Tan Malaka Seorang Revolusioner yang Kesepian
Agama | 2024-04-28 15:28:22Dr. Alfian menggambarkan Tan Malaka sebagai seorang revolusioner yang kesepian, dan mungkin tidak berlebihan. Tan Malaka memang menjadi pejuang yang benar-benar sendirian. Selama sekitar 20 tahun (1922-1942), ia hidup dalam pembuangan tanpa didampingi oleh rekan-rekan seperjuangan. Beberapa kali, ia bahkan dipenjara oleh pemerintah imperialis saat berada di Filipina dan Hong Kong, serta dipenjara selama dua setengah tahun tanpa pengadilan oleh pemerintah republik yang ia impikan.
Seabad yang lalu, pada tahun 1912, gelar Datuk Tan Malaka diberikan kepada seorang remaja bernama Ibrahim. Ibra lahir dan dibesarkan di sebuah surau, yang kini sudah tidak ada lagi. Tempat surau itu berdiri telah menjadi sawah.
Tidak ada catatan resmi yang memastikan tanggal kelahiran Tan Malaka. Satu-satunya penulis yang mencantumkan tanggal kelahirannya secara lengkap adalah Djamaluddin Tamim, seorang teman seperjuangan Tan, dalam bukunya "Kematian Tan Malaka", yang menyebutkan tanggal 2 Juni 1897. Ayah Tan, Rasad, berasal dari suku Chaniago, sementara ibunya, Sinah, berasal dari suku Simabur. Ibrahim adalah anak sulung dari dua bersaudara, dengan adiknya bernama Kamaruddin yang enam tahun lebih muda.
Ibrahim adalah gambaran seorang anak lelaki Minangkabau yang gemar bermain sepak bola, layang-layang, dan berenang di sungai. Setelah maghrib, ia mengaji di surau sebelum tidur. Seperti kebiasaan di tempatnya, anak laki-laki enggan menginap di rumah ibunya. "Ibra adalah anak yang berani, nakal, dan nekat, tetapi tidak pernah meninggalkan kewajiban beribadah. Ia menghafal Quran," kata Zulfikar, mengenang kesaksian dari Kamaruddin. Pada tahun 1907, Ibra tercatat di Fort de Kock. Rudolf Mrazeck, penulis buku tentang Tan Malaka, menyebutkan Fort de Kock sebagai tempat pertama di mana Ibra merantau, yang disetujui oleh para tetua kampung. Merantau adalah bagian dari budaya Minangkabau, yang diyakini akan membawa nilai-nilai positif dari dunia luar. Sistem kekerabatan matrilineal, serta adat anak laki-laki yang tidur di luar rumah, mendorong lelaki dewasa untuk segera meninggalkan kampung halaman mereka.
Selama hidupnya, Tan Malaka mengalami berbagai peristiwa, mulai dari akhir Perang Dunia I, Revolusi Bolshevik, hingga Perang Dunia II. Di medan perjuangan kemerdekaan Indonesia, pria kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, pada 2 Juni 1897 ini adalah tokoh pertama yang secara tertulis mengusulkan konsep Republik Indonesia. Pada tahun 1925, dia menulis "Naar de Republiek Indonesia" (Menuju Republik Indonesia), jauh sebelum Mohammad Hatta menulis "Indonesia Vrije" (Indonesia Merdeka) di hadapan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Sukarno menulis "Menuju Indonesia Merdeka" (1933). Buku "Naar de Republiek" dan "Massa Actie" (1926), yang ditulisnya selama dalam pengasingan, telah menginspirasi para pemimpin gerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengingat bagaimana Sukarno dan Ir. Anwari membawa dan membahas isi penting dari "Massa Actie". Waktu itu, Sukarno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang dihadapi oleh Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada tahun 1931 adalah karena menyimpan buku terlarang ini. Tidak mengherankan jika isi buku tersebut menjadi sumber inspirasi dan dikutip oleh Sukarno dalam pembelaannya, "Indonesia Menggugat".
W.R. Supratman juga telah membaca "Massa Actie" dengan cermat. Ia memasukkan kalimat "Indonesia tanah tumpah darahku" ke dalam lagu "Indonesia Raya" setelah terinspirasi oleh bagian akhir dari "Massa Actie", khususnya pada bagian yang berjudul "Khayal Seorang Revolusioner". Di sana, Tan antara lain menulis, "Di depan barisan prajurit, di situlah tempatmu berdiri... Kewajiban seseorang yang tahu akan kewajibannya sebagai putra tanahnya."
Dekat dengan Proklamasi Kemerdekaan, Tan memainkan peran yang penting. Ia memobilisasi para pemuda untuk menghadiri rapat massa di Lapangan Ikada (sekarang Monas) pada tanggal 19 September 1945. Rapat ini menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan, yang pada saat itu hanya merupakan catatan di atas kertas yang belum menimbulkan getaran yang kuat. Tan menulis bahwa aksi ini merupakan "tes kekuatan untuk memisahkan antara kawan dan lawan". Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang semakin berani dan intensif.
Kehadiran Tan di Lapangan Ikada merupakan cerita menarik tersendiri. Poeze mencari bukti kehadiran Tan selama bertahun-tahun. Sahabat-sahabat Tan, seperti Sayuti Melik, mantan Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Namun, kesaksian tersebut harus didukung oleh bukti visual. Dokumentasi foto acara tersebut sangat sedikit. Meskipun ada rekaman film dari Berita Film Indonesia, mencari Tan di antara kerumunan sekitar 200 ribu orang dari berbagai daerah bukanlah hal yang mudah. Poeze harus mencari cara yang tidak langsung. Ia mengumpulkan semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah dikunjungi oleh Tan. Misalnya, Tan selalu mengenakan
topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927) dan hanya membawa dua set pakaian. Sejak terlibat dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada tahun 1940-an, ia selalu mengenakan celana pendek. Setiap kali berkunjung ke sebuah rumah, ia selalu duduk menghadap jendela untuk mengantisipasi kemungkinan kedatangan polisi rahasia dari Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika. Tan memiliki 23 nama palsu dan telah melakukan perjalanan ke dua benua dengan total jarak sekitar 89 ribu kilometer, dua kali lipat jarak yang ditempuh oleh Che Guevara di Amerika Latin.
Satu lagi bukti yang harus dicari adalah tinggi badan Tan. Dalam bukunya "Dari Penjara ke Penjara II", Tan menceritakan bahwa ia dipotret setelah dicukur rambut selama ditahan di Hong Kong. "Tiba-tiba, tiga orang memegang erat tanganku dan jempolku untuk diambil sidik jarinya. Semua dilakukan dengan kasar," kata Tan. Dari buku ini, Poeze mencari dokumen tentang tinggi badan Tan dari arsip polisi Inggris yang menahannya di Hong Kong. Dan ternyata, tinggi Tan adalah 165 sentimeter, lebih pendek dari Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri ini, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno, membuktikan bahwa Tan benar-benar hadir di lapangan dan memobilisasi para pemuda. Tan tidak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan keputusan Soekarno-Hatta untuk berunding dan kemudian ditangkap oleh Belanda. Menurut Poeze, sebagai pemimpin revolusi, Soekarno seharusnya lebih mengutamakan perlawanan gerilya daripada menyerah. Bagi Tan, perundingan hanya mungkin dilakukan setelah Indonesia merdeka diakui sepenuhnya oleh Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, perundingan adalah hal yang tak masuk akal.
Sebelum menghadapi Soekarno, Tan juga telah berhadapan dengan arus di Kongres Komunis Internasional di Moskow pada tahun 1922. Ia mengungkapkan bahwa gerakan komunis di Indonesia tidak akan berhasil mengusir kolonialisme tanpa dukungan dari Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan untuk melakukan pemberontakan PKI pada tahun 1926/1927. Bagi Tan, revolusi bukanlah sekadar rencana logistik atau dibantu dari luar seperti Rusia, tetapi bergantung pada kekuatan massa. Saat itu, otot revolusi belum terbentuk dengan baik, dan kekuatan komunis masih lemah. "Revolusi bukanlah sesuatu yang hanya diciptakan dalam pikiran," tulis Tan. Dengan kata lain, rencana pemberontakan tersebut tidak matang.
Penolakan ini akhirnya membuat Tan dipecat oleh para pemimpin partai. Bagi Tan, partai bukanlah segalanya. Yang lebih penting baginya adalah kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini, kita dapat memahami sifat dan orientasi penulis Madilog ini. Meskipun seorang Marxis, ia juga seorang nasionalis. Meskipun seorang komunis, Tan menyatakan bahwa "Di depan Tuhan, saya adalah seorang muslim" (mengejutkan bahwa ia menghafal Al-Quran saat masih muda). Perhatian utamanya adalah mengakhiri penjajahan kolonialisme di Indonesia selamanya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.