Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image NANI KURNIASIH

Orang Miskin Dilarang Sakit

Guru Menulis | Wednesday, 03 Apr 2024, 12:55 WIB
Dokumen pribadi

Memiliki tubuh yang sehat adalah harapan semua orang. Dengan kesehatan yang terjaga, kita bisa menjadi manusia produktif yang mampu mengerjakan berbagai hal dan kegiatan. Mulai dari bekerja, menjalankan aktivitas di rumah, mengerjakan hobi, dan lain sebagainya. Namun memang, meskipun segala tindakan antisipasi sudah dilakukan, risiko kesehatan tetap mengintai kapan saja dan dimana saja.

Ketika itu terjadi maka resiko berikutnya adalah kita harus mengeluarkan sejumlah biaya pengobatan yang tentu saja bagi sebagian orang hal itu bukanlah hal yang sepele, apalagi bagi mereka yang tidak memiliki JKN-KIS (Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat) ataupun kartu BPJS kesehatan dan harus membayar biaya tersebut secara mandiri.

Apakah ungkapan “orang miskin dilarang sakit” masih relevan saat ini? Ungkapan ini bisa jadi masih relevan, jika melihat biaya kesehatan yang acap kali tidaklah murah, bahkan naik dari waktu ke waktu. Akan tetapi sebagian orang juga berpendapat bahwa ungkapan tersebut sudah tidak relevan lagi, karena sekarang ini sudah ada JKN-KIS (Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat) merupakan program pemerintah yang memberikan perlindungan kesehatan kepada seluruh masyarakat Indonesia dan dianggap bisa menjadi solusi untuk penanganan biaya kesehatan bagi masyarakat kurang mampu.

Lalu, apakah semua masyarakat kurang mampu sudah memiliki kartu JKN-KIS tersebut? Sayangnya dilapangan menjunjukan bahwa tidak semua orang dengan golongan ekonomi bawah memiliki kartu tersebut.

Hari ini saya menyaksikan sendiri betapa mereka yang berada di jajaran ekonomi kelas bawah, harus berjibaku dengan masalah biaya pengobatan ketika dia ataupun keluarganya mengalami sakit.

Setiap hari Senin pagi, sekolah kami rutin mengadakan kegiatan Upacara Bendera mulai dari pukul 07.00-08.00. Upacara bendera bukan hanya ritual semata, akan tetapi siswa diharapkan mampu mengambil nilai-nilai nasionalisme dalam kegiatan upacara bendera ini.

Di tengah-tengah berjalannya kegiatan upacara bendera, tiba-tiba seorang siswa laki-laki di barisan paling depan pingsan. Dengan sigap tim PMR (Palang Merah Remaja) kemudian membawanya ke ruang UKS (Usaha Kesehatan Sekolah). Walaupun hampir setiap hari Senin ada saja kejadian anak yang pingsan, akan tetapi tetap saja kejadian tersebut membuat suasana menjadi riuh yang diakibatkan beberapa di antara siswa ada yang penasaran dan saling bertanya satu sama lain tentang apa yang terjadi.

Pemandangan seperti itu seolah menjadi hal yang biasa pada kegiatan Upacara. Dehidrasi karena panas matahari bisa jadi pemicunya, selain itu rendahnya kadar gula darah atau Hiipoglikemia akibat belum sarapan menjadi pemicu utama dari kasus pingsannya para siswa pada saat upacara.

Siswa yang pingsan tadi namanya Yusuf, dia merupakan siswa kelas delapan di sekolah tempat saya mengajar. Selepas upacara selesai, saya menyempatkan diri mendatangi ruang UKS untuk melihat keadaan Yusuf, akan tetapi di luar dugaan, ternyata keadaan Yusuf belum membaik malah semakin parah dengan disertai kejang-kejang.

Tanpa pikir panjang, maka kemudian saya dan juga beberapa guru lainnya membawa siswa tersebut ke pusat kesehatan terdekat. Sesampainya di UGD, Dokter kemudian mengobservasi keadaan Yusuf dan tak lama kemudian Dokter meminta ijin untuk memasangkan infusan dan juga obat untuk mengatasi kejangnya tersebut.

Sesaat sebelum dokter memasangkan infusan, Yusuf sempat sadarkan diri dan bertanya dia ada dimana. Kamipun menjelaskan bahwa dia sekarang ada di Rumah Sakit, tanpa kami duga Yusuf tidak mau untuk diinfus dan juga diberikan obat, dengan alasan bahwa dia dan juga orang tuanya tidak punya uang untuk membayar pengobatan tersebut. Apalagi sudah sebulan ini ibunya juga sedang sakit keras dan sempat beberapa kali dirawat di klinik kesehatan tingkat satu setingkat Puskesmas, sehingga semua biaya terfokus pada pengobatan ibunya.

Seharusnya ibunya dirujuk ke Rumah Sakit besar dan mendapatkan penanganan dari dokter spesialis penyakit dalam, akan tetapi kerena ketiadaan biaya, akhirnya hanya diobati dengan obat herbal saja di rumah. Ayahnya Yusuf yang bekerja sebagai kuli Bangunan tidak sanggup untuk menyediakan biaya yang cukup besar untuk berobat ke Rumah Sakit.

Mungkin di sini kalian akan bertanya “memang keluarga Yusuf tidak punya kartu JKN-KIS?”. Percayalah, pertanyaan kalian itu sama dengan pertanyaan saya.

Sayangnya memang benar keluarga Yusuf tidak punya kartu JKN-KIS, BPJS atau seabreg kartu sejenis lainnya yang menjadi andalan masyarakat Indonesia di kala sakit. Mau daftar BPJS mandiri pun tidak mempunyai cukup uang untuk membayar iuran setiap bulannya. Akhirnya ketika sakit melanda, mereka hanya bisa berpasrah diri dan berharap ada keajaiban dari Yang Maha Kuasa.

Melihat kondisi kejangnya tidak kunjung reda, maka pihak Klinik menganjurkan Yusuf untuk dirawat di Rumah Sakit yang lebih besar, tapi dengan berat hati ayah Yusuf hanya bisa membawanya pulang ke rumah. Untuk biaya perawatan selama di Klinik pihak Sekolah yang menanggung biayanya.

Dari kejadian di atas, maka tidaklah salah jika ada ungkapan kalau “Orang Miskin Dilarang Sakit”, karena ketika sakit melanda, maka mereka akan dihadapkan dengan harga obat dan juga biaya perawatan yang di luar jangkauan kemampuan mereka.

Mungkin dalam hal ini, perlu ada perhatian yang lebih dari Pemerintah, baik pusat maupun daerah terhadap orang-orang yang kurang mampu seperti yang dialami Yusuf dan keluarganya. Selain itu, diharapkan juga ada kepedulian Masyarakat sekitar terhadap kasus-kasus serupa, walaupun hanya sekedar melaporkan pada pihak yang terkait. Sehingga tidak ada lagi istilah “Orang Miskin Dilarang Sakit” di Negeri kita ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image