Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Firman Maulana

Pro Kontra Permendikbudristek No 30 tahun 2021

Curhat | Sunday, 16 Jan 2022, 09:24 WIB

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi ramai ditanggapi oleh sejumlah kalangan. Mulai dari kalangan mahasiswa, akademisi maupun kalangan aktivis lainya.

Dalam permsalahan saat ini nampaknya belum ada peraturan yang memiliki aspek pencegahan dan penanganan yang berpihak pada korban. bahkan sangat spesifik ada pasal yang menyebutkan bahwa definisi kekerasan seksual itu adalah ketiadaan consent atau ketiadaan persetujuan dari kedua belah pihak.

Diberitakan Kompas.com, Kamis (11/11/2021), Permendikbud Ristek ini dinilai sangat progresif dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban, salah satunya karena mengatur soal consent atau persetujuan.

Hal ini tentu saja masih menyangkut perasaan korban karena dengan adanya frasa persetujuan itu malah membuat korban menjadi tidak memiliki harga diri, atau semakin rusaknya tatanan peraturan di indonesia.

Berbagai belah pihak saling memberikan pendapat dan terus berdebat untuk memenangkan argumen masing-masing jika kondisi ini terus dilanjutkan hal ini akan berpotensi hilangnya toleransi antar sesama warga negara. dalam menyikapi perbedaan pandangan perlu adanya solusi yang dapat menyelesaikan perdebatan permen ini.

Lantas pemerintah harus bisa mengakomodir tuntutan masing-masing pihak dan lebih objektif untuk menjaga budaya musyawarah mufakat yang di anut oleh bangsa Indonesia, dan untuk menjaga iklim demokrasi yang sehat di Indonesia.

Sebagai mahasiswa yang seringkali melihat inkonsistensi pemerintah membuat kebijakan kemudian mencabut dan mengesahkan tiba-tiba, rasanya bukan rumit lagi seharusnya pemerintah untuk menghentikan polemik permen ini, dengan merevisi dan mempertimbangkan kembali masukan dari berbagai pihak.

Aksi dari Forum Mahasiswa Muslim Peduli Bangsa Malang Raya, Khotibul Imam mengatakan, pihaknya menyerukan penolakan lantaran terdapat pasal dinilai tak jelas. "Sebenarnya maksud pak menteri itu bagus, cuman dalam tatanan itu ada yang liberal, seperti di pasal lima, di situ tidak jelas soal frasanya," seperti yang di lansir pada suaramalang.id

Adapun poin – point tersebut yang tidak sesuai dengan syariat Islam yakni poin, jika dua belah pihak tanpa persetujuan untuk melakukan hubungan seksual, maka bisa dihukum. tidak bisa di pungkiri jika ke khawatiran mahasiswa terhadap frasa seperti itu sudah dipahami orang-orang bahwa tanpa persetujuan tidak boleh.

Namun jika suka sama suka akan terjadi perzinahan itu tapi diperbolehkan (kalau berdasarkan peraturan yang baru). Dengan frasa yang bisa dikatakan ambigu inilah yang menjadi suatu polemik yang berkepanjagan tidak ada usainya.

Pemerintah sudah seyogyanya lebih peka lagi terhadap permasalahn seksual dikalangan akademisi ini, dengan peraturan yang titik fokusnya atau consentnya harus sudah bisa di jadikan sebuah titik tengah bagi untuk polemik ini.

Dalam hal ini menanggapi Permendikbudristek Nomor 30, Muhammadiyah memang sepakat dengan tujuan pemerintah melawan aksi kekerasan seksual. Namun, Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk memperbaikinya.

Menurut saya Dalam Pasal 5 ayat (2) ada frasa "tanpa persetujuan korban" yang mengandung makna bahwa kegiatan seksual dapat dibenarkan apabila ada "persetujuan korban (consent)". Atau dengan kata lain, Permendikbud Nomor 30 mengandung unsur legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Yang mana farasa ini malah memiliki satu consent kecacatan.

Dalam Konteks relasi seksual yang tidak Islami (di luar pernikahan) apapun bentuknya itu tidak kemudian begitu ada persetujuan korban menjadi benar. Tetap tidak benar. Yaitu faktor materiil terpenting yang seharusnya perlu adanya diskusi yang intensif untuk menolak Permen ini

Pasal 5 ayat (2) Permendikbudristek Nomor 30 juga menjelaskan mengenai cakupan-cakupan apa saja yang tergolong tindakan kekerasan seksual. Sebagai contoh saja pada Pasal 5 ayat (2) poin pertama, menyebut kekerasan seksual meliputi tindakan yang dilakukan secara fisik meliputi: menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban.

Alasan lain menolak Permendikbud Nomor 30, karena cacat formil. Kecacatan itu antara lain tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya sebagaimana diatur oleh Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Permendikbudristek Nomor 30 juga dinilai sebagai hanya mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi dengan dibentuknya Satgas. dengan adanya satgas ini dapat mencederai spirit undang-undang perguruan tinggi, bahwa adanya otonomi kampus, yaitu rektor dan wakil rektor yang seharusnya sudah menjadi pusat peraturan dalam sebuah lingkungan perguruan tinngi.

Merujuk pada pandangan pihak pro dan kontra antara kedua belah pihak memiliki spirit yang sama untuk pencegahan pendampingan dan keadilan untuk para korban, namnu sayangnya spirit yang sama yang dimiliki oleh masing-masing pihak tersebut, sehingga hal ini menyebabkan polarisasi di tengah masyarakat.

Pendidikan adalah pagar terakhir untuk menjaga moralitas bangsa dari ancaman masuknya paham-paham asing yang tidak sesuai dengan falsafah hidup bangsa yang berpotensi menjadi ancaman serius terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebuah regulasi sejatinya tidak hanya untuk membuat ketertiban melainkan akan dijadikan sebuah norma yang akan berlaku di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga penting untuk terus menyelaraskan segala regulasi yang ada dengan keluhuran dari falsafah hidup bangsa yang erat kaitannya dengan nilai-nilai agama dan budaya.

Dengan saran menarik dan mempertimbangkan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan dan teknologi Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Kemudian merevisi kembali pasal-pasal multitafsir yang menyebabkan sehingga memperlambat terbentuknya sebuah regulasi yang paripurna dan mempersiapkan ruang-ruang diskusi untuk berbagai pihak agar terciptanya solusi yang konkrit sesuai dengan apa yang diharapkan berbagai pihak.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image