All Eyes on Rafah: Apa yang Terjadi di Sana?
Sejarah dunia | 2024-06-04 16:21:295 Mei 2024, rezim zionis Israel menjatuhkan kertas peringatan dari udara kepada penduduk di timur Rafah untuk keluar dari kawasan tersebut. Rafah yang terletak di selatan Gaza adalah zona selamat terakhir yang diduduki oleh 1,5 juta rakyat Palestina sejak pembantaian besar-besaran oleh Israel atas Semenanjung Gaza. Berawal dari 13 Oktober 2023, 100.000 orang penduduk tinggal di kawasan timur Rafah yang luasnya hanya 30 km persegi diarahkan keluar untuk operasi serangan darat oleh tentara IOF. Dalam waktu yang sama sudah banyak pengeboman udara dan artileri yang dilancarkan telah membunuh ribuan penduduk di kawasan selatan Gaza.
Pada 7 Mei, tank-tank Israel menyerbu lintasan Rafah yang merupakan jantung perhubungan untuk masuknya bantuan dan mengeluarkan rakyat Gaza yang cedera. Israel menuduh bahwa terdapat 4 lagi batalion Hamas termasuk pemimpin tertinggi berada di Rafah bersama dengan sandera. Israel menganggap Rafah sebagai benteng atau kubu pertahanan terakhir berjuang setelah menyatakan bahwa 18 dari 24 batalion Hamas telah dihapuskan. Namun ini adalah tidak benar, karena pada saat yang sama pertempuran sengit dengan Palestina masih kuat di bagian utara Gaza yaitu Jabalia. Rafah mempunyai 2 lintasan batas yakni lintasan Rafah dan Karem Abu Salem. Mayoritas makanan, obat-obatan, dan keperluan lain memasuki Gaza melalui kedua lintasan ini. Letnan Kolonel Nadav Shoshani menyatakan sasaran tentara adalah Hamas dengan menuduh mengetahui dimana markas Hamas dan akan menghancurkan seluruh terowongan di Rafah. Setelah 7 bulan, Israel dengan kelengkapan ketentaraannya yang paling canggih di dunia hanya mampu membunuh orang awam dengan melakukan perang tanpa mencapai tujuan apapun. Malah Israel telah menggambarkan Gaza sebagai ‘salah satu medan perang paling sulit di dunia’.
Perdana Menteri Israel, Netanyahu, sedang ditekan oleh rakyatnya karena masih tidak dapat membebaskan sandera yang berada di Gaza dan Menteri Pertahanan, Yoav Galant mempermasalahkan strategi perang yang diambil oleh Netanyahu. Tinjauan di Israel juga mendapati popularitas Netanyahu semakin menurun dan semua keputusan yang dibuat oleh pemimpin itu sebenarnya untuk kepentingan politik pribadi bukan untuk rakyat. Kebanyakan penduduk Israel sudah tidak menyokong Netanyahu tetapi mereka setuju dengan serangan yang dilakukan oleh IOF ke rakyat Gaza sehingga perang cepat berakhir dan Gaza diratakan.
Menggerakan tentara ke dalam Rafah merupakan rancangan dari awal oleh Netanyahu untuk menjarah setiap inci daratan, lautan, dan udara Gaza yaitu melakukan pembersihan etnik dengan membunuh rakyat Palestina. Internasional Energy Agency telah melaporkan bahwa perairan Gaza mempunyai simpanan minyak dan gas yang bernilai USD500 miliar. Dan ini tentunya menjadi perebutan negara-negara terutama di Eropa yang sedang menghadapi krisis tenaga. Netanyahu dengan angkuh memberitahu bahwa perang tidak akan dihentikan selagi Hamas tidak dihapuskan dan akan menahan Rafah untuk mencapai kemenangan meskipun ada tidaknya persetujuan.
Pada 5 Mei 2024, Hamas telah setuju dengan syarat gencatan senjata termasuk membebaskan sandera dalam perundingan yang diadakan di Mesir melibatkan wakil dari Hamas, Mesir, Qatar, dan AS. Jelas bahwa Perdana Menteri Netanyahu langsung tidak mempedulikan nyawa sandera dan hanya mau menaklukkan seluruh Gaza. Dalam mencapai misi jahatnya, zona selamat terakhir dihancurkan walaupun pihak Mahkamah Keadilan Antarbangsa (ICJ) telah mengeluarkan arahan kepada Israel untuk menghentikan segala bentuk operasi ketentaraan ke Rafah. Menurut Aljazeera, Israel telah mengebom Rafah sebanyak lebih dari 60 kali dalam waktu 48 jam, arahan dikeluarkan oleh ICJ. Pada 27 Mei 2024, IOF menjatuhkan bom seberat 1 ton dan rudal ke atas tenda-tenda perlindungan di kamp pemindahan United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA) di kawasan barat Rafah. Kawasan tersebut dikategorikan sebagai ‘selamat’ untuk penduduk timur Rafah mengungsi, seperti diarahkan oleh Israel tetapi ini jelas menunjukkan ia adalah satu lagi taktik keji Israel melakukan pembunuhan massal.
Penduduk dari seluruh Gaza terpaksa meninggalkan tempat kediaman mereka mengungsi berkali-kali dan bergerak menuju ke Rafah yang merupakan zona selamat terakhir setelah semua wilayah termasuk Utara Gaza dan Khan Younis dihancurkan Israel. Di Rafah, mereka mendirikan tenda-tenda dan berdesakan di kawasan yang padat untuk hidup di bawah situasi normal sebagai manusia. Sebelum genosida dimulai, Rafah mempunyai sebanyak 275.000 penduduk dan angka meningkat mendadak menjadi 1,4 juta orang. Sekali lagi mereka terpaksa mengosongkan tenda-tenda pengungsian di Rafah dan menuju ke satu tempat yang tidak pasti dalam keadaan lapar, haus dan kesakitan.
Menurut PBB, sebanyak 600.000 orang atau ¼ populasi Gaza yang melarikan diri dari Rafah sejak 6 Mei 2024 setelah IOF memulai ketentaraan darat di situ. Israel tidak meletakkan waktu bagi pendudukan tentara mereka di Rafah dan mau secepat mungkin menghapuskan pejuang-pejuang yang berada di kawasan tersebut. Lintasan Rafah dikuasai tentara Israel dan ditutup menyebabkan terputusnya perbekalan penduduk Gaza yang awalnya ada, dimana sebenarnya masih tidak mencukupi. Media-media antarnegara juga memaparkan visual tank milik IOF berada di tengah kota Rafah.
Terdapat banyak pasien termasuk anak-anak yang mengalami cedera serius memerlukan perawatan di luar Gaza kini menanggung sakit tanpa pengobatan, bayi-bayi prematur dalam keadaan kritis karena kehabisan oksigen di rumah sakit sehingga banyak orang yang meninggal perlahan-lahan. Rumah sakit Kuwait di Rafah semakin penuh dan kehabisan stok obat disebabkan rumah sakit al-Najjar tidak dapat menerima pasien akibat berada dalam zona merah Israel. Kelaparan, kehausan, keletihan, ketakutan tanpa adanya tempat untuk berlindung itulah yang sedang dihadapi oleh rakyat Gaza dimanapun mereka berada.
Kementerian Dalam Negeri Palestina telah memberi perintah tentang bencana kemanusiaan yang besar akibat penutupan lintasan Rafah. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres menyatakan serangan atas Rafah akan menjadi “kemusnahan yang tidak dapat ditanggung”. Lebih 7 bulan berlalu dan pembunuhan massal (genosida) yang dilakukan oleh rezim Israel telah mengorbankan lebih 36.000 orang rakyat Palestina. Dan angka tersebut sebenarnya lebih tinggi karena banyak korban yang terperangkap dalam runtuhan bangunan, 70% dari jumlah ini adalah anak-anak dan wanita. T
Tentara IOF melakukan serangan dengan sasaran orang awam di Gaza serta mengebom institusi penting yang menyokong kehidupan penduduk seperti rumah sakit dan pusat-pusat agensi kemanusiaan termasuk minimarket. Semua bantuan keperluan untuk hidup disekat yakni makanan, air, bahan bakar dan obat-obatan. Akibat kekurangan obat-obatan, prosedur pengobatan yang rumit seperti pembedahan dan pemotongan anggota badan (amputasi) dilakukan tanpa obat bius kepada anak-anak. Perguruan tinggi, perpustakaan, tempat beribadah, tempat bersejarah semuanya hancur di bom. Bukti-bukti ini jelas menunjukkan, Israel sedang melakukan pembersihan etnik di Gaza dengan cara membunuh secara langsung atau membiarkan mereka mati karena tidak adanya ketersediaan keperluan hidup. Kebanyakan kawasan di Semenanjung Gaza telah diratakan oleh tank Israel dan tentara mengepung rakyat yang masih hidup ke kawasan yang padat dan sangat sulit untuk hidup. Israel berani melakukan kekejaman diluar batas ini dengan sokongan kuat pemimpin serta media-media barat di AS dan Eropa terutama UK dan Jerman. Sangat tidak masuk akal apabila pernyataan Sekretaris Jenderal AS, Anthony Blinken menyatakan bahwa “Israel mengambil langkah sepatutnya untuk meminimalkan kemusnahan terhadap rakyat Gaza”. Israel juga melarang wartawan-wartawan media antarbangsa bebas untuk masuk ke Gaza. Di bawah hukum internasional, Israel sebagai negara penjajah tidak berhak melakukan usaha-usaha ketentaraan terhadap Palestina, malah yang dilakukan oleh negara Israel jelas melanggar.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.