Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Salsabiil Firdaus Official

Tarbiyah: Gerakan Dakwah atau Politik?

Politik | Tuesday, 16 Apr 2024, 16:32 WIB
Ilustrasi kegiatan liqo' yang dilakukan seorang Murabbi kepada Mutarabbi dalam suatu halaqah.

Tarbiyah merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Jika berbicara tentang tarbiyah, maka bayangan yang muncul di benak kita adalah sekelompok jama’ah yang identik memakai celana cingkrang bagi ikhwan dan jilbab panjang bagi akhwatnya dan melakukan pengajian yang biasa disebut liqo’. Istilah tarbiyah ini sendiri muncul sejak tahun 1980-an dan mulai eksis pada tahun 1990-an pasca reformasi. Dalam berbagai literatur berbahasa Arab, kata tarbiyah sendiri mempunyai berbagai macam makna yang intinya sama mengarah pada proses pengembangan potensi, baik berupa pendidikan maupun pembinaan yang dianugerahkan pada manusia.

Dalam salah satu taujihnya, K.H. Hilmi Aminuddin rahimahullah menjelaskan tentang tarbiyah, “Ta’lim itu tazwidul’ilm (pembekalan ilmu), dan tabligh itu tazwidul ma’lumat (pembekalan informasi). Sedangkan tarbiyah merupakan tashihul aqidah, tashihul fikrah, tashihul akhlaq, dan tashihul ‘ibadah. Sehingga bobot taujih (arah)-nya harus sangat menyentuh mafatihul ‘uqul, mafatihul qulub, wa mafatihun nufs. Harus membuka kunci-kunci jiwa, hati, dan akal manusia. Tarbiyah harus lebih menggugah, lebih berkesan, dan lebih membangkitkan. Sebab tarbiyah bukan talqinul ‘ulum (penyampaian berbagai ilmu)”.

Jika ditinjau dari segi bahasa, tarbiyah berasal dari tiga kata, yaitu raba-yarbu yang berarti bertambah dan tumbuh, rabba-rabiya-yarba yang berarti tumbuh berkembang dan menjadi besar, rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara. Dalam tarbiyah ada upaya ziyadah (penambahan atau pembekalan), nas’ah (pertumbuhan), taghdiyyah (pemberian gizi), ri'ayah (pemeliharaan), dan muhafadzah (penjagaan).

Sejarah Perkembangan Gerakan Tarbiyah

Gerakan tarbiyah ini sendiri berangkat dari pemikiran Syaikh Imam asy-Syahid Hasan al-Banna dalam memahami dan memaknai Islam yang kaffah sebagai tawaran alternatif terhadap persoalan yang melanda umat Islam ketika itu, terutama di wilayah Mesir. Tampaknya Imam asy-Syahid Hasan al-Banna cukup jeli dalam persoalan umat, paling tidak menurut pandangannya bahwa di kalangan umat Islam telah terjadi penyelewengan pemahaman terhadap Islam sebagai hasil penerawangan dan keterlibatan dalam berdakwah.

Berangkat dari pemahaman tersebut, di satu sisi dan komitmen Imam asy-Syahid Hasan al-Banna untuk mengaktualisasi ajaran Islam dan aktivitas nyata dengan membangun komunitas masyarakat Islami. Terbentuknya masyarakat ini sebagai pra-syarat untuk dapat diamalkan ajaran-ajaran Islam secara utuh dan intens. Adapun ide dan gerakan Imam asy-Syahid Hasan al-Banna meliputi bidang dakwah, pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial. Tampilnya Imam asy-Syahid Hasan al-Banna dalam sejarah Mesir tidak dapat dilepas dari konteks sosial politik yang melanda Mesir pada saat itu, ia merenspon kondisi tersebut dengan ide dan gerakannya yang tak kalah gencarnya dibandingkan dengan ide pembaharuan dalam Islam melalui gerakan organisasi yang didirikannya yaitu Ikhwanul Muslimin.

Ikhwanul Muslimin didirikan sebagai suatu organisasi pergerakan Islam oleh Syaikh Imam asy-Syahid Hasan al-Banna di Ismailiyyah, Mesir pada bulan Maret 1928. Organisasi ini oleh pendirinya dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran beragama bagi bangsa Mesir. Ketika itu, ia ingin membangun kehidupan sosial yang sesuai dengan ajaran Islam yang menumbuhkan daya juang agar terbebas dari penjajahan Inggris. Pada awal berdirinya, Ikhwanul Muslimin adalah gerakan dakwah yang ditujukan bagi lapisan masyarakat paling bawah, dengan sebagian besar pendukung yang terdiri atas kaum buruh di Terusan Suez. Seanjutnya pandangan Ikhwanul Muslimin dalam bidang sosial dan ekonomi dan dijumpai dari pemikiran yang dikemukakan tokoh-tokohnya seperti Syaikh Sayyid Quthb, Syaikh Musthafa as-Siba’i dan Syaikh Yusuf al-Qardawi.

Ciri metode dakwah yang dijalankan oleh Ikhwanul Muslimin adalah profesional, terencana dan totalisme. Dengan demikian, dakwah yang dijalankan Imam asy-Syahid Hasan al-Banna tidak bersifat insidentiil, tetapi ia terprogram dengan materi-materi dan tahapan-tahapan tertentu. Dalam menuju tercapainya tujuan yang dijalankannya ajaran-ajaran Islam secara kaffah oleh pemeluknya, maka dakwah yang digelarnya dilaksanakan se-efektif dan se-efisien mungkin. Dakwah sebagai sarana, menurut Imam asy-Syahid Hasan al-Banna perlu dilakukan secara bertahap yaitu dengan tiga tahap. Tahap pertama adalah propaganda, pengenalan dan penyebaran ide, tahapan kedua adalah pembentukan, seleksi dan pendukung, lalu tahapan yang ketiga adalah pelaksanaan dan kerja nyata. Tahapan-tahapan ini mengindikasikan profesionalisme dakwah yang dijalankan oleh Ikhwanul Muslimin.

Adapun nasionalisme, menurut Imam asy-Syahid Hasan al-Banna, harus didasarkan pada jiwa kebangsaan dan ikatan aqidah Islam, pelestarian tradisi dan budaya lama yang baik, yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan pemberian kehormatan serta penghargaan terhadap seseorang karena jasanya. Dengan demikian, nasionalismenya masih dalam kerangka Islam dan tidak keluar dari Islam, serta tidak membawa kepada munculnya konflik antar golongan atau partai dan tidak melestarikan tradisi-tradisi yang merusak aqidah serta nilai-nilai Islam (jahiliyyah).

Dari uraian tersebut, terlihat dengan jelas bahwa konsep pemikiran Ikhwanul Muslimin sejalan dengan visi dan orientalisasi perjuangannya, yaitu membebaskan masyarakat dari keterbelakangan baik dalam kehidupan beragama, ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan, maupun kebudayaan. Dengan demikian, Ikhwanul Muslimin menempatkan pendidikan sebagai alat untuk meningkatkan kader dan martabat umat Islam khususnya yang berada di Mesir pada saat itu. Untuk mencapai visi misi tersebut, Ikhwanul Muslimin telah menggunakan semua jenis metode dan model pengkaderan dan pendidikan. Termasuk metode-metode yang dipandang efektif dan berdaya guna dalam menerapkan pendidikan pada anggotanya dan untuk mewujudkan visi dan misinya tersebut. Seluruh kegiatan Ikhwanul Muslimin itu dapat terlihat didasarkan pada ajaran yang terdapat pada Al-Qur’an dan praktek kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya.

Dari upaya proses pengkaderan dan tarbiyah Ikhwanul Muslimin terdapat peluang-peluang, sehingga program yang dicanangkan dapat berjalan lancar. Diantara peluang tersebut adalah petama, tarbiyah merupakan salah satu jalan untuk mengubah masyarakat, membentuk pemimpin dan merupakan jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad Saw. untuk membentuk generasi teladan yang diridhai oleh Allah Swt. Kedua adalah, adanya rencana dan strategi proses tarbiyah yang terstruktur, langkah yang jelas, bersifat praktis, sumber yang terang, ukhuwah yang saling mendukung, didasari oleh ilmu pengetahuan, dikung oleh sarana dan prasarana yang memadai dan ditegakkan atas falsafah yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits sehingga sesuai dengan ajaran Islam.

Berangkat dari pemikiran Imam asy-Syahid Hasan al-Banna melalui organisasi Ikhwanul Muslimin, gerakan dakwah ini masuk dan mulai berkembang di Indonesia melalui lingkungan kampus yang pada awalnya dipelopori oleh Mohammad Natsir bersama dengan tokoh-tokoh Islam lainnya dengan berdirinya Dewan Da’wah Islam Indonesia (DDII) pada tahun 1967. Penetrasi DDII ke kampus-kampus perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) inilah yang melahirkan Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Melalui LDK, gerakan tarbiyah ini tumbuh subur di lingkungan kampus di Indonesia. Gerakan ini memiliki tujuan untuk membawa semangat perubahan dan persatuan Islam bagi kemajuan bangsa dan negara. Berbekal buku-buku karya asy-Syaikh Imam asy-Syahid Hasan al-Banna, para mahasiswa yang menamai dirinya sebagai aktivis atau kader dakwah mulai melebarkan aktivitas dakwahnya.

Mulai dari pertemuan mingguan yang diisi dengan pengajian dan pembekalan ruh-ruh dakwah, yang biasa disebut dengan liqo’. Para mahasiswa aktivis atau kader dakwah juga melebarkan sayap dakwahnya dengan membentuk organisasi dakwah ekstra kampus yang kemudian dinamakan dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Melalui organisasi KAMMI, para aktivis dan kader dakwah mulai bergerak di bidang sosial dan politik. Karena pada hakikatnya, tahapan dakwah yang tertinggi adalah tahapan dakwah dalam bernegara untuk mewujudkan Indonesia yang menjunjung tinggi syariat dan ajaran Islam. Oleh karena itu, para mahasiswa yang disebut aktivis atau kader dakwah ini mulai merundingkan bagaimana caranya agar dakwah ini dapat berkembang dan dapat dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat, khususnya dalam membenahi birokrasi dan pemerintahan di Indonesia yang pada saat itu berada di bawah kepemimpinan orde baru.

Dalam perjalanannya, para aktivis dan kader dakwah yang juga tokoh KAMMI pun ikut melancarkan aksi-aksi menyuarakan reformasi dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintahan saat itu yang terkesan tidak pro rakyat. Akhirnya aksi-aksi para mahasiswa aktivis dan kader dakwah ini pun mendapat respon positif dan menarik simpati dari rakyat Indonesia, khususnya masyarakat kelas bawah dan menengah yang terkena dampak krisis ekonomi pada masa itu. KAMMI muncul sebagai salah satu organisasi yang paling vokal menyuarakan tuntutan reformasi melawan rezim Soeharto. Sejurus setelah mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998, para tokoh KAMMI telah mempertimbangkan berdirinya sebuah partai Islam. Partai tersebut kemudian diberi nama Partai Keadilan (disingkat PK) yang kemudian berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tetap eksis hingga sekarang. Kendati tokoh elit KAMMI memiliki kontribusi dalam pembentukan PKS, KAMMI dan PKS secara tegas menyatakan bahwa tidak memiliki hubungan formal.

Tarbiyah sebagai Gerakan Dakwah dan Politik

Tarbiyah yang kita kenal adalah pertemuan pekanan yang dilakukan oleh sekelompok ikhwah/akhwat di bawah bimbingan seorang murabbi’ guna mengkaji kajian-kajian dinul Islam. Satu hal yang senantiasa menyertai tarbiyah adalah unsur tadriij atau proses yang berkelanjutan secara bertahap sedikit demi sedikit. Kalau kita meminjam istilah sistem pendidikan yang ada sekarang, tarbiyah temasuk sistem pendidikan non formal yang memiliki kurikulum dan tingkatan-tingkatan atau yang disebut marhaliyyah. Tujuan dakwah umum dan tarbiyah ini sama yakni agar orang mau memahami dan mengamalkan Islam.

Hakikat dakwah Islam itu sendiri adalah aktivitas yang terstruktur dan terorganisir untuk mentransformasikan individu dan masyarakat dari kehidupan jahiliyyah menuju ke arah kehidupan yang mencerminkan spirit dari ajaran Islam. Proses transformasi individu yakni pembentukan pribadi muslim sejati (syakhsiyah islamiyyah) dilakukan dalam kerangka transformasi sosial. Oleh karena itu, pribadi-pribadi muslim sejati bukan tujuan akhir. Pribadi-pribadi itu harus memperkaya kualitas dirinya untuk mengemban amanah dakwah (syakhsiyah da’iyah), sehingga mampu berperan aktif dalam transformasi sosial.

Dalam tingkatannya, dakwah terbagi menjadi beberapa tahapan atau tingkatan (mahawir). Dan akumulasi dari setiap tahapan itu adalah ustadziyatul ‘alam (guru dunia). Guru dalam konteks, orang yang memberikan contoh kepada seluruh masyarakat dunia. Tingkatan atau tahapan (mahawir) dalam gerakan dakwah yaitu:

a. Mihwar Tanzhimi, dalam tahapan ini seorang aktivis atau kader dakwah dituntut untuk menjadi pribadi muslim yang sejati, yang sesuai dengan ajaran Islam yang dan memenuhi kriteria yang sesuai dengan 10 Muwashafat. Sehingga dengan tahapan awal dalam gerakan dakwah ini diharapkan seorang aktivis dakwah dapat menjadi contoh dan teladan dalam kehidupan bermasyarakat. Setelah dapat membentuk pribadi muslim yang sejati, seorang aktivis dakwah juga diharapkan dapat membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, sehingga dapat menjadi contoh keluarga islami yang sesuai dengan apa yang dicontohkan dalam Al-Qur’an. Metode dakwah ini dikenal dengan metode bil hikmah, yaitu dengan memberikan contoh dan teladan yang sesuai dengan ajaran Islam, sehingga masyarakat dapat tertarik pada ajaran Islam dan dapat mencerminkan citra ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

b. Mihwar Sya’bi, dalam tahapan ini seorang aktivis atau kader dakwah dituntut memilik ijiwa sosial yang tinggi sehingga dapat mengimplementasikan pengetahuannya dalam kehidupan bermasyarakat dengan turut aktif dalam kegiatan sosial, hingga aktif dalam organisasi kemasyarakatan mulai dari lingkungan RT, RW, hingga desa atau kompleks perumahan. Sehingga dapat membawa manfaat dan menyampaikan ajaran Islam serta dapat membawa semangat perubahan di tengah masyarakat.

c. Mihwar Muassasi, dalam tahapan ini seorang aktivis atau kader dakwah dituntut untuk menguatkan internal institusi dan lembaga, sebelum berdakwah untuk jangkauan yang lebih luas. Biasanya tahap ini dinisbatkan kepada institusi atau lembaga tempat dimana aktivis atau kader dakwah itu bekerja. Jika ukhuwah antar ikhwah di institusi atau lembaga sudah terbangun, maka kita bisa berinisiatif mengambil sektor-sektor penting untuk mendukung kegiatan dakwah. Kegiatan seperti mengaktifkan mushala atau masjid di perusahaan, membangun nuansa dakwah di tempat kerja, hingga menunjukkan ahlaqul karimah di tempat kita bekerja.

d. Mihwar Daulah, dalam tahapan ini seorang aktivis atau kader dakwah tertentu yang telah menduduki jabatan publik yang strategis dan pejabat pemerintahan yang berada di legislatif, eksekutif dan yudikatif di amanahkan untuk menjalankan tahapan dakwah ini. Karena perlu ada konsolidasi dan koordinator agar lebih mudah terintegrasi, maka tahapan dakwah ini diperlukan adanya kendaraan yang dapat menggapai tahapan dakwah ini berupa partai politik. Oleh karena itu di kemudian hari, para aktivis dan kader dakwah sepakat untuk membentuk partai politik agar dapat menguatkan dan memiliki koneksi dan skala yang besar dan luas bagi kemajuan gerakan dakwah.

Adapun akumulasi dari keempat tahapan (mahawir) dakwah ini adalah tercapainya ustadziyatul ‘alam (guru peradaban). Keteladanan untuk masyarakat di seluruh dunia, yang berperan besar dalam perealisasian kebangkitan umat Islam. Ustadziyatul ‘alam ini juga dekat maknanya dengan kepemimpinan. Dan semua hal itu dapat tercapai jika tahapan-tahapan (mahawir) dakwah ini dapat dilewati dan diselesaikan dengan baik. Sehingga ustadziyatul ‘alam yang tercipta nanti adalah kepemimpinan yang adil dan sejahtera. Dan hal ini dapat di bangun, dengan cara mempersiapkan aktivis atau kader dakwah muda yang unggul dan memiliki jiwa sosial yang tinggi.

Dalam organisasi dakwah, salah satu karakter aktivis atau kader dakwah yang selalu dibangun dan ditumbuhkan adalah kebersamaan dalam ‘amal jama’i atau kerja kolektif dan memiliki rasa solidaritas serta kebersamaan yang tinggi. Ada qiyadah dakwah yang memberikan arahan, instruksi, mengkoordinasikan serta mengkonsolidasikan ‘amal jama’i agar bisa berjalan lurus dan efektif. Ada aktivis atau kader dakwah yang bekerja di bidang tugas masing-masing sesuai arahan dan pembagian tugas dari qiyadah atau arahan dan keputusan dari Dewan Majelis Syura’ serta penataan organisasi.

Kendati ada instruksi qiyadah dan ketaatan aktivis atau kader dakwah, namun Al-Qur’an telah menerangkan betapa pentingnya kejelasan dalam segala sesuatu. Penting bagi organisasi dakwah untuk membudayakan sikap kritis dan membiasakan munculnya hujjah atau argumen di kalangan aktivis atau kader dakwah agar melaksanakan tugas selalu berdasarkan ilmu pengetahuan dan kejelasan. Bukan melaksanakan tugas dakwah semata-mata karena ketaatan yang tidak dilandasi oleh ilmu pengetahuan, pemahaman dan kejelasan. Allah Swt. telah berfirman tentang kisah Nabi Ibrahim as. yang bersifat kritis dan berani menampilkan hujjah untuk mendapatkan kejelasan dalam berbuat dan beramal.

Dakwah juga bukan indoktrinasi, namun penyadaran. Demikianlah salah satu kaidah dalam dakwah. Oleh karena bukan proses indoktrinasi, maka para aktivis atau kader dakwah harus menjadi cerdas dan memiliki hujjah (argumen atau pandangan) yang kuat untuk bekal dalam melaksanakan dakwah di tengah-tengah masyarakat. Dakwah akan lebih mudah diterima dan dicerna apabila disertai dengan argumen yang kuat. Oleh karena itu gerakan dakwah yang dibawa oleh Imam asy-Syahid Hasan al-Banna ini dikenal dengan gerakan tarbiyah.

Tarbiyah yang kita kenal adalah pertemuan pekanan yang dilakukan oleh sekelompok ikhwah/akhwat di bawah bimbingan seorang murabbi’ guna mengkaji kajian-kajian dinul Islam. Satu hal yang senantiasa menyertai tarbiyah adalah unsur tadriij atau proses yang berkelanjutan secara bertahap sedikit demi sedikit. Kalau kita meminjam istilah sistem pendidikan yang ada sekarang, tarbiyah temasuk sistem pendidikan non formal yang memiliki kurikulum dan tingkatan-tingkatan atau yang disebut marhaliyyah. Tujuan dakwah umum dan tarbiyah ini sama yakni agar orang mau memahami dan mengamalkan Islam.

Dalam tingkatan tertinggi dalam dakwah yakni mihwar dauly, dakwah Islam ini bukanlah hanya sebatas simbol keagamaan yang identik dengan seorang ustadz yang berdiri di mimbar saja, tetapi dakwah Islam yang tertinggi ialah bagaimana mengaplikasikan dakwah dan syiar Islam ini melalui media kekuasaan dan pemerintahan. Sehingga dengan otoritas kekuasaan dan pemerintahan ini, dakwah dan syiar Islam lebih dirasakan manfaatnya, bukan hanya bagi umat Islam tetapi bagi seluruh umat manusia. Sehingga istilah Islam Rahmatan lil ‘Alamiin ini dapat terwujud dan terlaksana dengan baik.

Karena dengan adanya dakwah melalui media kekuasaan baik di pemerintahan eksekutif maupun legislatif, dakwah Islam akan lebih mudah tersampaikan dengan baik melalui program-program dan keputusan yang dibuat oleh pemerintah tersebut, baik itu dalam bentuk amar ma’ruf maupun dalam bentuk nahi munkar. Sehingga terbentuklah negara Indonesia yang islami dengan predikat baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Wallahu a’lam bish-shawwab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image