Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jaja Jamaludin

Pendidikan Tinggi : Privat Goods versus Publik Goods

Didaktika | Monday, 27 May 2024, 05:28 WIB

Pendidikan tinggi di Indonesia masih menjadi perdebatan antara dianggap sebagai *public goods* atau *private goods*. Argumentasi yang menganggap pendidikan tinggi sebagai *public goods* berfokus pada hak masyarakat untuk memiliki akses yang sama dan tidak terbatas terhadap pendidikan tinggi. Mereka berpendapat bahwa pendidikan tinggi memiliki sifat *non-rivalry* dan *non-excludable*, yang berarti bahwa konsumsi dan pemanfaatan pendidikan tidak akan berkurang nilai atau volumenya, serta tidak ada batasan untuk siapa yang dapat mengaksesnya. Dalam kacamata ini, pendidikan tinggi harus disediakan secara merata oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum.

Sebaliknya, argumentasi yang menganggap pendidikan tinggi sebagai *private goods* berfokus pada keuntungan finansial dan manfaat ekonomi yang diperoleh oleh lulusan universitas setelah masuk ke pasar kerja. Mereka berpendapat bahwa pendidikan tinggi memiliki sifat *rivalrous consumption yang berarti bahwa konsumsi pendidikan tinggi oleh satu orang dapat berkurang nilai atau volumenya untuk orang lain. Dalam kacamata ini, pendidikan tinggi harus disediakan secara komersial untuk memenuhi kebutuhan individu yang siap membayar biaya pendidikan tinggi.

Namun, dalam kenyataan, pendidikan tinggi di Indonesia masih mengalami pergeseran dari public goods menjadi private goods karena biaya pendidikan tinggi yang semakin mahal dan akses yang semakin eksklusif. Pemerintah telah melakukan upaya untuk mewujudkan pendidikan tinggi sebagai public goods dengan memberikan bantuan subsidi pendidikan, tetapi kemampuan pemerintah dalam mengakomodir bantuan pendidikan masih terbatas.

apa perbedaan antara public goods dan private goods dalam konteks pendidikan tinggi

Dalam konteks pendidikan tinggi, perbedaan antara *public goods* dan *private goods* berfokus pada sifat dan tujuan pendidikan tinggi. *Public goods* dalam pendidikan tinggi dianggap sebagai barang yang memiliki sifat *non-rivalry* dan *non-excludable*. *Non-rivalry* berarti bahwa konsumsi pendidikan tinggi oleh satu orang tidak akan berkurang nilai atau volumenya untuk orang lain. *Non-excludable* berarti bahwa tidak ada batasan untuk siapa yang dapat mengakses pendidikan tinggi. Dalam kacamata ini, pendidikan tinggi harus disediakan secara merata oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum.

Sebaliknya, *private goods* dalam pendidikan tinggi dianggap sebagai barang yang memiliki sifat *rivalrous consumption*. *Rivalrous consumption* berarti bahwa konsumsi pendidikan tinggi oleh satu orang dapat berkurang nilai atau volumenya untuk orang lain. Dalam kacamata ini, pendidikan tinggi harus disediakan secara komersial untuk memenuhi kebutuhan individu yang siap membayar biaya pendidikan tinggi.

Dalam kenyataan, pendidikan tinggi di Indonesia masih mengalami pergeseran dari *public goods* menjadi *private goods* karena biaya pendidikan tinggi yang semakin mahal dan akses yang semakin eksklusif. Pemerintah telah melakukan upaya untuk mewujudkan pendidikan tinggi sebagai *public goods* dengan memberikan bantuan subsidi pendidikan, tetapi kemampuan pemerintah dalam mengakomodir bantuan pendidikan masih terbatas.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image