Kita Tidak Sedang Berselingkuh Kan?
Sastra | 2022-01-16 11:15:23Kenangan ini hanya akan mengiris-iris hatimu, begitu katamu. Pada yang terjadi hari ini, Tuhan hanya mentakdirkan kita bertemu, titik! Jangan berharap lebih, kita hanya akan didera kesakitan berkepanjangan.
"Cukuplah dengan kita berkesempatan berjumpa, saling menyapa, dan berbagi cerita tentang keluarga kecil kita masing-masing. Sesekali ceritakanlah tentang gambaran masa depan yang kau impikan, dan pasti kuceritakan pula ingin dan anganku. Bukankah itu sudah cukup membahagiakan?," begitu sergahmu, seolah ingin menyergap pendapatku.
***
Kau datang tiba-tiba, di saat aku nyaris frustasi mencari jejakmu yang menguap begitu saja. Anehnya kau justru bertanya, apakah aku bahagia kembali berjumpa denganmu. Agh, pertanyaan aneh yang spontan kurespon dengan tawa yang dipaksakan.
"Kau tahu, aku telah mencarimu lebih dari satu dasawarsa. Hampir saja aku mengangkat bendera putih; I give up to try it more. Entah apakah aku sedang berkhusnudzan atau justru suudzan, karena menganggap semesta tak mendukung impianku menemukanmu"
Tetapi kesimpulanku ternyata keliru. Benar kata orang bijak, tidak ada ikhtiar yang sia-sia, Tuhan menjawabnya di waktu yang tepat. Finally, I found you. Mungkin tepatnya kamu yang menemukanku. Meski hanya melalui media sosial, aku meyakini sapamu tak sekadar artifisial. Ini sudah cukup membayar lelah-gundahku mencarimu.
Dan hari ini, Tuhan kembali menghadiahiku sebuah kejutan spesial. Aku yang sebetulnya tidak ngoyo untuk bertemu fisik dengan Sari, justru diperjumpakan dengan tiba-tiba lagi. Ia mengizinkanku berada dalam satu gerbong yang sama: kereta yang membawa kita ke Kota Tua, Batavia.
"Aneh ya, dulu kita dipertemukan di ruang perpustakaan, dipisahkan di jalanan, dan setelah hampir 15 tahun kita dipertemukan di gerbong kereta. Entah apa makna yang hendak Tuhan benamkan ke hati kita. Yang pasti aku sangat bahagia"
Kereta berhenti di stasiun ujung Jakarta. Kamu bergegas bangkit dan turun lebih dulu. Aku mempercepat langkah hingga kita berjalan sejajar. Saat itulah tanganku reflek memegang pundakmu, tapi secepat kilat tanganmu menepisnya. Tepisan tangannya serta merta menginsafkanku. Meski tanpa sepatah katapun darimu, aku mafhum: kita bukanlah sepasang kekasih seperti 15 tahun silam.
"Aku tahu, kita telah memiliki dunia kita masing-masing yang mungkin harus kita jaga dengan komitmen dan tanggung jawab. Tapi tidak bolehkah aku sekadar mengusap kepalamu yang telah dilapisi kerudung merah marunmu"
Kamu asyik memainkan gadget, seolah tak terusik dengan ucapanaku. "Sudahlah, don't expect more! Itu hanya akan mengembalikan kita pada labirin masa lalu".
***
"Aku tak ingin istrimu menganggapku sedang menggodamu, menuntutmu untuk memperlakukanku seperti di masa lalu. Aku juga harus menjaga perasaan suamiku, seperti halnya kamu yang juga ingin menjaga hati istrimu kan?"
Wah, aku sedang tidak mengajakmu menyemikan kisah lama kita. Justru aku sedang ingin menghargai kamu di masa kini. "Ini bukan cinta yang bersemi kembali. Mungkin lebih tepatnya suistinable love, hahaha ".
"Whats?! Cinta yang bersambung? Kebanyakan nonton serial drakor kamu Bee"
"Kamu sedang mengajakku selingkuh, Bee? Emang kamu berani?!," sambungmu, kali ini sambil tersenyum. Aku tahu, itu artinya aku dilarang menganggapnya serius.
"Aku merasa kita butuh ruang untuk saling mengkomunikasikan perasaan kita, bagaimana mengekspresikan antar kita tanpa harus terjebak dengan cinta yang amor dan banal,"
"Emang ada ya Bee, ruang yang begitu itu?"
"Ada dong. Seperti hari ini, kita jalan bareng, berada di gerbong kereta yang sama, saling bicara dan tertawa. Kadang saling mengharu biru. Tetapi coba bayangin lagi deh, bahkan tubuh kita tidak saling bersentuhan, kita duduk juga berjarak. Tapi anehnya kita bahagia kan?"
"Wah, bener juga ya Bee. Terus, kalau ini bukan selingkuh, apa dong namanya?"
Aku tahu, kau masih galau menyimpulkan situasi. Yang kau butuhkan adalah rasionalisasi, sebuah konsep rasional dari hubungan ini. Terang saja, manusia selalu butuh rasionalisasi atas tindakannya, paling tidak untuk mengurangi beban moral, bukan?
"Kamu inget gak Sar, ungkapan "The Other World is Possible"?"
"Yes I do. Whay? What do you want to say?,"
"Apa yang kita alami dan lakukan saat ini, it's meant the other world. Let's we create it!"
Kamu terdiam lama. Mungkin sedang sekuat tenaga mencerna atau malah mencari makna untuk dirimu sendiri. Ya, seperti kata Max Weber, bukankah tindakan sosial manusia haruslah bermakna? Bahkan makna yang aku dan kamu temukan mungkin tidaklah sama.
Kamu mendadak menghela nafas dengan keras, seolah baru saja melepaskan beban yang menghimpit dadamu. "Oke Bee, aku suka dan setuju, The other world is possible. Aku memaknainya sebagai ruang publik kita berdua, dunia lain kita yang tak boleh seorang pun masuk. Entah suamiku, pun istrimu. Tetapi aku perlu menegaskan lagi Bee, kita tidak sedang berselingkuh kan?! []
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.