Apakah Hilangnya Pidana Mati dalam Pidana Pokok pada KUHP Baru Kemajuan dalam Bidang Hukum?
Hukum | 2024-05-29 22:23:40Setelah menghabiskan 77 tahun masa penyusunan akhirnya pada tanggal 2 Januari 2023 kemarin, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) baru telah diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia sekaligus disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Sesuai dengan pasal 624 UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, KUHP baru ini akan berlaku tiga tahun lagi sejak tanggal diundangkan. Yang berarti, KUHP ini akan mulai digunakan sebagai pedoman bagi hukum pidana Indonesia pada tahun 2026 mendatang. Apabila kita mengkaji perbedaan antara KUHP kolonial (UU No. 1 Tahun 1946) dengan KUHP baru/nasional (UU No. 1 Tahun 2023), maka akan ditemukan cukup banyak perbedaan di dalamnya. Salah satunya mengenai hukuman mati yang sudah tidak lagi diatur sebagai pidana pokok dalam KUHP baru/nasional.
Di dalam UU No. 1 Tahun 2023, pidana pokok sendiri merupakan salah satu dari tiga jenis hukuman pidana. Yang mana, dua lainnya adalah pidana tambahan dan pidana yang bersifat khusus (Pasal 64 UU No. 1 Tahun 2023). Sekedar tambahan pengetahuan, pidana pokok merupakan sanksi bagi pelaku tindak pidana yang pasti diatur dalam setiap pasal tindak pidana pada KUHP. Untuk pidana tambahan merupakan sanksi bagi pelaku pidana yang dapat dijatuhi oleh hakim ketika pidana pokok telah dijatuhkan (memiliki sifat mengikuti pidana pokok) dan sanksi ini hanya dapat dijatuhkan ketika pasal tindak pidana mengatur mengenai pidana tambahan tersebut, yang berarti tidak semua pasal tindak pidana terdapat sanksi berupa pidana tambahan. Sedangkan, untuk pidana bersifat khusus menurut pasal 64c UU No. 1 Tahun 2023 merupakan sanksi yang dijatuhkan pada tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
Berdasarkan pasal 65 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2023 terdapat beberapa pidana pokok antara lain, pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial. Namun, apabila kita kembali melihat dalam Pasal 10a KUHP kolonial yang masih kita gunakan hingga detik ini, maka akan kita temui beberapa pidana pokok berupa pidana mati, pidana penjara, kurungan, dan denda. Dengan demikian, kita temui ketiadaan pidana mati atau hukuman mati dalam pidana pokok pada KUHP baru/nasional meskipun pidana mati ini tetap ada. Namun, pidana mati sendiri masuk dalam kelompok pidana bersifat khusus (Pasal 67 UU No. 1 Tahun 2023) dengan sifat uji coba.
Maksudnya, seseorang dapat lepas dari pidana mati meski telah divonis demikian ketika memenuhi syarat-syarat tertentu untuk lepas dari hukuman tersebut dalam jangka waktu 10 tahun. Yang mana hal ini sangatlah berbeda dengan pengaturan yang terdapat dalam KUHP kolonial. Ketika putusan pidana mati telah inkra (berkekuatan hukum tetap), maka hukuman mati tidak dapat dihindari. Lalu, dengan dengan perubahan yang sedemikian rupa apakah menjadi suatu kemajuan atau malah menjadi kemunduran bagi bidang hukum pidana Indonesia?
Sebelum membahas lebih jauh mengenai ketiadaan pidana mati sebagai pidana pokok merupakan suatu kemajuan atau kemunduran, perlu kita ketahui terlebih dahulu beberapa teori yang menjadi dasar tujuan dari adanya hukum pidana. Yang pertama ialah teori absolut, teori absolut ini semata-mata membuat hukum pidana hanya untuk membalas dendam. Setelah teori absolut, berkembang teori relatif, yang mana hukum pidana tidak hanya semata-mata untuk membalaskan dendam, tetapi juga diharapkan mampu membuat pelakunya jera. Teori ketiga ialah teori modern, yang mana hukum pidana ada bukanlah untuk membalas dendam melainkan dapat memulihkan pelaku dari tindakannya.
Terakhir, ada teori gabungan/keseimbangan yang isi sebenarnya ialah gabungan dari tiga teori terdahulu ditambah dengan harapan untuk kondisi lingkungan sekitar pelaku yang juga dapat pulih kembali. Mengenai ketergunaan teori-teori tersebut dapat kita ketahui melalui tujuan pemidanaan dilakukan. Pada umumnya, tujuan pemidanaan dapat diketahui baik secara eksplisit tertulis dalam undang-undang atau dari teori yang dikemukakan oleh tokoh/ahli pada bidang hukum pidana dalam beberapa literatur.
Ketika kita membaca seluruh Buku Kesatu yang berisi tentang Aturan Umum dalam KUHP kolonial, kita tidak akan dapat menemui secara eksplisit atau gamblang mengenai tujuan pemidanaan. Yang mana, dalam KUHP kolonial baru dapat kita ketahui tujuan pemidanaannya setelah membaca beberapa literatur, salah satunya ada dalam buku dengan judul “Hukum Pidana” oleh Prof. Didik Endro Purwoleksono (salah satu dosen pengajar mata kuliah hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga). Buku yang biasa menjadi referensi bagi kami mahasiswa semester awal Fakultas Hukum UNAIR ketika ingin mengetahui lebih dalam mengenai hukum pidana yang berlaku di negara ini.
Pada halaman 7 buku tersebut, tertulis tujuan hukum pidana menurut Prof. Didik sendiri serta beberapa tokoh lain seperti, Wirjono Prodjodikoro, Andi Hamzah, dan Van Bemmelen. Apabila merujuk pada pendapat yang disampaikan oleh Prof. Didik pada halaman 7, maka tujuan hukum pidana versi kolonial ialah untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan. Yang mana, hal ini ditujukan bagi orang banyak maupun orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan. Selain itu, Prof Didik juga berpendapat bahwa tujuan pidana untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya.
Dari kedua pernyataan tersebut apabila kita klasifikasikan ke dalam teori yang telah disebutkan, maka hukum pidana kolonial dapat diklasifikasikan ke dalam teori relatif dan teori modern. Teori relatif dapat dilihat dari pernyataan bahwa hukum pidana ada agar orang takut untuk mengulangi kejahatannya lagi (membuat orang jera). Sedangkan, untuk teori modern dapat dilihat dari tujuan memperbaiki tabiat pelaku.
Berbeda dengan KUHP kolonial, KUHP baru telah mencantumkan secara eksplisit tujuan dari dilakukannya pemidanaan. Hal ini tertulis dalam Pasal 51 UU No. 1 Tahun 2023 (KUHP baru), yang berbunyi:
“Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan
d. menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.”
Dari keempat tujuan pemidanaan di atas apabila kita bandingkan dengan tujuan pemidanaan dalam KUHP kolonial dapat ditarik kesimpulan bahwa seharusnya seluruh isi KUHP baru kita, khususnya dalam pengaturan sanksi pidana terdapat kemajuan yakni berorientasikan tidak hanya membalas dendam, membuat jera atau memulihkan pelaku saja, tetapi juga dapat memulihkan lingkungan sekitar pelaku yang terkena dampak dari tindak pidana yang ia lakukan.
Meski terlihat adanya kemajuan dari segi tujuan pemidanaan, tetapi tetap perlu diketahui bahwa pidana mati/hukuman mati sendiri masih menjadi topik hangat untuk diperbincangkan dilingkungan akademis hukum. Bahkan, tidak jarang hal ini diangkat menjadi topik diskusi antara mahasiswa dengan dosen untuk sekedar mengetahui setiap opini mahasiswa khususnya dalam kaitannya dengan HAM (Hak Asasi Manusia). Seperti diskusi yang dilakukan dalam kelas A4 pada mata kuliah HAM di Fakultas Hukum UNAIR, dosen pengajar menanyakan kepada kelas yang sedang diajar mengenai pendapat para mahasiswa tentang hukuman mati yang masih berlaku hingga saat ini.
Kata beliau, “Menurut kalian, apakah adanya hukuman mati yang berlaku hingga detik ini tidak melanggar HAM yang dimiliki oleh seseorang? Lalu, bagaimana yang seharusnya dilakukan? Apakah hukuman mati tetap perlu dipertahankan atau ditiadakan?” Dari pertanyaan tersebut muncul berbagai macam pendapat, ada yang mengatakan tetap menyetujui adanya hukuman mati, ada yang menolak hukuman mati, ada juga yang mengatakan hukuman mati penerapannya tergantung pada SDM (Sumber Daya Manusia) dari sebuah negara atau suatu wilayah.
Apabila kembali pada pembahasan kelas HAM di awal pertemuan, kami membahas bagaimana sejarah dan filsafat HAM. HAM secara umum merupakan hak yang melekat pada diri manusia sejak dari lahirnya. Menurut John Locke, yang termasuk dalam HAM ialah kehidupan (life), kebebasan (liberty), dan harta (poverty). Memang apabila kita mengacu pada pendapat John Locke tanpa mempertimbangkan aspek lain tentu jawaban dari berlakunya hukuman mati adalah melanggar HAM. Namun, ketika kita mengingat bahwa HAM yang dimiliki oleh setiap orang ada batasannya, yang mana dengan adanya HAM yang seseorang miliki jangan sampai mengurangi HAM yang lain (salah satu prinsip HAM, yaitu responsibility), maka berlakunya hukuman mati juga dimungkinkan bagi kejahatan-kejahatan yang tentunya dapat mengusik hak orang lain.
Dengan demikian, menurut pendapat saya dari dua pertanyaan di atas mengenai berlakunya hukuman mati apabila dipikirkan sepintas memang melanggar HAM yang dimiliki seseorang, tetapi hal ini akan tidak adil apabila pelaku tidak jera dan memungkinkan untuk melakukan perbuatannya kembali, sehingga membawa ketidaktenangan bagi orang-orang disekitarnya. Dan mengenai hukuman mati apakah masih perlu untuk tetap diterapkan atau malah ditiadakan, maka jawaban saya adalah tergantung kebutuhan suatu wilayah atau negara. Ketika suatu negara atau wilayah telah menerapkan hukuman mati untuk beberapa kejahatan, tetapi hasilnya juga tidak mengurangi kejahatan tersebut berarti hukuman mati bukanlah jalan yang tepat atau bukan jalan untuk mencabut permasalahan yang diharapkan.
Jika demikian diperlukan jalan lain, salah satunya dengan mencoba untuk memberikan kesempatan bagi pelaku untuk berubah, bahkan tidak hanya pelaku yang diusahakan untuk dipulihkan. Namun, lingkungannyapun juga diusahakan untuk dipulihkan karena mungkin saja lingkungan pelaku merupakan akar dari kejahatan atau permasalahan tersebut. Jadi, berdasarkan argumen tadi apabila kondisi suatu negara seperti di Indonesia yang tindak pidananya masih belum berkurang meski hukuman mati ditetapkan sebagai pidana pokok. Maka, dengan adanya KUHP baru yang mengatur beberapa perubahan khususnya dari segi pidana mati yang tidak lagi seperti dalam KUHP kolonial dapat dikatakan sebagai kemajuan dalam bidang hukum pidana di Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.