Kompas Moral di Media Sosial
Gaya Hidup | 2024-06-04 21:05:00Berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi menjadikan media sosial sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk berkomunikasi, tetapi juga menjadi tempat bagi individu untuk mengekspresikan diri, berbagi informasi, dan membentuk opini publik. Sehingga muncul sebuah pertanyaan mengenai bagaimana norma sosial di media sosial seringkali kontras dengan norma dalam dunia nyata? Bagaimana kita bisa menavigasi kompas moral di tengah dinamika ini?
Dalam kehidupan sehari-hari, norma sosial terbentuk dari interaksi langsung dan hubungan sosial dari waktu ke waktu. Ketika kita berinteraksi tatap muka, ada empati yang muncul karena kita melihat ekspresi wajah, mendengar suara, dan merasakan kehadiran fisik lawan bicara. Hal inilah yang membangun keharmonisan dan pemahaman antar individu.
Namun sebaliknya, di media sosial, terjadi interaksi dalam ruang virtual yang kerap kali anonim. Anonimitas ini memberikan kebebasan yang lebih besar untuk mengekspresikan diri, tetapi juga bisa menjadi pisau bermata dua. Tanpa kehadiran fisik dan isyarat non-verbal, orang cenderung lebih berani dan kurang bertanggung jawab. Fenomena seperti trolling, hate speech, dan cyberbullying menjadi lebih umum karena batasan-batasan yang ada di dunia nyata tidak lagi terasa mengikat di dunia maya.
Selain itu, media sosial cenderung mendorong perilaku narsistik dan pencitraan yang berlebihan. Dalam upaya untuk mendapatkan banyak ‘likes’ dan ‘followers’, banyak pengguna yang merasa perlu untuk memamerkan aspek-aspek tertentu dari kehidupan mereka, seringkali dengan cara yang tidak realistis. Di dunia nyata, norma sosial mendorong kita untuk menjadi pribadi yang jujur. Namun, di media sosial, terdapat dorongan kuat untuk menampilkan versi terbaik kita, meskipun hal itu merupakan hal yang palsu. Sehingga fenomena ini ini tidak hanya mempengaruhi persepsi orang lain tentang diri kita, tetapi juga dapat merusak kesehatan mental kita sendiri.
Media sosial juga seringkali memperkuat polarisasi sosial. Algoritma media sosial dirancang untuk menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi kita, yang berarti kita lebih sering melihat pandangan yang sejalan dengan pandangan kita sendiri. Hal ini menyebabkan efek echo chamber, dimana opini dan perspektif yang sama akan terus dijumpai karena kurangnya akses terhadap sumber lain. Di dunia nyata, interaksi tatap muka dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda dapat membantu kita untuk memahami dan menghargai perbedaan. Namun akibat efek ini, kita lebih cenderung untuk berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang sama, yang pada akhirnya dapat menimbulkan perpecahan.
Meskipun media sosial memiliki potensi untuk menjadi platform yang inklusif dan mendukung, pada kenyataannya malah berbanding terbalik. Diskriminasi, rasisme, dan seksisme masih merajalela di media sosial. Dalam konteks ini, standar ganda juga seringkali terjadi. Misalnya, seseorang mungkin mengecam perilaku diskriminasi rasial tetapi di sisi lain tetap menyebarkan stereotip atau komentar rasis tanpa menyadari atau mengakui kesalahannya. Standar ganda ini mencerminkan ketidakkonsistenan dalam menerapkan nilai-nilai moral dan etika, yang seharusnya berlaku baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Selain itu, selebritas dan tokoh publik sering kali menjadi target utama dari standar ganda ini. Ketika mereka membuat kesalahan atau melakukan tindakan yang kontroversial, mereka sering kali diserang secara habis-habisan di media sosial, sementara tindakan serupa yang dilakukan oleh orang biasa mungkin tidak mendapatkan perhatian yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ekspektasi yang tidak realistis terhadap tokoh publik, di mana mereka diharapkan untuk menjadi teladan yang sempurna, sementara pengguna biasa merasa tidak terikat oleh standar yang sama.
Untuk menghadapi kesenjangan antara norma sosial di dunia nyata dan dunia maya, kita perlu menjalankan "kompas moral" yang kuat dalam bermedia sosial. Kita harus lebih sadar akan dampak dari tindakan kita di media sosial dan berusaha untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut di dunia nyata. Dengan kesadaran yang kuat akan konsekuensi dari setiap kata dan tindakan yang kita lakukan secara online, kita dapat menciptakan lingkungan digital yang lebih harmonis dan bertanggung jawab. Penting bagi kita untuk menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral dalam setiap interaksi di media sosial, memastikan bahwa kita menghormati nilai-nilai kemanusiaan, seperti rasa hormat, kejujuran, dan empati. Dengan demikian, kita dapat membangun budaya bermedia sosial yang tidak hanya merefleksikan, tetapi juga memperkuat norma-norma sosial yang positif dari dunia nyata, menciptakan komunitas digital yang lebih inklusif, aman, dan mendukung bagi semua penggunanya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.