Menjaga Arah Generasi di Era Algoritma
Gaya Hidup | 2025-12-18 11:58:00“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas umat ini bukanlah kefakiran, tetapi ketika dunia dibukakan untuk mereka lalu melalaikan hati mereka.” — Umar bin Khattab r.a.
Belakangan ini, ada kegelisahan yang sulit diabaikan ketika melihat generasi muda di sekitar kita. Mereka hidup di zaman yang serba cepat, serba digital, dan serba terbuka. Tapi entah mengapa, banyak yang justru terlihat lelah, mudah cemas, dan bingung menentukan arah hidup. Padahal, merekalah yang sering kita sebut sebagai harapan masa depan.
Tekanan hidup yang mereka hadapi tidak ringan. Soal ekonomi saja sudah cukup membuat banyak anak muda merasa tertinggal sebelum benar-benar memulai. Biaya hidup mahal, pekerjaan tidak selalu pasti, sementara tuntutan sosial terus datang dari berbagai arah. Istilah generasi sandwich bukan sekadar istilah, tetapi realitas yang dialami banyak keluarga hari ini.
Di tengah tekanan itu, ada persoalan lain yang sering luput dibicarakan, yakni soal makna hidup. Banyak generasi muda, termasuk generasi Muslim, tumbuh dengan pengetahuan agama yang ada, tetapi terasa terpisah dari kehidupan sehari-hari. Agama hadir sebagai identitas, namun belum sepenuhnya menjadi pegangan. Akibatnya, tidak sedikit yang merasa kosong, meski tampak aktif dan produktif.
Kita bisa melihat gejalanya di sekitar. Isu kesehatan mental semakin sering muncul. Media sosial dipenuhi keluhan, kemarahan, dan rasa tidak puas. Kasus perundungan, kekerasan, hingga kejahatan berbasis daring kian sering terdengar. Semua ini seolah memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan baik dalam kehidupan generasi hari ini.
Sering kali, situasi ini dijelaskan dengan istilah generation gap. Katanya, generasi muda dan generasi tua hidup di dunia yang berbeda. Cara berpikirnya tidak sama, nilai-nilainya bertabrakan. Penjelasan ini ada benarnya, tetapi rasanya terlalu sederhana jika dijadikan jawaban utama. Sebab, masalahnya bukan semata soal usia, melainkan soal arah hidup yang ditawarkan kepada mereka.
Dunia hari ini bergerak dengan logika yang sangat material. Ukuran bahagia dan sukses sering kali dikerucutkan pada pencapaian, popularitas, dan kepemilikan. Nilai-nilai yang dulu diwariskan pelan-pelan, kini tersisih oleh tuntutan untuk selalu tampil, selalu cepat, dan selalu relevan.
Masuknya teknologi digital mempercepat semua itu. Media sosial menjadi ruang hidup baru. Di sanalah generasi muda menghabiskan banyak waktu, membangun citra diri, mencari pengakuan, bahkan membentuk cara pandang. Ruang ini terasa bebas. Siapa pun bisa berbicara. Namun jarang disadari bahwa apa yang mereka lihat setiap hari sebenarnya sudah dipilihkan.
Algoritma bekerja tanpa kita sadari. Konten yang sering kita tonton akan terus muncul. Apa yang memancing emosi lebih cepat menyebar. Lama-lama, kita merasa itu semua wajar. Di titik ini, kebebasan digital menjadi paradoks. Terlihat bebas, tetapi perlahan mengarahkan.
Bagi generasi Muslim, tantangan ini tentu lebih berat. Bukan karena mereka kurang iman, tetapi karena arus nilai yang datang begitu deras. Tanpa pegangan yang kuat, generasi muda mudah hanyut mengikuti arus zaman. Mereka bisa tumbuh menjadi generasi yang cakap secara teknis, tetapi rapuh secara batin.
Islam sejatinya tidak pernah memisahkan iman dari kehidupan. Nilai-nilai Islam hadir untuk membimbing manusia dalam setiap kondisi, termasuk di tengah perubahan zaman. Karena itu, persoalan generasi hari ini tidak cukup dijawab dengan menyalahkan mereka atau sekadar memberi nasihat singkat.
Yang dibutuhkan adalah kesadaran bersama untuk membangun lingkungan yang lebih sehat. Lingkungan yang tidak hanya mengejar hasil, tetapi juga menjaga nilai. Generasi muda perlu ruang untuk bertumbuh, bertanya, dan mencari makna, tanpa kehilangan arah hidupnya sebagai hamba Allah.
Pada akhirnya, menyelamatkan generasi bukan soal menolak teknologi atau memusuhi perubahan. Ini soal bagaimana kita hadir di tengah perubahan itu dengan kesadaran dan iman. Teknologi akan terus berkembang. Algoritma akan semakin canggih. Tetapi manusia tetap membutuhkan kompas.
Dan bagi seorang Muslim, kompas itu adalah iman. Agar generasi hari ini tidak sekadar bertahan di tengah arus, tetapi mampu berjalan dengan sadar, membawa nilai, dan kelak mewariskannya kepada generasi berikutnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
