Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Markus Togar Wijaya

Mengakomodasi Lingkungan Sebagai Subjek Hukum, Mungkinkah?

Kolom | Friday, 19 Apr 2024, 19:42 WIB
Sumber: Pexels

Jurang krisis iklim menjadi sebuah paranoid bagi dunia internasional. Setumpuk jalanan terjal yang berbatu harus dilalui, demi menjaga kondisi iklim berada dalam tahap yang ideal. Tentu, yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana upaya proteksi lingkungan hidup yang secara praktik mengesampingkan sebuah eksploitasi? Apakah dengan mengakomodasi lingkungan sebagai subjek hukum dapat mengatasi permasalahan eksploitasi tersebut?

Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Mengenal Hukum menjelaskan bahwa subjek hukum adalah sesuatu yang dapat dikenai hak dan kewajiban. Lebih lanjut, subjek hukum terdiri dari orang (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Lalu, bagaimana dengan posisi lingkungan dalam subjek hukum? Seakan-akan hanya dipandang sebagai objek karena tidak dapat dikenai hak maupun kewajiban.

Perdebatan lingkungan sebagai subjek hukum

Dalam suatu kesempatan perkuliahan Hukum Agraria di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Rafael Edy Bosko menerangkan posisi lingkungan yang kerap mengalami pereduksian hak maupun kewajiban. Lebih lanjut beliau bertanya, “bukankah menarik jika ilmu hukum Indonesia mengalami redefinisi terkait dengan subjek hukum dengan mengakomodasi aspek lingkungan dalam pemahamannya?”

Pertanyaan ini memicu sejumlah bayangan imajiner-kritis dalam benak saya yang menjadi mahasiswa dalam perkuliahan tersebut. Saya membayangkan ketika lingkungan tidak hanya dipandang sebagai objek semata, tetapi diakomodasi sebagai subjek dalam PUU (Peraturan Perundang-Undangan).

Memang, pembahasan mengenai lingkungan sebagai subjek hukum masih menuai sejumlah perdebatan dikalangan para ahli. Sebagian ahli berpendapat bahwa lingkungan hidup tidak dapat dikatakan sebagai subjek hukum oleh karena subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban. Hal ini mengakibatkan lingkungan pantasnya disebut sebagai objek karena kemustahilan mengemban hak dan kewajiban.

Sebagian ahli lain berpandangan bahwa lingkungan dapat mengemban hak, tetapi tidak dapat dikenai kewajiban. Apabila tidak dapat dikenai kewajiban, lantas bagaimana cara menuntut lingkungan yang tidak memenuhi kewajibannya? Tentunya hal ini mengakibatkan unsur subjek hukum menurut Sudikno Mertokusumo tidak terpenuhi.

Saya ingin berpendapat dengan pandangan enviromental etics, bahwa sejatinya lingkungan dapat dikenai hak maupun kewajiban. Bahkan, ketika manusia belum tercipta dimuka bumi, lingkungan sudah memiliki hak dan kewajiban yang lahir secara alamiah. Bagaimana wujud hak dan kewajiban tersebut?

Pada dasarnya, kewajiban dari lingkungan adalah memelihara manusia supaya mendapat penghidupan layak berupa bahan pangan, keberadaan udara, dan lain-lain. Dalam konteks yang lebih jauh, lingkungan memiliki kewajiban untuk mengurangi emisi karbon yang berujung pada usaha penyelamatan dunia dari jurang krisis iklim global. Lalu, bagaimana jika lingkungan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut? Apakah lingkungan dapat digugat atas tindakan penyimpangan dari tanggung jawab yang ada?

Tentu saja lingkungan tidak dapat digugat atas dasar penyimpangan dari tanggung jawabnya. Sebab lingkungan sendiri sudah secara alamiah memenuhi tanggung jawab tersebut. Tanpa ada perintah dari manusia, lingkungan sudah menunaikan tanggung jawabnya untuk mencukupi kehidupan manusia dan mengurangi emisi karbon. Tetapi, satu hal yang perlu diingat adalah pemenuhan tanggung jawab tersebut sangat bergantung dengan kuantitas dan kualitas dari lingkungan hidup itu sendiri.

Sebagai contoh, bagaimana lingkungan dapat menjalankan kewajiban penyelamatan dunia dari jurang krisis iklim global, sedangkan kuantitas keberadaan pohon dan kualitas pohon yang ada berada dalam tahap yang memprihatinkan? Bagaimana lingkungan dapat memenuhi kebutuhan pangan manusia, sementara lahan tempat flora bertumbuh dihiasi oleh segudang regulasi pelumas investasi negara?

Apakah lingkungan dapat bercara di peradilan negara?

Sebelum membicarakan soal hukum acara, patutlah kita berbincang terlebih dahulu soal hak-hak lingkungan hidup. Dalam sebuah kesempatan perkuliahan Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang P. Wiratraman membahas soal hak asasi manusia (human rights). Beliau menjelaskan bahwasanya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara sesuai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 H ayat 1 (satu).

Saya menilai bahwa kalimat hak ‘atas’ lingkungan hidup menunjukkan bahwa sejatinya manusia masih berupaya mendapatkan akses lingkungan hidup yang baik dan sehat dengan usaha eksploitatif didalamnya. Saya menawarkan, selain “hak atas lingkungan hidup” maka seharusnya terpenuhi dahulu “hak lingkungan hidup” nya.

Lantas, bagaimana jika lingkungan mengalami pereduksian hak yang dilakukan oleh negara? Apakah lingkungan bisa menggugat negara atas perlakuan tersebut?

Jawabannya adalah bisa, dengan menggunakan skema perwakilan. UU 32 Tahun 2009 pasal 56 menjelaskan bahwa “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Sehingga, dapat disimpulkan bahwa perjuangan atas tindakan pereduksian hak lingkungan dapat dilakukan dan orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak dapat dituntut/digugat.

Menjadi fenomenal jika kita melihat kasus Daniel Frits yang mengalami kriminalisasi karena memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat akibat usaha tambak udang ilegal di Karimunjawa, Jepara. Kasus ini menjelaskan dua hal penting. Pertama adalah hak lingkungan hidup dapat diwakilkan oleh manusia untuk beracara dalam peradilan negara. Kedua adalah pasal 56 UU 32/2009 memiliki resultan nol terkait implementasinya, karena pada praktiknya aktivis lingkungan pun dapat dijatuhi penjara oleh negara.

Romansa dan cinta, lingkungan dan manusia

Saya membayangkan dalam pikiran yang utopis bahwa betapa indahnya apabila lingkungan dapat diakomodasi sebagai subjek hukum. Hubungan yang erat dan saling menghargai menjadi dasar romansa peace and love antara manusia dan lingkungan hidup. Tentu pengakuan lingkungan sebagai subjek hukum akan menuai kontroversi dari pemikir-pemikir rezim hukum lingkungan klasik. Tetapi, saya ingin menegaskan bahwasanya lingkungan sudah memenuhi unsur subjek hukum berupa hak dan kewajiban seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Saya tahu, bahwa pengakuan lingkungan sebagai subjek hukum tidak serta-merta bisa menyelamatkan penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan hidup. Tetapi, setidaknya kita dapat menghela nafas lega sebab lingkungan yang semula hanya dipandang sebagai objek eksploitatif dapat memiliki legal standing dalam rezim hukum Indonesia.

Upaya perlindungan lingkungan harus terus digulirkan, meski kebijakan pemerintah berfokus pada upaya invenstasi developmentalism. Dalam perbincangan yang lebih jauh, saya berpendapat bahwa upaya pencerdasan publik adalah salah satu langkah untuk meningkatkan proteksi terhadap lingkungan. Memang, sekiranya hak atas lingkungan merupakan irisan terhadap hak asasi manusia. Tetapi, upaya perlindungan terhadap hak lingkungan seharusnya menjadi bahasan tersendiri dalam dunia akademik, diluar hak asasi manusia. Bukan hanya mempelajari soal hak asasi manusia (human rights), tetapi juga mempelajari hak asasi lingkungan (enviromental rights).

Semoga, etika dan moral negara dapat terjaga dalam kadar yang baik ketika memandang lingkungan hidup. Pasalnya, komisaris tinggi dewan hak asasi PBB mengatakan bahwa perubahan iklim, polusi, dan hilangnya alam menjadi tantangan hak asasi manusia terbesar di zaman kita. Saya berharap permasalahan jurang krisis iklim global dapat dihadapi sebagai ancaman bersama terhadap keberlangsungan umat manusia. Alangkah indahnya jika kita dapat hidup dengan tenang tanpa bayangan krisis iklim yang kian menghantui. Dalam bahasa yang lebih imajiner, saya memimpikan pemanfaatan lingkungan dengan penuh romansa serta cinta dari manusia yang tidak akan pernah pudar sepanjang masa!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image