Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Titin Kustini

Generasi Fomo, Tantangan Pendidikan Karakter

Humaniora | Tuesday, 23 Apr 2024, 11:33 WIB

Generasi unggul suatu bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana karakter dalam diri generasi tersebut terbentuk. Hanya generasi yang memiliki karakter kuat yang akna mampu membawa bangsa pada kemajuan. Itulah sebabnya kenapa Pendidikan karakter menjadi hal yang sangat diagungkan oleh pemerintah dalam pembenaguna Pendidikan nasiona

source:YudhoYudhanto

Pendidikan karakter adalah suatu usaha manusia secara sadar dan terencana untuk mendidik dan memberdayakan potensi peserta didik guna membangun karakter pribadinya sehingga dapat menjadi individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.

Jadi, dimulai dari kebermanfaatan dari diri sendiri dulu, sebelum kemudian akan melebarkan manfaatnya kepada orang lain.

Tahun 2010 dikatakan sebagai tahun pendidikan karakter karena sejak tahun 2010 tepatnya pada tanggal 20 Januari 2010 pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional mencanangkan program “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” sebagai gerakan nasional.

Berarti, sudah 14 tahun berlalu sejak Pendidikan karakter dicanangkan. Lalu, sudah sampai mana hasil dari Pendidikan karakter terhadap generasi muda Indonesia?

Nyatanya, hingga saat ini, sebagai salah satu contoh kasus dalam Pendidikan karakter, bullying misalnya, masih marak terjadi (bahkan bukan lagi cemoohan atau siksaan fisik ringan, tetapi sudah ke tahap menghilangkan nyawa). Belum lagi yang diam-diam menyelusup masuk ke ruang mindset anak-anak Indonesia, yang bergerak senyap (silent) namun terus tumbuh dan sepertinya kian subur tumbuh di era digital seperti saat ini.

Munculnya generasi FOMO merupakan salah satu tantangan bagi Pendidikan karakter yang berupaya membentuk karakter baik anak-anak Indonesia. Dan ini mengancam bagi terbentuknya generasi berkarakter kuat.

Fear of Missing Out (FOMO), yaitu perasaan cemas dan takut yang timbul di dalam diri seseorang karena tidak ingin ketinggalan sesuatu yang baru, seperti berita, tren, atau informasi lainnya, menjadi fenomena yang menjangkiti generasi.

Generasi FOMO akan merasa takut dan sedih jika ketinggalan tren atau apa pun yang sedang ramai menjadi topik perbincangan atau sedang dilakukan oleh banyak orang.

Jika generasi Z yang mengalami FOMO ini terlibat dalam pemilu, mereka memilih pemimpin yang gimmick-nya sedang tren. Memilih pemimpin bukan karena sepakat dengan gagasannya, melainkan karena jogetnya diikuti oleh banyak orang.

Jika ada yang berkata generasi sekarang menjadi generasi lemah mentalnya, kurang tata krama, tidak punya daya juang, generasi suka membuli, generasi zombie, generasi FOMO, ini karena yang mendidik karakter mereka adalah lebih dari media sosial, bukan pendidikan sekolah.

Berkembangnya teknologi saat ini menjadikan kita dapat dengan mudah menerima ribuan bahkan jutaan informasi di luar sana, bisa melalui Instagram, TikTok, dan lain-lain.

Hal ini memicu upaya membandingkan kehidupan dengan orang lain yang terlihat lebih menyenangkan. Selanjutnya merasa terpacu untuk selalu mengikuti perkembangan informasi tentang kehidupan para idolanya, apa yang menjadi tren saat ini, sehingga ada perasaan tidak ingin ketinggalan dan ingin terus meng-update beritanya, akhirnya waktu banyak terbuang hanya untuk scroll medsos, mengamati rutinitas selebritis idolanya.

Generasi FOMO tidak lagi sibuk menata masa depan, melainkan sibuk meng-update informasi, berita tentang kehidupan orang lain. Tidak jarang yang diikuti itu adalah informasi receh, yang tidak memberi manfaat untuk masa depan mereka.

FOMO, adalah karakter yang telah terbentuk pada generasi Z hasil dari proses pendidikan dan paparan lingkungan. Generasi FOMO berdampak buruk bagi keberlangsungan negeri. Ironi karena generasi muda semestinya kritis terhadap perkembangan perpolitikan yang ada, menjadi agen perubahan, bukan malah tumbuh menjadi generasi lemah yang hidupnya terombang-ambing oleh arus media sosial.

Maka, solusinya adalah, Pendidikan karakter harus didasarkan pada Pendidikan agama. Pendidikan harus disandarkan pada pembentukan karakter seseorang menggunakan dasar agama karena agama adalah petunjuk hidup yang memberikan standar baik buruk atau benar salah. Pendidikan saat ini seolah terkotak-kotak mejadi Pendidikan umum di sekolah-sekolah umum dan Pendidikan agama di sekolah agama, madrasah atau pesantren.

Jika Pendidikan karakter tidak disandarkan pada Pendidikan agama, maka yang terjadi bisa seperti di Jepang. Jepang adalah negara yang berhasil membentuk produk pendidikan menjadi individu disiplin, sopan, mengahargai orang lain. Namun karena pendidikan karakter di Jepang tidak dilandasi agama, maka Jepang gagal membentuk karakter generasi tangguh. Terbukti Jepang adalah salah satu negara dengan tingkat bunuh diri yang tinggi.

Beberapa berita di media tentang mahasiswa atau siswa usia sekolah menengah yang bunuh diri atau mencoba bunuh diri, atau bahkan fakta hasil penelitian tentang mahasiswa spesialis kedokteran anak yang banyak depresi dan mencoba bunuh diri, adalah preseden buruk tentang karakter anak negeri., dan ini harus segera dihentikan. Dengan memperkuat Pendidikan karakter berdasarkan agama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image