah nyata. Anggy menegaskan bahwa film tersebut merupakan bentuk kebebasan berpendapat dan dirinya memiliki hak untuk berkarya.

Diketahui juga, keluarga Vina telah memberikan izin untuk menjadikan kisah tragedi tersebut sebagai film. Bahkan Anggy Umbara, selaku sutradara, mengatakan bahwa skenario film sudah dibawa ke keluarga sebelum proses syuting. Keluarga Vina sendiri beralasan bahwa pemberian izin film tersebut ialah agar Vina mendapatkan doa banyak orang dan pelaku dapat segera ditangkap.

Meski sah secara hukum, permasalahan sesungguhnya dari Vina: Sebelum 7 Hari ialah permasalahan etika. Dimana, film tersebut diduga mengeksploitasi penderitaan dan trauma demi keuntungan semata. Pasalnya, film yang didasari oleh tragedi tersebut dikemas sebagai film horror.

Pengemasan film Vina: Sebelum 7 Hari sebagai suguhan film horror merupakan kunci mengapa film tersebut mendapat kecaman keras dari masyarakat. Seandainya pendekatan film tersebut lebih humanis ketimbang menjadikannya supranatural, mungkin saja lebih dapat diterima oleh masyarakat. Pendekatan supranatural memang cenderung terlihat seakan-akan hanya mengikuti pasar film Indonesia ketimbang secara tulus membantu keluarga korban.

Selain itu, penggambaran tragedi Vina di dalam film tersebut juga dianggap terlalu berlebihan. Padahal, bisa saja penggambaran tragedi tersebut dibuat lebih halus dan tidak terkesan mengeksploitasi tragedi korban. Tragedi tersebut seharusnya menjadi bahan refleksi, alih-alih ajang mempertontonkan tragedi.

Memang benar kisah yang beredar di masyarakat terkenal akan kesaksian arwah Vina yang merasuki tubuh temannya. Namun, pembuatan film berdasarkan kisah tragedi haruslah dibarengi oleh senstivitas pembuatnya. Alangkah baiknya konsep film dipertimbangkan secara matang, sebab kasus tersebut sesungguhnya dapat dieksplorasi tidak hanya dari perspektif supranatural saja.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image