Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Ketika Neoliberal Mengaku Pro-Rakyat Marhaen

Politik | Tuesday, 26 Mar 2024, 09:55 WIB

Ketika para pemimpin atau pendukung kebijakan neoliberalisme menyatakan diri mereka sebagai pro-rakyat (marhaen), mereka mungkin berpendapat bahwa kebijakan ekonomi yang mengutamakan pasar bebas dan privatisasi akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan pada gilirannya akan memberikan manfaat kepada seluruh masyarakat. Mereka mungkin juga berpendapat bahwa kebijakan ini akan menciptakan kesempatan bagi individu untuk meraih kesuksesan secara mandiri. Namun, pendapat ini sering kali dipertanyakan oleh kritikus yang menilai bahwa kebijakan neoliberalisme cenderung meningkatkan kesenjangan sosial dan ekonomi serta merugikan kelompok-kelompok rentan dalam masyarakat.

Kita tahu, hampir semua program sosial itu lahir setelah serangkaian serangan kebijakan neoliberal, seperti penghapusan subsidi, privatisasi BUMN dan layanan publik, liberalisasi perdagangan, pasar tenaga kerja yang fleksibel, dan lain-lain. Serangan neoliberal itu telah menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat marhaen merosot tajam.

Di beberapa negara yang mengadopsi neoliberalisme, termasuk Indonesia, ketegangan sosial telah meningkat. Di Amerika Latin, tempat uji-coba kebijakan neoliberal pertama kali, dampak sosial kebijakan neoliberal melahirkan protes sosial. Dalam perkembangannya, protes sosial itu mengarah pada krisis politik dan mengubah wajah politik kawasan itu menjadi anti-neoliberal. Inilah yang coba dipadamkan oleh rezim neoliberal dengan menawarkan program sosial.

Contoh paling kasat mata adalah dana BLT BBM atau Bansos. Setelah subsidi BBM dicabut, yang menyebabkan rakyat marhaen terpukul dari segala segi (kenaikan harga barang, kenaikan tarif angkutan, PHK, naiknya biaya hidup, dan lain-lain), rakyat marhaen coba “disogok” dengan dana kompensasi berupa bantuan tunai sebesar Rp 200-250 ribu atau malah Rp 300-500 ribu selama tiga atau enam bulan.

Dengan demikian, program sosial ala pemerintah itu hanyalah “sogokan” untuk mencegah api ketegangan sosial membesar. Artinya, kebijakan itu tidak dirancang untuk mengeluarkan orang dari kemiskinan, melainkan mencegah supaya mereka tidak terperosok lebih miskin lagi. Dan, tentu saja, supaya mereka tidak gampang ‘dihasut’ untuk memberontak.

Memang, bagi neoliberal, kemiskinan hanyalah ekses. Terkadang mereka juga menyebut kemiskinan sebagai patologi—contohnya, menyalahkan merokok sebagai penyebab kemiskinan. Mereka mengisolasi masalah kemiskinan dari relasi produksi kapitalis, yang ditandai dengan kepemilikan alat produksi di tangan segelintir orang dan menempatkan mereka yang tidak punya alat produksi sebagai perkakas belaka untuk mengakumulasi keuntungan.

Sebetulnya, jika mengacu ke konstitusi, tugas negara sudah sangat jelas: memberikan pekerjaan dan penghidupan layak bagi warga negara, memberikan pengajaran untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menyelenggarakan perekonomian dan mengelola SDA untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Dengan demikian, yang namanya memberi bantuan pendidikan, kesehatan, penciptaan lapangan kerja, dan lain-lain, bukanlah wujud kebaikan pemerintah, melainkan memang tanggung-jawab negara sebagaimana diperintahkan oleh Konstitusi. Jika Pemerintah patuh pada konstitusi, maka tidak boleh ada pengangguran, kemiskinan, PHK massal, upah murah, sistem kerja kontrak/outsourcing, privatisasi layanan dasar publik (pendidikan, kesehatan, air bersih, dll), dan lain sebagainya.

Masalahnya, sebagian besar program sosial rezim neoliberal itu didanai melalui utang luar negeri. Program Keluarga Harapan (PKH), misalnya, di danai bersama oleh Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Pemerintah Jepang melalui program Conditional cash transfer (CCT).

PKH dan CCT juga merupakan bagian dari skema utang program Development Policy Loan yang merupakan milik World Bank.

Di satu sisi, rezim neoliberal menyerang kesejahteraan rakyat secara agressif melalui privatisasi, penghapusan subdisi, liberalisasi perdagangan, dan lain-lain. Di sisi lain, mereka berupaya menyogok rakyat agar tak berontak, tapi diklaim sebagai “program pro-rakyat”. Dan, ironisnya, program sogokan itu di danai melalui utang, yang konsekuensi dan pembayarannya akan dibebankan ke rakyat marhaen juga.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image