Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Indonesia
Hukum | 2024-05-12 15:40:06Pernikahan beda agama menjadi isu yang cukup sensitif dan kontroversial di Indonesia, negara dengan keberagaman suku, ras, dan agama. Meskipun Indonesia mengakui enam agama resmi, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, pernikahan beda agama masih menuai pro dan kontra dalam masyarakat. Pernikahan beda agama sendiri sudah cukup popular di Indonesia dan mulai meningkatnya tren terhadap bentuk perkawinan tersebut, hal ini dibuktikan dengan banyaknya tokoh-tokoh publik yang melakukan hal ini. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ahmad Nurcholis selaku direktur program Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP) menyebutkan bahwa pernikahan beda agama yang tercatat di Indonesia sejak 2005 hingga saat kabar ini diliput (5/3) adalah 1.425 total pernikahan yang tercatat.
Secara hukum Indonesia, pernikahan beda agama tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, hal inilah yang menyebabkan pernikahan beda agama tidak diakui secara sah oleh negara. Hal ini dipertegas dengan pasa; 8 huruf (f) UU Perkawinan yang melarang pernikhan anatara dua orang yang “ mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.”.
Dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Artinya, pernikahan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan agama masing-masing pihak yang melangsungkan pernikahan. Namun, dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Contohnya dalam agama islam sendiri, pernikahan beda agama adalah sesuatu yang dilarang, berdasarkan pasal 40 KHI, yang membuat orang muslim tidak bisa menikah dengan pasangan beda agama.
Meskipun demikian, terdapat beberapa kasus di mana pasangan beda agama berhasil mendapatkan pencatatan pernikahan dari pengadilan. Salah satu contoh kasus yang cukup menarik perhatian publik adalah terjadi pada tahun 2020, di mana pasangan Riri Yusnita Irawan (Muslim) dan Isro Karti (Hindu) mengajukan permohonan pencatatan pernikahan ke Pengadilan Negeri Denpasar, Bali. Hakim mengabulkan permohonan tersebut dengan pertimbangan bahwa menolak pernikahan beda agama bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip non-diskriminasi. Putusan ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat.
Di balik itu ada juga kasus pernikahan antara Ika Sukysah (Muslim) dan Mira Ahdiah (Kristen) di Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat pada tahun 2018.Pasangan ini mengajukan permohonan pencatatan pernikahan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Namun, permohonan tersebut ditolak dengan alasan tidak ada dasar hukum yang mengatur pernikahan beda agama di Indonesia. Penolakan ini didasarkan pada UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang melarang pernikahan beda agama.
Dalam pelaksanaan pencatatan nikah sendiri, sesuai dengan PP No.09 Tahyb 1975 pasal 2, mengatur bahwa pencatatan nikah bagi orang islam dilakukan oleh KUA sedangkan non-muslim dilakukan oleh Kantor Pencatatan Sipil.
Sebagaimana di sebutkan diatas negara telah tegas melarang pernikahan beda agama di karenakan melanggar norma norma keagaman. Lantas bagaimana bisa pasangan yang menikah beda agama bisa tercatat di catatan sipil. pasangan yang menikah berbeda agama tersebut memiliki cara agar bisa pernikahan bisa tercatat. Pada mula nya pernikahan beda agama dapat dicatat berdasarkan yurispodensi Mahkamah Agung yaitu Putusan MA No.1400K/PDT/1986 yang menerangkan bahwa kantor catatan sipil saat itu di perkenankan untuk melangsungkan pernikahan beda agama.selain itu cara untuk bisa pernikahan tersebut tercatat dalam catatan sipil menuurut Guru Besar Hukum Perdata di Universitas Indonesia,Prof Wahyono Darmabrata terdapat beberara cara agar pernikahanya dapat dilangsungkan diantaranya:
1. Perkawinan dilakukan menurut agama masing masing
2. Penundukan salah satu hukum agama
3. Menikah di luar negri
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.