Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kemal Pratama

Dominasi Oligarki Ciptakan Kekerasan Struktural dan Kerusakan Ekologis

Politik | Tuesday, 18 Jan 2022, 21:15 WIB

Oleh: Muhammad kemal Pratama modjo

Kabar tentang pengesahan Omnibus Law sudah seringkali menjadi topik pembicaraan dan juga banyak kajian, bahkan karena issue ini 2019 lalu sempat terjadi demo besar-besaran agar UU Omnibus Law atau yang disebut Ciptakerja ini segera dicabut dan ditarik kembali dari prolegnas. Produk Domestik Bruto (GDP) Indonesia yang berada di peringkat ke-7 pada tahun 2019 ditargetkan meningkat ke posisi 5 besar pada 2045 nanti. Menurut pemerintah, lompatan economic growth Indonesia akan lebih mudah tercapai apabila postur peraturan perekonomian ramah terhadap investasi. Dua elemen kunci yang dianggap memiliki signifikansi terhadap hadirnya investasi adalah prosedur izin bisnis dan tenaga kerja. Para promotor Omnibus Law menganggap bahwa kedua aspek tersebutlah yang justru masih menjadi kelemahan Indonesia. Omnibus Law diharapkan mampu meringkas prosedur izin bisnis di Indonesia yang saat ini diatur oleh lebih dari 24.000 peraturan, baik peraturan pemerintah pusat maupun daerah. Tapi Pemerintah banyak sekali abai terkait persoalan teknisnya, bagaimana dampak kedepannya bagi lingkungan, bagaimana dampaknya bagi masyarakat banyak, satwa liar yang hampir punah dan sebagainya. Membangun infrastruktur yang ramah terhadap investasi dengan melonggarkan prosedur pelestarian lingkungan hidup sekaligus abai pada kesejahteraan pekerja akan berpotensi pada berlangsungnya kekerasan struktural.Terminologi kekerasan struktural diperkenalkan oleh Johan Galtung, sosiolog asal Norwegia yang fokus pada studi-studi mengenai konflik dan perdamaian. Mengutip pendapat Galtung, bahwasanya peristiwa kekerasan tidak melulu harus dilakukan secara langsung (direct violence) dalam bentuk perlukaan fisik atau psikis di mana pelaku dan korbannya berada dalam satu momen waktu dan/atau lokasi yang sama.

Kekerasan struktural dimulai saat sumber daya terdistribusikan secara timpang. Galtung memberikan contoh bahwa membiarkan kelompok marjinal tidak bisa mengakses layanan kesehatan merupakan bentuk kekerasan struktural; sebab secara substansial, tidak memberikan pertolongan medik kepada orang sakit yang lemah secara ekonomi memiliki dampak penderitaan yang sama dengan peristiwa penyerangan fisik kepada seseorang yang dilakukan secara langsung.

Dalam konteks Omnibus Law, kekerasan struktural bisa berpotensi terjadi apabila wacana perizinan amdal (analisa dampak lingkungan hidup) jadi diperlonggar atau dihapuskan. Dalam proyeksi RUU ini, terdapat diversitas mekanisme penilaian terhadap dampak lingkungan berdasarkan jenis usaha. Hanya jenis usaha yang di anggap ”memiliki dampak penting” terhadap lingkungan yang membutuhkan izin lingkungan.

Prosedur untuk memastikan terjaganya keseimbangan ekologi bisa jadi memakan waktu. Bagi badan usaha, bisa jadi proses ini dianggap tidak ekonomis. Dengan prosedur amdal saja sebenarnya bukan jaminan lingkungan hidup kita tetap lestari, apalagi jika prosedur tersebut diperlonggar atau dihilangkan.

Suhu panas yang ekstrem, polusi udara, asap akibat pembakaran hutan, banjir, dan peristiwa alam lain yang telah kerap muncul sebagai dampak dari rusaknya lingkungan, akan semakin parah apabila pelestarian alam dikesampingkan dalam upaya pencapaian kemajuan ekonomi. Dengan demikian, kepentingan manusia menjadi utama.

Para kaum ekosentris memberikan label fenomena ini sebagai hegemoni manusia. Kelangkaan atau kepunahan spesies non-manusia bukan menjadi prioritas. Apalagi kelangkaan tersebut terjadi karena kepentingan manusia. Bagi penganut mazhab ekosentris, kelangkaan dan kepunahan spesies non-manusia seharusnya menjadi prioritas.

Mengutip dari Greenpeace Indonesia “ Selama ini baik kerusakan lingkungan, konflik agraria ataupun penggusuran hanya diselesaikan dengan ganti rugi. Selain tidak menyelesaikan masalah kerusakan lingkungan dan dampaknya, ganti rugi juga sering kali tidak dilakukan. Berdasarkan data Greenpeace Indonesia, Presiden Joko Widodo telah memenangkan gugatan perdata atas 11 perusahaan dan harus membayar ganti rugi akibat kerusakan lingkungan dan kebakaran total lebih Rp 18 triliun. Presiden Jokowi sendiri menyatakan proses tersebut sedang berjalan, namun menurut Greenpeace ganti rugi belum dilakukan oleh perusahaan terkait.”

Berdasarkan gambaran di atas, maka terlihat persoalan lingkungan tidak dapat dilepaskan dari dominasi oligarki. Para teoritis oligarki seperti Jeffrey Winters (2011), Vedi R Hadiz, dan Robison (2013) menggambarkan kekuasaan oligarki meliputi negara dan lembaga-lembaga pemerintahan. Meskipun demikian, sejak masa transisi tahun 1998 dari otoritarian menuju demokrasi elektoral, menurut Winters (2011), belum terdapat ancaman atas dominasi oligarki dari bawah. Dengan kata lain organisasi masyarakat maupun aktivis lingkungan tidak cukup kuat untuk mengancam dominasi oligarki dalam pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image