Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dalliyah Arbi

Pewajaran Objektifikasi Perempuan Melalui Akun Kampus Cantik

Edukasi | 2024-06-05 18:30:49

Saat membicarakan soal kecantikan, hal yang pertama kali terlintas di pikiran mayoritas orang adalah kecantikan fisik. Tak heran, jika konsep beauty standards menjadi tolok ukur tertentu bagi perempuan-perempuan agar bisa mendapatkan rupa fisik yang sesuai dengan kriteria masyarakat. Awalnya konsep beauty standards di Indonesia berpaku pada warna kulit, bentuk rambut, dan postur tubuh. Namun, seiring berkembangnya media informasi, konsep beauty standards yang hanya menilai hal-hal tersebut berkembang menjadi standar universal yang melahirkan ide-ide seksis dan terkadang menyudutkan banyak orang, terutama kaum perempuan. Perilaku seksis tidak hanya dilontarkan dari laki-laki kepada perempuan, sering kali sesama perempuan juga melakukan hal tersebut. Beauty standards kerap kali menilai fisik perempuan apakah dia cantik atau tidak, apabila perempuan itu memiliki figur yang sesuai dengan standar masyarakat, ia cenderung dihargai eksistensinya dan tentunya dia akan mendapatkan beauty privilege. Apabila tidak, perempuan itu sering mendapatkan komentar buruk atau body shaming secara langsung atau di media sosial. Tentunya hal tersebut akan menimbulkan tindakan diskriminasi di antara kaum perempuan. Padahal, kecantikan bersifat subjektif dan seharusnya masyarakat tidak membuat standar kecantikan yang berujung pada perilaku seksis.

Standar kecantikan merupakan sebuah konstruksi sosial yang dibangun oleh budaya patriarki. Budaya tersebut memandang perempuan sebagai objek yang hanya dinilai berdasarkan fisiknya saja, akibatnya timbul keresahan di antara kaum perempuan. Saya setuju di luar sana ada banyak perempuan yang merasa harus memenuhi beauty standards di media sosial, mereka rela harus mengikuti standar kecantikan tersebut agar eksistensinya dapat diterima dan dihargai di masyarakat. Tidak masalah jika perempuan ingin tampil cantik dan menarik untuk dirinya sendiri atau sebagai bentuk profesionalisme dalam bekerja, akan tetapi pandangan bahwa perempuan tampil cantik hanya untuk dilihat dan divalidasi laki-laki, itu adalah sebuah miskonsepsi yang menganggap perempuan adalah objek visual untuk memenuhi imajinasi laki-laki patriarkis. Di era digital ini banyak sekali fenomena serupa, seperti stigma-stigma perempuan yang dinilai seksis, objektifikasi perempuan, male entitlement, male gaze, bahkan pelecehan seksual. Salah fenomena yang dapat dijumpai di media sosial adalah munculnya akun kampus cantik.

Gambar : akun kampus cantik dari beberapa kampus di Indonesia

Akun kampus cantik merupakan akun Instagram yang berisi foto-foto para mahasiswi yang dinilai memenuhi standar kecantikan masyarakat, lalu dilengkapi oleh identitas dan akun Instagram yang bersangkutan. Foto tersebut diunggah oleh admin akun selaku pengelola akun tersebut dan sering sekali admin memposting foto tanpa seizin pemilik foto, mirisnya akun kampus cantik tersebut mendapatkan engagement tinggi, memiliki banyak pengikut Instagram, bahkan admin akun mendapatkan tawaran endorsement. Dari situlah admin akun meraup keuntungan dari hasil mencuri privasi orang lain. Akun kampus cantik merupakan salah satu bentuk glorifikasi seksisme dan wadah normalisasi objektifikasi. Tak sedikit komentar-komentar seksis dan terkesan male gaze yang berasal dari fantasi seksual pria bahkan komentar yang mengarah ke pelecehan verbal, seperti catcalling juga kerap dilontarkan. Mirisnya sebagian perempuan merasa tervalidasi saat dirinya menjadi incaran si akun kampus cantik, karena mereka merasa dirinya sangat sesuai dengan stigma atau standar kecantikan masyarakat, padahal hal tersebut bisa saja merugikan perempuan. Kultur-kultur seperti itulah yang seolah melanggengkan perilaku pelecehan seksual di lingkungan kampus, bahkan tak jarang orang-orang menormalisasikan perilaku tersebut dengan dalih bahan candaan. Standar kecantikan tersebut melahirkan stereotype yang toxic dan mengklasifikasikan perempuan cantik dan perempuan tidak cantik. Ide-ide tersebut nantinya berkembang menjadi narasi bahwa perempuan adalah objek, makhluk yang bisa dinilai value nya berdasarkan fisiknya saja, padahal perempuan bisa melakukan lebih daripada itu. Sungguh miris.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image