Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lubnan Rabbani

Menghadapi Toxic Masculinity Melalui Peran Kita pada Anak

Eduaksi | Thursday, 04 Apr 2024, 21:11 WIB

Seiring dengan berkembangnya zaman tentunya perspektif manusia meluas dari dampaknya peningkatan kualitas hidup dan sumber daya manusia. Dewasa ini isu-isu sosial selalu menjadi buah bibir di masyarakat, tak lepas juga pengaruhnya dari peningkatan pemanfaatan teknologi, internet, serta interaksi di dalamnya.

Salah satu isu sosial yang selalu menjadi topik utama di masyarakat yaitu mengenai gender. Dalam topik gender yang luas tentu ada yang menarik sekaligus pantas untuk kita perhatikan yaitu toxic masculinity. Toxic masculinity adalah konstruksi sosial yang menggambarkan perilaku dan sikap yang kasar yang dikaitkan dengan lelaki.

Ini merupakan perilaku sempit yang terkait dengan peran gender dan sifat dominan laki-laki, yang biasanya mencakup kemaskulinan, kekerasan, agresivitas, dan kekurangan emosional. Walaupun dalam toxic masculinity ini merujuk dan berdasar pada pihak lelaki, tetapi dapat memberi pengaruhnya pada kehidupan sosial dapat dikatakan cukup besar tanpa pandang jenis kelamin dan gender.

Seperti namanya, “toxic.” Dalam maskulinitas versi ini ada penekanan pada aspek-aspek buruk dari maskulin secara stereotip. Toxic masculinity menekankan unsur-unsur seperti kekerasan, dominasi, ketidakmampuan emosional, hak seksual, dan permusuhan terhadap feminitas. Bagi perempuan, toxic masculinity dapat memberi bumbu seksis dan patriarkis yang diterima atau didapatkan oleh perempuan, termasuk perlakuan kasar atau kekerasan terhadap perempuan.

Dengan demikian, toxic masculinity berkontribusi pada ketidaksetaraan gender dan masih memiliki probabilitas lain yang dapat menjadi masalah yang merugikan perempuan. Tentu bagi laki-laki itu sendiri toxic masculinity dapat menjadi boomerang. Munculnya batasan-batasan buah dari norma-norma stereotip.

Demi tercipta lingkungan di sekitar kita yang lebih baik, tentu kita perlu mencegah pelestarian toxic masculinity ini. Dapat dimulai dari diri kita sendiri, lalu dapat kita sebar ke sekitar kita, khususnya anak-anak disekitar kita. Adik-adik kita, anak-anak kita, saudara-saudara kita, terlebih lagi anak laki-laki disekitar kita.

Untuk mencegah internalisasi dari toxic masculinity, maka hal pertama yang dapat kita lakukan adalah menjadi terbuka. Terbuka ini lebih merujuk pada perspektif kita melihat fenomena-fenomena sosial-gender dalam kehidupan sehari-sehari. Dalam memproses pemikiran dari apa yang kita hadapi dikehidupan perlu adanya keterbukaan untuk melepaskan keterbatasan dan konservatisme.

Karena, dalam menghadapi toxic masculinity perlu terbuka agar terlepas dari ikatan yang dapat menjadi miskonsepsi dan kesesatan dalam berpikir. Sehingga, dalam menghadapi persoalan yang menyangkut toxic masculinity keterbukaan dan penerimaan terhadap persoalan tersebut diperlukan agar selanjutnya setelah kita menghadapi persoalan tersebut, kita dapat mencerna dan memahaminya dengan baik.

Maka, setelah mencerna persoalan atau isu dengan keterbukaan dan pemahaman yang baik, lalu kita dapat menyikapinya dengan baik pula. Tahap pertama yang dapat kita lakukan terhadap anak-anak demi menghentikan perkembangan toxic masculinity adalah memperkenalkan emosi kepada mereka. Dengan cara menyebutkan atau menanyakan tentang apa yang anak rasakan, sehingga mereka dapat mulai peka terhadap apa yang mereka rasakan.

Lalu, kita sebagai pihak yang lebih dewasa sebaiknya berekspresi dalam menunjukkan perasaan dan emosi kita yang tentunya dengan baik, dengan begitu anak dapat mencerna dan memahami bagaimana emosi tersebut diwujudkan. Selanjutnya anak-anak diperlukan untuk mengetahui alasan dan latar belakang dari emosi dan perasaannya. Tentu hal ini sangat membutuhkan komunikasi yang baik dan kita sebagai pihak yang lebih dewasa harus mengayomi dalam prosesnya.

Dalam menghadapi emosi anak, kita perlu mengajari mereka bagaimana cara mengendalikannya. Semua cara tentu harus dilakukan dengan baik, seperti bahasa yang sederhana agar anak mudah mengerti, afeksi kita terhadap mereka, Bahasa tubuh dan ekspresi yang dapat membuat pendekatan yang ramah pada anak. Terakhir, anak-anak seharusnya dibiarkan untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan.

Selanjutnya, segala emosi yang dirasakan oleh anak-anak tentu valid. Kita harus menyikapi bagaimana mereka berekspresi dengan baik, mengkomunikasikannya dan menghargai apa yang mereka rasakan. Dengan begitu mereka dapat merasakan emosi dan berekspresi dengan baik. Tidak lupa untuk sedikit memberi tahu anak mengenai pengaruh dari tiap-tiap emosi, terhadap diri mereka sendiri hingga terhadap orang lain.

Emosi juga menjadi unsur penting dalam toxic masculinity, sehingga pengenalan emosi, regulasi emosi, dan pengaruh dari emosi perlu dikenalkan secara dini. Terakhir, anak-anak pantas untuk mendapatkan edukasi mengenai gender, identitasnya, hingga ekspresinya. Anak-anak perlu untuk mengenal keberagaman gender dan perannya.

Tentu hal tersebut bertujuan agar anak nantinya dapat menghadapi keberagaman dan mengembangkan nilai toleransi dalam aspek gender. Pengenalan mengenai maskulinitas dan feminitas sangat perlu ditanamkan, tidak lupa bahwa maskulinitas dan feminitas tidak terbatas pada suatu jenis kelamin saja. Gender merupakan hal yang kompleks, sehingga edukasi mengenai gender perlu dilakukan dengan “Bahasa bayi.”

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image