Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image sucahyo adi swasono@PTS_team

Hikmat Kebijaksanaan: Membaca Diri Sendiri

Eduaksi | Thursday, 04 Apr 2024, 22:35 WIB
dokpri.com

Esensi substansial dari ajaran Tuhan adalah tentang dan berkisar pada nilai-nilai kebajikan universal yang kesemuanya mengarah kepada kehidupan manusia seumumnya. Dalam artian, tanpa memandang manusia itu dari suku apa, agama apa, ras apa, dan dari golongan apa. Itulah yang dinamakan sebagai berlaku secara universal.

Manakala manusia memaknai kehidupannya yang dikaitkan dengan ajaran Tuhan, maka biasanya selalu dihubungkan dengan kitab suci-kitab suci yang diyakini sebagai kodifikasi dari ajaran Tuhan. Sebut saja salah satu dari sekian kitab suci yang ada adalah Al-Qur'an.

Pertanyaannya adalah, "Apa sesungguhnya hakikat makna Al-Qur'an? Apa esesnsial dari Al-Qur'an itu sendiri?" Hal ini tentunya akan menggiring kita untuk mengulik lebih dalam, dan bukan sekedar mengagung-agungkan sebagai kitab suci belaka, atau hanya sebagai hafalan dan dikeramatkan saja tanpa harus menyelami esesnsinya secara mendalam.

Bukankah Nabi Muhammad dalam sejarahnya tidak menerima kitab atau buku dari Allah? Dan yang perlu disadari juga bahwa Al-Qur'an sebagai kitab suci itu dibukukan setelah 50 tahun setelah wafatnya Muhammad. Kalaupun saat ini kita tahu tentang Al-Qur'an yang terdiri dari 30 Juz, 114 Surat, 6236 Ayat, dari Al-Fatihah hingga An-Nas, jangan-jangan kita hanya baru mengetahui Al-Qur'an dalam bentuk sebagai kitab?

Nah, Al-Qur'an yang sejati itu seperti apa, ya? Sebab, kita sudah seharusnya menyadari bahwa betapa pentingnya kita membuka Al-Qur'an yang sejati tersebut sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia yang universal.

Sebagaimana di dalam QS Aljasiyah 45:20, "Al-Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini."

Menariknya, di kata awal pada ayat tersebut, yakni kata 'haada' yang secara bahasa adalah sedang menunjuk kepada sesuatu. Dan, lebih menarik lagi adalah kata 'haada' dimaksud berbicara tentang manusia yang tentunya universal cakupannya, yakni siapapun manusia. Sehingga, jangan sampai kita ini acapkali terjebak ke dalam dikotomi bahwa Al-Qur'an itu ditujukan hanya untuk umat Islam semata. Apabila kita kembalikan kepada sumber aslinya, maka Al-Qur'an ini didisain untuk manusia seumumnya, siapa saja senyampang sebagai manusia yang rindu kembali kepada Al-Qur'an, itu berarti kembali kepada petunjuk.

Kemudian, yang paling penting adalah bahwa Al-Qur'an yang manakah yang dimaksudkan itu, yang merupakan petunjuk bagi manusia yang universal? Sebab, seyogyanya kita ketahui dan harus disadari bahwa spektrum Al-Qur'an itu berlapis-lapis.

Mari kita break down bersama-sama tentang kata 'Al-Qur'an' tersebut.

Secara etimologis berdasarkan ilmu bahasa, kata 'Al-Qur'an' itu berasal dari qara'a atau berujung pada iqra' sebagai bentuk kata perintah. Dan ingat, bahwa Nabi Muhammad kali pertama mendapat wahyu adalah iqra' dulu.

Maka memaknai kata iqra' secara luas adalah 'sesuatu yang bisa dibaca'. Itulah prinsip substansinya. 'Dibaca' di sini dalam konteks yang luas pula tentunya. Oleh karena itu, dalam konteks yang demikian itu, mustinya tidak hanya tulisan yang bisa dibaca. Akan tetapi, betapa Al-Qur'an itu sendiri penuh dengan tanda, yang dalam bahasa Arabnya adalah 'ayat'.

Terdapat dua kelompok besar tanda-tanda (ayat) di dalam Al-Qur'an, yakni wujud 'ayat kauliyah' dan wujud 'ayat kauniyah'. Dimana selama ini kita hanya sibuk membaca terhadap apa yang tertulis dan hampir dipastikan sangat jarang membaca yang tidak tertulis. Begitulah yang terjadi di dalam diri kita, dan harus diakui dengan sejujur-jujurnya. Dan ketika kita sedang membaca diri sendiri, kita malah tak merasa bahwa sebenarnya kita sedang membaca 'Al-Qur'an'. Kira-kira begitu ...

Sebagaimana di dalam QS Aljasiyah 45:20 yang telah disinggung di atas, maka jelas merujuk kepada sesuatu (ayat) yang tertulis saja. Sedangkan paradigma berpikir kita seharusnya diperluas, dan jangan hanya disibukkan kepada yang tertulis saja. Sebab, yang tertulis itu secara proporsional sebenarnya hanyalah 0,1 persen. Sedangkan, selebihnya yang 99,9 persen itu justru yang tak tertulis sebagai tanda-tanda dari Allah. Koq, bisa dan kenapa begitu ya?

Tanda-tanda dari Allah itu akan hadir di alam semesta ini. Inilah yang terpenting dan patut disadari agar kita tidak terjebak dan dipersempit oleh paradigma berpikir tentang Al-Qur'an yang sekali lagi, hanya sibuk dengan hafalan kauliyah saja, sementara kauniyah yang 99,9 persen sebagai tanda-tanda dari Allah sebagai yang utama, justru terabaikan.

Coba kita simak QS Fussilat 41:53, "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Tidak cukupkah bagi kamu bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?"

Dengan demikian, maka ayatnya dari manakah? Jawabnya, di ufuk, di semesta, dan di dalam diri kita sendiri tentunya. Dari sinilah nantinya kita akan bisa mengerti betapa penting sekali kita membaca tanda diri, tanda alam yang nantinya kita konfirmasikan tanda-tanda tersebut ke dalam kitab, dan semua itu tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Mengapa?

Karena sejatinya bahwa semuanya hanyalah tanda-tanda dari Allah, yang sebenarnya betapa Allah ingin menyampaikan pesan kepada kita manusia seumumnya yang universal. Dan, itulah yang menunjukkan bahwa Al-Qur'an sebagai petunjuk, sebagai pedoman di dalam wujud kauliyah dan wujud kauiniyah-Nya.

Demikianlah, dimana semua itu secara ringkas disebut iqra', membaca tanda-tanda, termasuk membaca tanda-tanda yang ada dalam diri kita sendiri ...

Sekian, ulasan singkat dari saya, dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia Nusantara ....

*****

Kota Malang, April di hari keempat, Dua Ribu Dua Puluh Empat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image