Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Anja Faiz

Mengatasi Diskriminasi Berbasis Agama: Mengutamakan Toleransi

Agama | Sunday, 07 Apr 2024, 08:10 WIB
Ig:hak_asasimanusia

Diskriminasi merupakan sikap atau perbuatan tidak adil terhadap pihak tertentu berdasarkan karakteristik tertentu. Menurut Windar (2022: 99) diskriminasi merupakan suatu perilaku yang sangat tidak adil dan tidak serata dengan yang dilakukan dalam membedakan individu atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal atau khusus seperti, ras , suku, kelas- kelas sosial bahkan agama. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa diskriminasi ini muncul karena beberapa faktor seperti adanya perbedaan. Perbedaan tersebut seperti perbedaan dalam ras, agama, bahasa, dan kebudayaan.

Diskriminasi ini bisa menimbulkan suatu konfik dalam masyarakat karena diskriminasi ini muncul karena beberapa prasangka dari individu. Prasangka tersebut berawal dari hal yang kecil dan dengan berjalannya waktu bisa menjadi besar sehingga diskriminasi tersebut bisa terjadi. Tentunya diskriminasi ini merupakan sikap yang bernilai negatif sehingga perlu dihilangkan dan diatasi.

Diskriminasi berbasis agama adalah perlakuan tidak adil terhadap orang lain dengan mengatasnamakan agama atau menyangkut perihal tentang agama atau keyakinan. Dalam ajaran agama Islam juga dilarang bagi umatnya untuk berperilaku diskriminasi karena hal ini berakibat negatif kepada manusia baik secara pribadi, keluarga, dan masyarakat. Contoh diskriminasi dalam bidang agama yaitu seperti tidak berteman dengan orang yang agamanya minim, memaksa orang lain untuk masuk ke agamanya, membatasi kegiatan ibadah umat lain, dan lain-lain.

Dengan adanya hal tersebut, kita perlu untuk mengurangi atau menghilangkan sikap-sikap diskriminasi yaitu dengan mempromosikan atau mengenalkan toleransi (sikap saling menghargai) kepada orang lain, saling menghormati , menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan lain-lain. Jika diskriminasi dibiarkan maka penggunaan hak asasi manusia bisa menjadi punah dan kebebasan diatas normal akan terjadi dimana-mana.

Pada tahun 2019 kemarin sempat terjadi kasus di Dusun Karet, Kecamatan Pleret, Kabupanten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kasus tersebut menurut saya termasuk kategori diskriminasi terhadap umat agama lain. Dalam peristiwa ini, pihak yang didiskriminasi yaitu bernama Slamet Jumiarto. Dia merupakan seorang seniman lukis yang beragama Katholik. Pak Slamet tersebut ingin tinggal di Dusun Karet. Akan tetapi, setelah dia izin ke pihak RT 08 hasilnya adalah ditolak karena warga setempat tersebut sudah sepakat untuk tidak memperbolehkan umat non-muslim tinggal disitu. Karena ditolak sama Pak RT, Pak Slamet pun mencoba untuk izin ke lurah atau ketua kampung. Akan tetapi, hasilnya pun sama bahwa Pak Slamet tidak boleh tinggal disitu. Setelah itu, Pak Slamet melaporkan kejadian tersebut ke sekretaris Sultan Hamengkubuwono X dan diteruskan ke Sekda DIY sehingga bisa disampaikan ke Pemda Bantul.

Kemudian, mediasi pun dimulai dan melibatkan banyak aparat dan warga sehingga keputusan warga menjadi berubah dan Pak Slamet bisa tinggal di tempat tersebut dan masyarakat melindungi. Setelah kejadian tersebut, warga mengaku menyesal dengan peraturan yang dibuat karena unsur SARA-nya sangat jelas. Pak Slamet pun juga masih akan musyawarah dahulu dengan keluarganya untuk tetap tinggal disitu atau pindah. Selain itu, ia juga berharap kepada semua pihak agar kejadian ini bisa dijadikan pembelajaran dan tidak terjadi di desa-desa lain.

Menurut saya, peraturan lokal yang dibuat dan disepakati oleh warga tersebut sudah bisa dikatakan diskriminasi dan melanggar prinsip kebebasan beragama. Karena kebebasan atau hak beragama itu sudah diakui dalam pasal 18 Deklarasi Universal HAM PBB yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dimuka umum maupun sendiri.”

Memang di Pleret tersebut sebelumnya sudah 100 persen semua wargannya itu merupakan orang muslim dan mereka tidak nyaman jika terdapat orang yang non-muslim tinggal disitu. Karena mereka menganggap bahwa orang yang non-muslim tersebut akan mengakibatkan gangguan disitu. Selain itu, Warga Pleret pemahaman tentang toleransi itu masih rendah dan menganggap toleransi dengan umat lain itu sebatas tidak menyerang pihak lain. Peristiwa ini tentunya sudah jelas melanggar aturan dalam HAM. Selain itu, hal ini juga bisa membuat Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi kacau dan bisa mengakibatkan perpecahan. Oleh karena itu, Pemkab Bantul dan DIY akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap praktek intoleran masyarakat sehingga bisa mendapatkan solusi yang tepat untuk jangka panjang kedepan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image