Biaya Kecantikan: Lebih dari Sekadar Kulit Luarnya
Gaya Hidup | 2024-05-28 19:38:42Dampak standar kecantikan yang tidak realistis terhadap perilaku berulang yang berfokus pada tubuh.
Wawasan Utama
· Standar kecantikan yang tidak realistis berdampak signifikan pada individu dengan BFRB yang mempersulit jalan mereka menuju pemulihan.
· Bagi banyak orang, emosi adalah inti dari siklus perilaku berulang yang berfokus pada tubuh (Body-Focused Repetitive Behaviors / BFRB).
· Rasa malu biasa terjadi pada individu dengan BFRB, yang bertindak sebagai pemicu dan konsekuensi dari perilaku tersebut.
· Memahami dan mengelola emosi pada BFRB dapat menghasilkan pemulihan yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Standar kecantikan yang tidak realistis dan ekspektasi perfeksionis terhadap penampilan fisik sudah mendarah daging dalam masyarakat kita. Cita-cita ini meresap ke berbagai aspek kehidupan, melampaui batas-batas budaya dan terwujud dalam kehidupan keluarga dan komunitas, tempat kerja, aktivitas rekreasi, dan seterusnya. Media sosial, melalui alat digital yang memodifikasi gambar dan filter kecantikan augmented reality, serta tutorial tata rias di platform seperti TikTok dan Instagram, terus-menerus membombardir individu dengan gagasan ideal tentang kecantikan. Promosi estetika yang tiada henti oleh industri kecantikan senilai $374,18 miliar, yang diproyeksikan akan tumbuh menjadi $758,05 miliar pada tahun 2032, berdampak signifikan terhadap cara orang memandang diri mereka sendiri dan orang lain.
Bagi individu yang mengalami perilaku berulang yang berfokus pada tubuh (BFRB) seperti mencabut rambut, mencabuti kulit, menggigit kuku, atau BFRB lainnya, idealisme kecantikan ini bisa sangat berdampak, sangat merusak harga diri seseorang dan mempersulit perawatan dan pemulihan. Rasa sakit emosional yang terkait dengan manifestasi kerusakan yang tidak diinginkan pada penampilan diri sendiri ketika cita-cita ini dinyatakan sebagai aspirasi oleh masyarakat kita adalah hal yang sangat penting bagi banyak orang.
Emosi adalah inti dari siklus BFRB. Individu dengan BFRB seringkali lebih rentan terhadap pengalaman emosional yang intens dan mengalami kesulitan dalam mengatur emosi tersebut. Selain itu, rasa malu adalah emosi yang umum terjadi pada individu dengan BFRB. Ini merupakan pemicu dan konsekuensi dari perilaku tersebut. Rasa malu terhadap penampilan seseorang atau ketidakmampuan seseorang mengendalikan perilaku ini dapat menyebabkan penarikan diri dari pergaulan dan isolasi, sehingga memperburuk masalah.
Penelitian menunjukkan bahwa rasa malu berkorelasi positif dengan tingkat keparahan gejala BFRB, kesusahan, dan ketidakpuasan terhadap tubuh. Model regulasi emosi BFRB menunjukkan bahwa perilaku ini berfungsi sebagai mekanisme pengaturan diri secara langsung, awalnya memberikan kelegaan namun akhirnya mengarah pada emosi negatif seperti frustrasi, kemarahan, kesedihan, dan kecemasan. Dengan memahami dan mengelola dasar-dasar emosional BFRB, individu dapat mencapai pemulihan yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Serangkaian strategi pengobatan psikologis berbasis bukti mungkin berguna dalam mengatasi faktor-faktor emosional yang berkontribusi terhadap kelangsungan siklus BFRB, termasuk, namun tidak terbatas pada, hal-hal berikut:
Psikoedukasi: Mendidik individu tentang peran emosi dalam BFRB adalah langkah pertama yang penting. Memahami pemicu emosional dan siklus selanjutnya dapat memberdayakan individu untuk mengambil langkah proaktif dalam mengelola BFRB mereka. Psikoedukasi juga membantu menormalkan pengalaman mereka dan mengurangi perasaan terisolasi.
Terapi Perilaku Kognitif (CBT): Strategi terapi kognitif tradisional dapat membantu dalam mengatasi proses berpikir yang tidak membantu dalam BFRB. Hal ini melibatkan identifikasi dan tantangan terhadap pemikiran dan keyakinan menyimpang yang berkontribusi terhadap emosi negatif. Dengan merestrukturisasi pemikiran tersebut, individu dapat mengurangi pemicu emosional yang mengarah pada BFRB.
Strategi Berbasis Perhatian dan Penerimaan: Strategi berbasis perhatian dan penerimaan membantu individu menjadi lebih sadar akan pengalaman internal mereka tanpa menghakimi. Teknik seperti praktik mindfulness dapat meningkatkan kesadaran dan penerimaan emosional, sehingga mengurangi keinginan untuk terlibat dalam BFRB. Terapi penerimaan dan komitmen (ACT) berfokus pada penerimaan emosi sulit dan pengalaman internal lainnya daripada menghindarinya, sehingga menumbuhkan respons yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap emosi tersebut ketika emosi tersebut muncul.
Keterampilan Pengaturan Emosi dan Toleransi Distress: Mengajarkan keterampilan pengaturan emosi seringkali penting dalam pengobatan BFRB. Keterampilan CBT tradisional, seperti pernapasan diafragma, relaksasi otot progresif, dan visualisasi, dapat membantu individu mengelola emosi yang menyusahkan dengan lebih efektif. Keterampilan terapi perilaku dialektis (DBT) yang diambil dari modul regulasi emosi, toleransi terhadap tekanan, dan efektivitas interpersonal mungkin juga sangat bermanfaat.
Kasih Sayang pada Diri Sendiri: Mengembangkan keterampilan self-compassion seringkali penting bagi individu dengan BFRB, yang sering mengalami kritik diri tingkat tinggi. Praktik welas asih melibatkan memperlakukan diri sendiri dengan kebaikan dan pengertian selama masa-masa sulit, mengurangi intensitas emosi negatif seperti rasa malu dan bersalah.
Membangun Sistem Pendukung: Membangun sistem pendukung yang kuat sangatlah penting. Melibatkan keluarga dan teman dalam proses pengobatan dapat memberikan dukungan emosional dan membantu mengurangi kesalahpahaman tentang BFRB. Kelompok dukungan, baik secara langsung maupun online, dapat menawarkan rasa kebersamaan dan berbagi pengalaman.
Pengaruh standar kecantikan yang tidak realistis secara signifikan berdampak pada individu dengan perilaku berulang yang berfokus pada tubuh (BFRB), yang memperparah tekanan emosional dan mempersulit jalan mereka menuju pemulihan. Cita-cita ini, yang diabadikan oleh industri kecantikan yang sedang berkembang dan diperkuat melalui media sosial, memperburuk perasaan malu dan ketidakpuasan terhadap tubuh. Memahami pemicu dan respons emosional yang terkait dengan BFRB sangat penting untuk intervensi yang efektif. Pendekatan multifaset, yang menggabungkan psikoedukasi, terapi perilaku kognitif, kesadaran, keterampilan pengaturan emosi, belas kasihan pada diri sendiri, dan sistem pendukung yang kuat, dapat memberdayakan individu untuk mengelola perilaku mereka dengan lebih efektif. Dengan mengatasi tantangan emosional yang mendasar dan menumbuhkan pandangan diri yang lebih berbelas kasih, individu dengan BFRB dapat berupaya menuju pemulihan berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan.
***
Solo, Selasa, 28 Mei 2024. 7:32 pm
Suko Waspodo
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.