Trash to Treasure
Teknologi | 2024-05-30 08:39:45Indonesia merupakan negara yang kaya akan segalanya, kaya akan sampahnya pula. Entah karena terbiasa atau memang tutup mata, permasalahan sampah yang kian hari makin kompleks itu belum terselesaikan juga. Apabila kedaruratan kondisi ini divisualisasikan, lautan kita tercemar oleh 51 triliun partikel mikroplastik, yang 500 kali lebih banyak dibandingkan jumlah bintang di galaksi Bima Sakti. Menurut KLHK, sebanyak 13,9 juta ton sampah (65,71%) telah dikelola, namun 7,2 juta ton (34,29%) masih belum terkelola dengan baik di 202 Kabupaten/Kota di Indonesia. Penumpukan sampah nasional yang belum terkelola dengan baik berkontribusi pada krisis mikroplastik di lautan, yang membahayakan ekosistem laut.
Pertumbuhan populasi dan gaya hidup konsumtif masyarakatlah yang menjadi pemicu penumpukan sampah yang tak terkendali, membebani TPA dan mencemari lingkungan. Di sisi lain, krisis energi kian memprihatinkan dengan kian terbatasnya pula sumber daya alam dan tingginya emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik konvensional. Bayangkan deh, kamu lagi asyik nonton series favoritmu di TV, tiba-tiba lampu mati. Atau, kamu lagi masak buat sahur, eh kompor gasnya mati. Bikin bete banget, kan? Nah, situasi ini bisa jadi kenyataan lho, gara-gara krisis energi yang lagi melanda dunia. Bayangin deh, dunia tanpa listrik. Gadget mati, kendaraan gak bisa jalan, bahkan masak nasi pun jadi ribet. Nah, krisis energi itu ibarat mimpi buruk yang jadi kenyataan di beberapa negara. Tapi, gimana sih ceritanya bisa sampai begini?
Pertama, bahan bakar fosil, kayak gas alam, batu bara, dan minyak bumi, udah lama jadi sumber energi utama kita. Tapi, nih, persediaannya makin menipis, kayak bensin di motor yang udah mau abis. Terus, pasokan energi dari negara lain juga gak selalu lancar, kayak suplai bensin yang kadang suka seret. Kedua, permintaan energi terus meningkat. Makin banyak orang, makin banyak pula yang butuh energi buat sehari-hari. Gimana gak, gadget udah jadi kebutuhan pokok, kendaraan juga makin banyak, dan industri pun terus berkembang. Ibarat bensin motor yang dipake rame-rame, lama-lama pasti juga abis. Ketiga, dampak perubahan iklim juga bikin rumit. Cuaca yang gak menentu bikin pembangkit energi terbarukan, kayak panel surya dan turbin angin, jadi gak selalu bisa diandalkan. Ibarat motor yang mau ngisi bensin, tapi SPBU tutup gara-gara hujan badai.
Tumpukan sampah di TPA terus meningkat, mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan. Di sisi lain, ketergantungan pada bahan bakar fosil yang semakin menipis dan emisinya yang merusak lingkungan membutuhkan solusi alternatif yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Di era modern ini, di tengah dilema sampah dan energi, teknologi waste to energy (WtE) menawarkan solusi yang menjanjikan. WtE tidak hanya menyelesaikan masalah sampah, tetapi juga menghasilkan energi terbarukan dan membantu memerangi perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Teknologi yang menghadirkan cara inovatif untuk mendaur ulang sampah menjadi energi ini, menghasilkan panas dan listrik yang berharga bagaikan emas. WtE bukan hanya solusi untuk mengurangi sampah, tetapi juga membuka peluang untuk menghasilkan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Waste to Energy (WTE) adalah solusi cerdas untuk mengubah sampah menjadi energi yang bernilai. Melalui proses pembakaran terkendali di Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), sampah diolah menjadi energi, proses pembakaran sampah dilakukan dengan sistem kontrol emisi yang ketat untuk meminimalisir pencemaran udara. Sampah yang digunakan umumnya tidak dapat didaur ulang.
Gimana sih proses mengubah sampah menjadi suatu energi yang berharga? Sampah dikumpulkan dan dipilah berdasarkan jenisnya, seperti plastik, kertas, dan organik, untuk memastikan pemrosesan yang optimal. Selanjutnya, sampah diolah dengan berbagai metode, seperti pembakaran, pirolisis, atau gasifikasi, untuk menghasilkan energi. Dalam tungku PLTSa, sampah terbakar dengan suhu tinggi, menghasilkan energi panas yang melimpah. Panas ini kemudian dialihkan untuk memanaskan air, menguapkannya menjadi uap bertekanan tinggi. Uap bertenaga ini dialirkan ke turbin, memutarnya dengan kencang. Putaran turbin inilah yang menghasilkan listrik melalui generator. Tak hanya listrik, WTE juga menghasilkan panas yang serbaguna, seperti untuk menghangatkan ruangan.
Meskipun WtE menawarkan banyak manfaat, perlu diingat bahwa teknologi ini tidak luput dari tantangan yang perlu diatasi. Biaya investasi awal yang tinggi, penerimaan masyarakat, mencakup edukasi dan komunikasi yang efektif menjadi kunci untuk meningkatkan penerimaan masyarakat. Terlepas dari tantangan yang ada, WtE merupakan solusi yang menjanjikan untuk mengatasi krisis sampah dan energi secara berkelanjutan. Dengan penerapan yang tepat, WtE dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi generasi mendatang dalam bentuk lingkungan yang lebih bersih, lebih sehat, dan lebih berkelanjutan. Yuk kita beralih ke sumber energi terbarukan seperti energi air, angin dan matahari untuk menjaga lingkungan yang lebih lestari dengan berkurangnya emisi gas rumah kaca. Dengan usaha bersama, kita bisa mengatasi krisis energi dan membangun masa depan yang lebih berkelanjutan!
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.