Kebaya Ala Korea: Tren Baru Generasi Muda
Gaya Hidup | 2024-05-28 18:43:37Era globalisasi merupakan era dimana banyak budaya dapat dengan mudah masuk ke berbagai negara di dunia. Batas-batas budaya antar negara semakin tidak dapat dipandang mata dan membuat banyak budaya tradisional dimodifikasi menjadi budaya yang unik dan menarik. Salah satu fenomena menarik yang terjadi akibat globalisasi adalah “Kebaya ala Korea”.
Pakaian tradisional Indonesia yang dipadukan dengan fesyen Korea ini menarik perhatian khalayak, terutama generasi muda. Walaupun kebaya ala korea ini banyak diminati tetapi kebaya ala Korea ini menimbulkan kontroversial kekhawatiran akan lunturnya budaya asli yaitu kebaya tradisional Indonesia. Kepopuleran kebaya ala Korea merupakan salah satu hal yang dipengaruhi oleh Hallyu (Korean wave) yang telah membawa budaya Korea, termasuk music (K-Pop), drama (k-drama), dan fesyen ke seluruh dunia.
Menurut data dari Korean Creative Content Agency, pada tahun 2022 ekspor produk budaya Korea mengalami peningkatan sebesar 22,7%, yang menunjukkan besarnya pengaruh budaya Korea di berbagai negara termasuk Indonesia. Berdasarkan survei Pew Research Center, sekitar 45% pengguna internet di Indonesia yang berusia 18-29 tahun menggunakan media sosial untuk mengikuti tren fesyen, hal ini menjadi peluang bagi budaya Korea untuk mempromosikan budayanya melalui media sosial.
Platform seperti Tiktok, Instagram, dan YouTube sering dijadikan kiblat fesyen bagi generasi muda. Para influencer dan selebgram yang mengenakan kebaya ala Korea seringkali menjadi inspirasi bagi banyak pengikutnya. Kebaya ala Korea menawarkan pendekatan yang lebih modern karena target pasar mereka adalah generasi muda yang merasa bahwa kebaya tradisional Indonesia terlalu formal dan kuno untuk masa kini. Kebaya ala Korea ditandai dengan beberapa perubahan seperti warna kebaya yang lebih soft atau pastel, adanya renda dan motif yang modern, serta potongan kebaya yang dibuat lebih simpel layaknya hanbok khas Korea.
Kebaya ala Korea banyak dicari karena dianggap memiliki keanggunan, kesederhanaan dan gaya Korea yang modern yang digemari oleh generasi muda. Generasi muda cenderung lebih terbuka terhadap perubahan inovasi fesyen dan data dari penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia menunjukkan bahwa 72% responden yang berusia 18-30 tahun menganggap kebaya ala Korea lebih cocok digunakan untuk berbagai acara, baik formal, semi formal maupun non formal dibandingkan dengan kebaya tradisional yang terkesan kuno.
Tren ini mencerminkan bagaimana generasi muda memaknai budaya di era modern dan juga menunjukkan bahwa budaya Indonesia sangat fleksibel dan terbuka dalam menerima dan memadukan pengaruh asing tanpa harus kehilangan jati dirinya. Menurut data dari survei yang dilakukan oleh dewan Indonesia, 68% responden berusia 18-30 tahun merasa bahwa adaptasi elemen fesyen asing ke dalam budaya tradisional merupakan bentuk kreativitas positif yang dapat memperkaya budaya lokal.
Selain itu, tren ini juga memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal. Data dari Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia menunjukkan bahwa penjualan kebaya perpaduan unsur tradisional dan modern meningkat 15% dalam dua tahun terakhir. Namun, data dari Lembaga Kebudayaan Nasional menunjukkan bahwa 60% pengrajin kebaya tradisional khawatir bahwa modifikasi kebaya dapat mengubah persepsi generasi muda terhadap kebaya, dari sesuatu yang kuno menjadi sesuatu yang lebih modern dan trendi.
Selain itu, sebuah studi dari Badan Pelestarian Budaya Nasional menunjukkan bahwa 62% orang Indonesia khawatir akan kehilangan identitas budaya asli mereka karena pengaruh asing yang kuat pada modifikasi ini. Hal ini menjadi kritik dan tantangan bagi generasi muda dalam menghadapi era globalisasi. Resikonya adalah nilai-nilai budaya yang melekat pada kebaya akan tereduksi menjadi sekedar tren mode tanpa pemahaman akan sejarah dan maknanya. Kebaya tradisional memiliki sejarah historis dan simbolik yang mendalam yang mungkin tidak sepenuhnya dipahami dan dihayati dalam modifikasi ini.
Perubahan ini bisa menjadi awal dari generasi muda yang semakin jauh dari nilai budaya kebaya tradisional. Tren global kebaya Korea dapat membuat generasi muda lebih tertarik pada unsur budaya asing dan membuat budaya tradisional kurang dihargai. Tren ini juga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya komersialisasi budaya. Kebaya yang dulunya dikenakan untuk acara-acara sakral, kini telah menjadi tren fesyen sehari-hari. Sebuah laporan dari Badan Ekonomi Kreatif Indonesia menunjukkan bahwa 40% dari penjualan kebaya secara massal berasal dari adaptasi budaya asing seperti kebaya ala Korea dan sering kali diproduksi tanpa mempertimbangkan nilai-nilai budaya.
Data dari UNESCO juga menunjukkan bahwa negara-negara yang mudah mengadopsi budaya asing cenderung mengalami penurunan dalam pelestarian budaya tradisionalnya. Dalam konteks globalisasi, modifikasi budaya seperti kebaya Korea dapat menyebabkan homogenisasi budaya karena jika banyak budaya asing yang terus memodifikasi budaya tradisional, maka dikhawatirkan budaya lokal akan kehilangan ciri khasnya dan menjadi seragam atau sama dengan budaya lain. Hal ini dapat mengurangi keanekaragaman budaya dunia yang seharusnya menjadi kekayaan dunia.
Tren kebaya ala Korea memang sempat menuai kontroversi dan membawa semangat baru bagi dunia fesyen Indonesia. Pro dan kontra memang selalu ada dalam setiap tren yang terjadi. Namun, penting untuk mendengar pendapat-pendapat kritis yang mengingatkan kita akan nilai dan makna yang terkandung dalam budaya tradisional.
Sebagai generasi yang menghargai tradisi dan terus mendukung inovasi, dalam menghadapi tren tersebut, penting bagi kita untuk menyeimbangkan antara menghargai warisan budaya dan mengikuti perkembangan zaman agar warisan budaya tetap hidup dan relevan tanpa kehilangan esensinya. Dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa kebaya tetap menjadi simbol yang kuat dari identitas budaya tradisional Indonesia tetapi juga relevan di era modern.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.