Asas Peradilan Ideal, Ada Jika Dibutuhkan
Politik | 2024-06-04 22:42:54Warga Indonesia dihebohkan dengan cepatnya Mahkamah Agung (MA) mengesahkan permohonan hak uji materi Partai Garuda terhadap Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota ke Mahkamah Agung (MA). Perkara dengan nomor 23 P/HUM/2024.
Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana memasukkan permohonan tanggal 23 April 2024, diterima MA pada 27 Mei 2024 dan Pada 29 Mei 2024 sudah diputuskan, dimana MA memerintahkan kepada KPU RI untuk mencabut Pasal 4 Ayat 1 Huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 . Hanya butuh waktu tiga hari, Sekjen Partai Garuda, Yohanna Murtika pun membenarkan itu (tirto.id, 2/6/2024).
Lebih spesifik lagi, Partai Garuda mempersoalkan Pasal 4 Ayat 1 Huruf d dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2020. Pasal tersebut mengatur tentang batas umur calon kepala daerah yang bisa berlaga di Pilkada 2024 mendatang, yakni minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur serta 25 tahun untuk cabup dan cawabup dan cawalkot dan calon wakil wali kota.
Tiga hakim yang memutuskan saat itu , yakni Hakim Agung Yulius selaku Ketua Majelis didampingi dua hakim agung yakni Cerah Bangun dan Yodi Martono Wahyunadi. Salah satu hakim yaitu Suharto mengatakan bahwa cepatnya proses putusan sudah sesuai dengan asas peradilan ideal, yakni pengadilan cepat, ringan, dan sederhana.
Cukup mencengangkan juga, mengapa untuk kasus ini asas cepat, ringan dansederhana berlaku. Sedangkan untuk kasus yang lain yang melibatkan MA atau MK berlarut-larut? Lepas dari fakta ini, masyarakat terlanjur gaduh. Banyak yang mensinyalir ada aroma politik yang sangat kuat. Perludem, salah satu lembaga swadaya kepemiluan menilai apa yang dilakukan Partai Garuda mirip dengan upaya pembatalan batas umur dalam gugatan Pasal 169 Huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 melaluiPutusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati menilai MA mencampuradukkan antara syarat calon kepala daerah dengan syarat pelantikan calon kepala daerah serta ada upaya pemaksaan dalil yang berkaitan dengan status calon kepala daerah. Demikian juga penilaian peneliti Formappi, Lucius Karus, ada upaya sekelompok pihak agar bisa meloloskan pihak tertentu yang ingin maju pilkada, tapi terhalang syarat umur.
Tergesanya putusan hakim menurut Lucius, baik MA dan MK tidak menjadikan argumentasi teoritis soal rentang usia sebagai basis, melainkan hanya melihat kepada pihak yang akan diuntungkan ketika mengubah syarat tersebut. Dan karena usia seringkali hanya perkara kompromi tak semestinya dibahas di MA ataupun MK.
Peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiarti mengatakan putusan MA itu membuka pintu bagi Kaesang yang baru akan berumur 30 tahun pada Desember mendatang untuk mencalonkan diri dalam pilkada tingkat provinsi.
Putusan Mahkamah Agung (MA) soal syarat usia calon kepala daerah disebut sarat kepentingan politik demi memuluskan langkah putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Namun sejumlah partai politik menampik tudingan tersebut, seraya menegaskan putusan ini “memberikan kesempatan” kepada generasi muda untuk unjuk gigi dalam dunia politik.
Peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiarti mengatakan putusan MA itu membuka pintu bagi Kaesang yang baru akan berumur 30 tahun pada Desember mendatang untuk mencalonkan diri dalam pilkada tingkat provinsi. Meski dengan alasan “memberikan kesempatan” kepada generasi muda untuk unjuk gigi dalam dunia politik sangat disayangkan mengapa perubahannya lewat jalur potong kompas? (BBC News Indonesia.com, 2/6/2024).
Demokrasi Langgengkan Politik Dinasti
Semua kegaduhan itu adalah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Kedaulatan ada di tangan rakyat, namun bukan rakyat kebanyakan, lebih tepatnya lagi rakyat dari sebuah dinasti. Hingga netizen ingin ilmu parenting dari ibu negara, bagaimana bisa semua anaknya bisa menjadi pejabat.
Penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau pihak tertentu adalah hal yang biasa, sebab kekuasaan hanya menjadi alat legitimasi, mengalahkan supremasi hukum. Siapapun yang berkuasa di alam demokrasi akan melakukan hal yang sama, mempertahankan kekuasaan atau setidaknya mengamankan kondisi ketika kekuasaannya harus lengser.
Dari cara bagaimana seseorang bisa naik ke tampuk pimpinan saja sudah terlihat, jika demokrasi tak penting siapa yang memimpin, asalkan ia bisa menjembatani berbagai kebutuhan para pemodal ia aman. Lebih parah lagi, rakyat yang dipimpin tak diberi edukasi yang tepat tentang kriteria pemimpin, sebab orang gila pun punya hak pilih.
Islam Lahirkan Pemimpin Bervisi Misi Dunia Akhirat
Jika dalam sistem demokrasi orang saling menjegal untuk menjadi penguasa, tidak dengan Islam. Sebab Islam memandang kekuasaan adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [Hr. Bukhari dan Muslim].
Maka seorang pemimpin dalam Islam hanya wajib menjalankan kekuasaannya di atas syariat Allah bukan yang lain. Dalam Islam pun memiliki mekanisme pemilihan kepala daerah, yaitu Khalifah menunjuk orang yang siap menerima amanah sebagai kepala daerah (wali/amil). Bukan melalui pemilihan, yang justru menimbulkan banyak celah kecurangan dan bercampurnya berbagai kepentingan.
Pilkada dan pilbub lebih kepada bagi-bagi kue kekuasaan dari partai-partai yang sebelumnya berkoalisi dan menjadi pemenang. Setiap pihak wajib diapresiasi, maka benarlah jika kekuasaan bukan amanah, melainkan jalan ninja mewujudkan kesejahteraan bagi kelompok, dirinya dan partainya.
Hukumnya mutlak , sebagaimana Islam menetapkan siapa kepada daerah, juga sekaligus memiliki syarat tertentu siapa yang layak menjadi kepala daerah. Di antaranya baligh, berakal, merdeka, Muslim, pria dan mampu mengemban amanah syariat. Usia bukan patokan, juga wajib dari suku tertentu, namun ketakwaannya yang terunggul di antara yang terbaik. Teknik ini jelas lebih fair, tak ada politik dinasti, sebab hukumnya malah menzalimi rakyat jika cara pemilihannya tidak sesuai syariat dan apa yang ia bawa justru bertentangan dengan syariat. Wallahualam bissawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.