Cancel or Keep? Drama Hukuman Mati yang Bikin Pusing!
Hukum | 2024-05-29 16:29:48Dua tahun yang lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kasus Ferdy Sambo atas pembunuhan Brigadir Yosua pada 11 Juli 2022. Kasus tersebut menghebohkan banyak praktisi hukum hingga selalu dibahas di berbagai media berita. Perhatian masyarakat kembali tertuju ketika Mahkamah Agung (MA) meringankan vonis Ferdy Sambo yang awalnya divonis hukuman mati menjadi pidana penjara seumur hidup. Kejadian tersebut kemudian menimbulkan polemik dari masyarakat Indonesia. Banyak orang yang tidak menyetujui keputusan MA karena dinilai tidak adil dan tidak sebanding dengan perbuatan Ferdy Sambo yang telah terbukti menjadi dalang atas pembunuhan Brigadir Yosua.
Berbicara mengenai hukuman mati, hukuman mati telah diterapkan sejak zaman penjajahan Belanda pada kekuasaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Henry Wilem Daendels. Sederet kasus eksekusi mati sudah pernah dilakukan di Indonesia. Salah satunya pada kasus Amrozi, Mukhlas, dan Imam dalam tragedi bom Bali. Amrozi dan Imam dieksekusi mati pada 9 November 2008, sedangkan Mukhlas dieksekusi pada hari sebelumnya. Mereka dijatuhi vonis hukuman mati atas kasus terorisme yang telah menimbulkan banyak korban, diantaranya 202 orang meninggal dunia dan ratusan korban lain yang mengalami luka-luka.
Hukuman mati sendiri sudah banyak ditentang oleh berbagai pihak karena bertentangan dengan nilai HAM. Salah satu peneliti bidang hukum pidana dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Genoveva Alicia, mengatakan bahwa hukuman mati dinilai tidak efektif untuk memberikan efek jera. Genoveva juga setuju bahwa hukuman mati melanggar prinsip dan nilai HAM. Tidak hanya itu, Genoveva menambahkan bahwa proses hukuman mati seringkali melanggar hak atas peradilan yang adil, terutama pada masyarakat kalangan ke bawah yang tidak bisa mendapatkan akses pengacara yang memadai untuk memberikan pembelaan atas kasus yang dialaminya. Hukuman mati juga dianggap pengingkaran terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun, sesuai dengan yang termuat dalam pasal 28I ayat (1) UUD 1945 bahwa “Hak untuk hidup, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Salah satu kasus terpidana mati yang pernah menarik perhatian masyarakat adalah Mary Jane, seorang warga negara Filipina yang divonis hukuman mati atas kasus penyelundupan heroin. Mary Jane sendiri berasal dari keluarga tidak mampu. Demi menafkahi kedua anaknya setelah bercerai dengan sang suami, Mary Jane menjadi TKW dan pergi ke Dubai. Namun, setelah 9 bulan bekerja, majikan Mary Jane mencoba memperkosanya sehingga ia kembali lagi ke Filipina. Kemudian, ia mendapat kabar bahwa ada lowongan ART di Malaysia dari temannya.
Ternyata setelah sampai di Malaysia, lowongan pekerjaan tersebut sudah tidak tersedia. Selanjutnya, Mary Jane menemukan bahwa masih ada lowongan ART di Indonesia. Ia pun terbang ke Indonesia dan dititipi koper yang ternyata berisi heroin seberat 2,6 kilogram. Mary Jane divonis hukuman mati pada Oktober 2010 oleh Pengadilan Negeri (PN) Sleman. Eksekusi mati tersebut dijadwalkan 29 April 2015.
Namun, eksekusi mati tersebut ditangguhkan karena seorang wanita yang diduga merekrut Mary Jane telah ditangkap di Filipina pada dua hari sebelum eksekusi. Akan tetapi, hingga detik ini, Mary Jane masih harus menunggu eksekusi mati tersebut di LP Perempuan Kelas II B Yogyakarta.
Dari kasus Mary Jane tersebut, kita bisa melihat mirisnya proses hukum yang harus dialami Mary Jane. Hal tersebut membuktikan bahwa pemberlakuan hukuman mati di Indonesia tidak sepenuhnya berjalan dengan baik dan adil. Pada KUHP baru, terdapat perubahan yang menyangkut hukuman mati. Pada KUHP baru, pidana mati tidak lagi pidana pokok sebagaimana tercantum di KUHP lama. Dalam Pasal 100 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hukuman mati terpidana mati bisa dianulir sepanjang berkelakuan baik dalam masa tunggu selama 10 tahun.
Karena perubahan tersebut, beberapa tokoh penggiat HAM mengatakan bahwa KUHP baru bisa menjadi jalan tengah atas persoalan hukuman mati. Prof Andrianus Meliala, kriminolog Universitas Indonesia, mengatakan bahwa masa percobaan dapat memberikan efek jera sekaligus rehabilitasi pelaku tindak pidana yang tergolong sebagai pelaku “tergelincir”. Dengan begitu, perubahan hukuman mati pada KUHP baru tentunya sejalan dengan prinsip dan nilai dari HAM.
Kendatipun, pasal dalam KUHP baru tersebut belum dinyatakan berlaku dan akan diberlakukan pada tahun 2026. Kalau kamu sendiri bagaimana? Setuju atau tidak mengenai perubahan yang ada dalam KUHP baru? Atau lebih setuju jika pidana mati harus ditindak tegas untuk mengurangi jumlah koruptor di Indonesia? Setiap warga negara Indonesia memiliki peran penting dalam menegakkan keadilan. Kontribusi masyarakat, sekecil apapun, tentunya memiliki dampak besar dalam membentuk keadilan hukum di Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.