Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Diwan Fadli Sutan Bandaro

Saat Ulama Kaum Tua dan Kaum Muda Berselisih Paham

Agama | 2024-05-22 07:23:50

Perdebatan dalam urusan agama adalah hal yang lumrah. Perbedaan interpretasi terhadap suatu dalil akan membuahkan keragaman penafsiran. Namun tidak semua orang dapat menerima perbedaan. Sebagian golongan menganggap perbedaan pandangan adalah masalah serius hingga tak jarang berujung pada perdebatan hingga mengkafirkan teman seagama. Hal ini telah terjadi di Nusantara sejak puluhan yang lalu. Dua kelompok ulama yang disebut kaum tua dan kaum muda pernah terjebak dalam pertentangan yang panjang.

Perihal istilah kaum-tua dan kaum-muda pada kalangan ulama di Nusantara mulai mencuat pada awal abad ke 20. Jika boleh kita sebutkan, tempat bermulanya perbedaan ini adalah Ranah Minang- Sumatera Barat sekarang. Usai perang padri, ulama-ulama di Minangkabau cenderung menganut pemahaman tradisional dan bersifat konservatif. Mereka mengidentifikasi diri sebagai pengikut sejati ahlussunnah wal jamaah, Bermahzab Syafi’i dalam hal fikih dan Asy’ari-Maturidi pada Aqidah. Selain itu Ulama pada masa tersebut juga sangat teguh dalam mengamalkan serta mengembangkan ajaran-ajaran thariqat dan juga giat dalam mempertahankan tradisi-tradisi lama. Dua hal terakhir inilah yang kelak menimbulkan banyak pertentangan dengan ulama kaum muda.

Dalam metode dakwahnya, kaum tua memakai sistem surau, di sanalah ajaran-ajaran agama diwariskan, dari dari syeikh pada kalifah, dari mursyid pada murid. Demi memudahkan masyarakat awam dalam menjalankan ibadat, ulama kaum tua menerapkan cara taqlid. Murid dan masyarakat cukup mengikuti saja apa yang diajarkan guru tanpa bertanya atau berdiskusi. Hanya guru lah yang bertanggung jawab untuk mengkaji dalil-dalilnya. Tiada tempat untuk pembaharuan tradisi apalagi kritik. Hal inilah yang membuat Shierke, seorang sosiolog Belanda menyebut ulama masa ini dengan sebutan “de ouderwetsche orthodoxen” (kaum orthodox yang kolot).

Permulaan tahun 1900-an, Beberapa tokoh Ulama Minangkabau mulai menyuarakan perubahan pada sistem keagamaan di negerinya. Gerakan ini dimotori oleh murid-murid dari Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang bermukim di Makkah. Beberapa tokoh seperti Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul Karim Amarullah (Haji rasul), Haji Muhammad Thaib Umar, dan Haji Abdullah Ahmad adalah tokoh-tokoh yang mula melakukan gerakan pembaharuan ini.

Para ulama yang belakangan dilabeli sebagai kaum muda ini membawa pembaharuan dalam dakwahnya. Mereka menekankan pada pemurnian ajaran Islam dengan mengajak masyarakat untuk kembali merujuk pada dalil yang jelas dalam al Quran dan Hadist, serta membuka pintu ijtihad dan mengecam sikap taqlid buta pada sosok ulama tertentu atau satu mahzab saja.

Selain itu kaum muda juga membawa perubahan dalam metode pendidikan dengan memperkenalkan sistem madrasah. Sekarang siswa belajar di kelas, diminta untuk kritis dan giat dalam menggali ilmu. Guru tidak lagi menjadi sosok yang tabu untuk diberi pertanyaan. Di madrasah guru menjelma sebagai teman diskusi yang menyenangkan. Umat islam juga mulai terbuka untuk terlibat aktif dalam bidang politik dan ekonomi. Di tangan mereka jugalah penerbitan media-media bernuansa Islami mulai menggelora.

Beberapa perbedaan pendapat mulai bermunculan antara kaum tua dan kaum muda. Dalam bidang fikih, Haji Abdul Karim Amarullah, ayah kandung Hamka sempat dihujat oleh kaum tua setelah beliau menulis dalam bukunya -al Fawaidul A'liyah- bahwasanya melafalkan ushalli di awal shalat tidaklah ditemukan dalilnya dalam al Quran, hadist, maupun pendapat ke empat imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Kaum tua tidak terima, sebab perkara ushalli sudah diajarkan dan diamalkan sejak lama. Alih-alih didebat menggunakan dalil, Haji Abdul Karim Amarullah malah dihujat hingga dicap wahabi karena salah satu rujukan dalam buku beliau adalah kitab tulisan ibnu Qayim.

Perkara amalan thariqat yang diamalkan kaum tua juga kerap dikritisi oleh kaum muda. Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, guru dari ulama-ulama kaum muda membuat suatu tulisan yang berjudul Izhar Zaghlil Kazibin fi Tasyabuhimim bis Shadiqin (mengungkap kebohongan orang-orang yang menyerupai orang yang benar). tulisan ini menuding thariqat Naqsabandiyah yang banyak diamalkan di Minangkabau sebagai suatu ajaran bid’ah, tidak berdasar, bahkan penganutnya diserupakan dengan penyembah berhala. Risalah tersebut dicetak dan disebarkan secara luas di Ranah Minang, menimbulkan polemik dan memancing kemarahan kaum tua.

Menanggapi hal tersebut, Syeikh Muhammad Sa’ad dari Mungka, Limapuluh Kota, tampil membela kaum tua. Beliau mengeluarkan risalah tangkisan dengan judul yang tak kalah gahar; Irgham Unufil Muta’annitin fi Inkarihim Rabithathal Washilin (meremukkan hidung penantang, yakni mereka yang mengingkari rabithah orang-orang yang telah sampai kepada Allah). Risalah ini dikirim ke kota Mekah melalui jamaah haji. Hingga sampai ke tangan syeikh Ahmad khatib dan murid-muridnya. Perdebatan berlanjut, kendatipun terpisah jarak, kedua ulama tersebut saling balas membalas argumen melalui tulisan. Berulang kali syeikh Ahmad Khatib menulis bantahannya dan setiap kali itu pulalah dijawab dengan tulisan oleh Syeh Sa’ad begitu terus selama kurang lebih sepuluh tahun lamanya.

Setiap diskusi yang dilakukan kedua golongan ulama ini, baik secara langsung maupun melalui tulisan, selalu berakhir dengan jalan buntu. Masing-masing pihak tetap teguh memegang pendirian masing-masing. Bahkan terkadang sebahagian orang dari kedua kelompok mulai saling melabeli dengan istilah-istilah yang merendahkan. Kaum konservatif dijuluki kaum tua, kaum taqlid, ulama kuno dan lain sebagainya. Di lain pihak kaum pembaharu juga diberi julukan seperti kaum muda, faqih baru, malin baru, juga dituding wahabi, muktazilah, bahkan Zindiq.

Ibarat kata pepatah, cabik cabik bulu ayam, walaupuan bertengkar, dua saudara akan tetap akur juga. Perdebatan kaum tua dan kaum muda mereda pada tahun 1930-an. Beriringan dengan perjuangan kemerdekaan negara kita, kedua belah pihak semakin berkembang dengan berdirinya organisasi-organisasi yang menjadi wadah dakwah masing masing. Kaum muda mendirikan Jami‘atul Khair, Sarekat Dagang Islam (SDI) yang belakangan berkembang menjadi Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam. Sedangkan kaum tua tetap lestari melalui Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Al-Jami’atul Washliyah, Normal Islam, As’adiyah dan Nahdlatul Wathan.

Perkembangan organisasi-organisasi tersebut beragam, Sebagian tumbuh pesat tak tergerus zaman. Sebagian meredup bahkan hilang hingga hanya menyisakan jejak dalam catatan sejarah. Ada dua organisasi yang mewakili kaum tua dan muda tetap bertahan hingga detik ini yakni NU dan Muhammadiyah. Keduanya tampil sebagai ormas islam besar di Indonesia yang memberikan kontribusi positif pada kehidupan umat muslim negeri ini. Kendatipun sesekali muncul juga beberapa perbedaan pendapat dalam hal fatwa, namun itu hanyalah masalah khilafiyah semata, buah dari sudut pandang yang berbeda-beda. Perbedaan tidak musti dibesar-besarkan dan tidak boleh jadi alasan untuk memulai pertikaian. Karena pada dasarnya kebenaran agama adalah sesuatu yang pasti, namun ilmu agama bukanlah ilmu pasti.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image