Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ida Wahyuni

Riba Antara Realita dan Idealisme

Agama | Sunday, 28 Apr 2024, 16:04 WIB

RIBA ; ANTARA REALITA & IDEALISME

Menukil pernyataan tentang riba dari Buku Sistem Ekonomi Islam karya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani (Hizbut Tahrir 1425 H – 2005M), pada hal. 234 disebutkan “Memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkan adalah sunnah. Mencari pinjaman pun bukanlah sesuatu yang makruh, bahkan sunnah juga. Pasalnya, Rasulullah saw sendiri biasa mencari pinjaman. Karena itu, selama masih ada orang yang mencari pinjaman, sementara hukumnya sunnah bagi orang yang meminjami maupun bagi yang mencari pinjaman, justru akan tampak bahwa riba itu merupakan suatu ancaman yang sangat membahayakan bagi kehidupan perekonomian. Bahkan akan tampak bagi para pemerhati bahwa sangat urgen untuk menjauhkan riba sekaligus menciptakan tabir yang tebal antara riba dan masyarakat melalui legislasi hukum syariah dan pembinaan sesuai dengan system Islam. Jika riba tidak ada maka kebutuhan akan bank yang ada sekarang tentu tidak ada. Baitul Mal sajalah yang akan bertindak untuk meminjami harta tanpa ada bunga sedikitpun setelah pemanfaatan harta pinjaman tersebut terealisasi “.

Tetapi pada prakteknya, meminjamkan pun bukan perkara yang mudah, jika kita menghadapi orang yang tidak amanah, setelah meminjam lalu menghilang, tidak ada niat untuk mengembalikan, atau mengembalikan tetapi tidak sesuai akad, baik jumlah angsuran maupun waktunya. Mungkin itu hikmahnya mengapa meminjamkan itu mendapat pahala yang besar, karena ujiannya pun besar. Sehingga akibatnya orang menjadi enggan untuk meminjamkan. Sementara kemampuan orang yang meminjamkan pun terbatas, Ketika dia mengharap pengembalian karena akan digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, ternyata si peminjam tidak kunjung membayar. Itulah sebabnya butuh kesediaan negara untuk meminjamkan kepada rakyat yang membutuhkan tanpa mengambil keuntungan.

Mungkinkah mewujudkan negara yang seperti itu? Sangat mungkin, karena buktinya Negara yang pernah menerapkan system ekonomi Islam pernah terwujud selama lebih dari 13 abad. Untuk mewujudkan negara seperti itu lagi butuh kerja sama dan kemauan dari seluruh masyarakat dan penguasa. Caranya dimulai dengan mempelajari ilmu apa dan bagaimana system tersebut, yang tahu mengajari pada yang tidak tahu, yang belum tahu harus bertanya pada ahlinya. Semakin banyak orang yang tahu maka mereka akan menuntut diberlakukannya system tsb oleh penguasa.

Islam adalah way of life. Islam adalah jalan hidup. Islam memiliki pemikiran sekaligus metode untuk menerapkan pemikiran tersebut. Tentang riba, syariah Islam sangat tegas melarang, berapapun jumlahnya, sedikit ataupun banyak, sangat tegas disebutkan dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah 275 : “ Orang – orang yang memakan ( mengambil ) riba tidaklah berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Hal itu karena mereka berpendapat bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang – orang yang telah sampai padanya larangan Tuhannnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dulu (sebelum datang larangan), sementara urusannya terserah kepada Allah . Orang – orang yang mengulanginya (mengambil riba) adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. “

Meskipun telah sangat jelas bahwa Allah mengharamkan riba, saat ini sangat banyak orang yang mempraktekkan riba, memberikan pinjaman tapi meminta kompensasi berupa bunga yang artinya sama saja dengan mengambil riba, sementara orang yang meminjam pun dengan sukarela membayar kelebihan (bunga). Bahkan pelakunya pun banyak dari kalangan orang – orang muslim. Mengapa bisa terjadi ? Jawabnya adalah ada banyak faktor, di antaranya : (1) iman yang kurang kuat, (2) kurangnya ilmu, (3) kebutuhan yang mendesak karena sementara tidak memiliki kemampuan yang layak untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Faktor (1) & (2) bisa diselesaikan dengan berusaha mencari ilmu ataupun mencari komunitas yang bisa mengkondisikan untuk mendukungnya, sementara faktor (3) memang harus dipenuhi dan perlu solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Islam sebagai way of life telah memiliki system ekonomi yang akan mengatur bagaimana caranya memenuhi semua kebutuhan manusia.

Jika kita perhatikan masalah hutang – piutang yang terjadi di Masyarakat, biasanya orang berhutang untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti : sandang, pangan, pakaian, papan, Kesehatan dan Pendidikan. Dalam Islam, semua kebutuhan dasar tersebut dipastikan akan diatur dan dipenuhi. Agar bisa memenuhi kebutuhannya maka orang harus memiliki penghasilan, maka peran negara adalah memastikan setiap orang (laki – laki) memiliki pekerjaan atau penghasilan sehingga bisa memenuhi kebutuhannya. Adapun untuk kebutuhan berupa Kesehatan & pedidikan, maka negara akan menyediakan secara Cuma – Cuma alias gratis. Sedangkan saat ini Kesehatan & Pendidikan justru menjadi ladang bisnis bagi swasta bahkan negara pun berbisnis dengan rakyat dalam menyediakan layanan Kesehatan dan Pendidikan, sekolah dan berobat semuanya butuh biaya. Meskipun ada fasilitas Pendidikan & Kesehatan yang gratis, tidak merata bisa dinikmati rakyat, hanya kalangan terbatas yang bisa mengakses dengan syarat – syarat yang tidak mudah. Misalnya untuk mendapatkan bantuan biaya Pendidikan gratis harus mengurus surat keterangan tidak mampu dsb. Walhasil, orang yang tidak memiliki peghasilan cukup akan terpaksa berhutang untuk memenuhinya. Semetara orang yang menghutangi tidak mau meminjamkan karena tidak ada keuntungan di dalamnya, jika ingin mengambil keuntungan maka pasti terkena riba.

Bila Negara ini menerapkan sistem ekonomi Islam, maka negara lah yang akan mengambil posisi yang meminjamkan jika rakyatnya membutuhkan, dan tidak mengambil keuntungan sama sekali. Jikapun ada orang pribadi yang memiliki kelebihan dan berminat memberikan pinjaman, maka diapun tidak akan memungut riba. Hanya saja, untuk meninggalkan riba tidak boleh tergantung adanya Negara Islam atau tergantung pada orang yang mau meminjamkan tanpa riba. Ada atau tidak ada, maka riba tetap haram. Maksudnya, kalau saat ini kedua hal tersebut tidak ada, bukan berarti riba menjadi boleh dilakukan.

Jadi sampai kapanpun riba akan tetap ada jika Negara maupun warganya belum mengadopsi dan belum menerapkan sistem ekonomi Islam. Selama yang berlaku adalah sistem ekonomi kapitalis, di mana asasnya adalah berdasarkan asas manfaat maka meminjamkan pun harus mendapat imbalan manfaat. Sementara dalam Islam, meminjamkan itu adalah aktivitas tolong menolong (ta’awun) sehingga tidak boleh berharap manfaat dari sana. Rosulullah saw pernah bersabda, yang artinya : “ Tidak seorang Muslim pun yang meminjami muslim yang lain dengan suatu pinjaman sebanyak dua kali, kecuali hal itu seperti sedekah sekali” . ( HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

Mungkinkah mewujudkan negara yang menjamin kebutuhan rakyatnya? Sangat mungkin, karena buktinya Negara yang pernah menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin kebutuhan rakyatnya pernah terwujud selama lebih dari 13 abad. Untuk mewujudkan negara seperti itu lagi butuh kerja sama dan kemauan dari seluruh masyarakat dan penguasa. Caranya dimulai dengan mengkaji ilmu apa dan bagaimana sistem tersebut, yang tahu mengajari pada yang tidak tahu, yang belum tahu harus bertanya pada ahlinya. Semakin banyak orang yang tahu maka mereka akan menuntut diberlakukannya sistem tsb oleh penguasa. Bila Negara yang memberlakukan system ekonomi Islam sudah terwujud, dengan sendirinya permasalah seputar riba dapat dihentikan, tidak ada lagi korban yang diakibatkan masalah hutang piutang. Insyaa Allah, antara realita dan idealisme tentang riba akan berjalan selaras. Wallahu a’lam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image