Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jonathan Jordan

Teror di Moskow: Refleksi untuk Agenda Keamanan Internasional

Politik | 2024-03-25 11:36:48
Warga lokal menaruh bunga di dekat lokasi tragedi teroris di Crocus City Hall di Krasnogorsk, wilayah Moskow, Rusia. (Sumber foto: Sputnik / Kirill Kallinikov)

Pada hari Jumat malam (22/3/2024) dunia dihebohkan dengan serangan teroris yang terjadi di Krasnogorsk, pinggir kota Moskow, Rusia. Aksi teror dilakukan di gedung konser Crocus City Hall yang sedang menyelenggarakan konser grup musik lokal, Picnic, Aksi teror ini melibatkan penembakan massal oleh beberapa orang, yang disusul dengan peledakan granat yang menyebabkan kebakaran dan atap gedung kolaps. Hingga Senin (25/3/2024) pagi, otoritas Rusia mencatat 137 korban tewas dan bisa saja bertambah serta 145 orang luka-luka. Hal ini menjadikan teror di Crocus City Hall sebagai aksi teror paling mematikan kedua dalam sejarah Rusia modern setelah penyanderaan sekolah di Beslan, Rusia yang menewaskan lebih dari 300 orang.

Setelah aksi teror terjadi, akun Telegram kelompok teroris ISIS-Khorasan (ISIS-K) mengklaim bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Sehari kemudian, Rusia mengumumkan penangkapan terduga teroris di jalan tol dekat perbatasan Rusia dengan Ukraina. Para pelaku merupakan warga negara Tajikistan dan diancam hukuman maksimal penjara seumur hidup, meskipun sebagian elemen masyarakat Rusia ingin supaya hukuman mati kembali diterapkan dalam kasus ini. Reaksi keras muncul dari Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang menyebut setiap teroris akan diperangi dan dihancurkan. Di sisi lain, beberapa politisi Rusia menyuarakan teori konspirasi keterlubatan Ukraina yang sedang berperang dengan Rusia, meskipun hal ini dibantah Ukraina dan analisa Institute for the Study of War (ISW) yang meyakini kuat dalang utama teror ini adalah ISIS.

Terorisme di Rusia mempunyai sejarah yang panjang. Pada era Kekaisaran Rusia, berbagai kelompok berusaha melawan tsar (kaisar) dengan aksi teror. Contohnya, gerakan Kehendak Rakyat (Narodnaya Volya) yang membunuh Tsar Alexander II pada 1861. Kemudian, di era Revolusi Rusia, beberapa kekuatan Bolshevik (Red Terror) dan anti-Bolshevik (White Terror) juga menggunakan terorisme untuk mencapai tujuan politiknya. Di era Federasi Rusia sejak 1991, sebagian besar aksi teror di Rusia didasarkan atas ekstremisme identitas, terutama di wilayah barat daya Rusia yang mengalami konflik separatisme dengan Rusia, Chechnya dan Dagestan. Kelompok teroris jihadis ini bertanggung jawab atas serangkaian aksi teror di Rusia, seperti pengeboman di apartemen Moskow pada 1999, penyanderaan di teater Moskow pada 2002 dan sekolah di Beslan pada 2004, pengeboman di Bandara Domodedovo pada 2011, serta pengeboman di kereta bawah tanah di Volgograd (2013) dan St. Petersburg (2017). Aksi teror di Moskow pekan lalu menambah panjang daftar ini.

Dari tragedi di Moskow, ada beberapa poin penting yang perlu dipelajari dalam agenda keamanan internasional. Pertama, di tengah diskusi tentang ancaman keamanan tradisional seperti persaingan kekuatan besar dan konflik geopolitik, ancaman keamanan non-tradisional seperti terorisme juga penting untuk diperhatikan. Keberanian ISIS melakukan aksi teror di Moskow terjadi beberapa tahun setelah ISIS mengalami kekalahan di Suriah dan Irak pada akhir 2017, yang juga disebabkan oleh langkah Rusia yang memerangi ISIS dan kelompok sejenisnya di Suriah. Namun, aksi teror ini menunjukkan meskipun sudah dilemahkan, ISIS tetap bisa membangun kembali kekuatan melalui jaringan gelap dan pendanaan. Hal ini menjadi pembelajaran untuk Indonesia yang saat ini mengalami penurunan aktivitas terorisme dibanding dekade 2000-an. Pelacakan sel teroris dan penyebaran ideologi ekstremis tidak boleh dianggap remeh oleh Indonesia, karena di sini dibuktikan mereka dapat bangkit kapan saja.

Kedua, aksi teror di Moskow terjadi di tengah perang Rusia di Ukraina. Kemungkinan besar, ISIS memanfaatkan kelengahan Rusia yang sedang terfokus pada perang Ukraina - terlihat dengan bagaimana Putin meremehkan analisa intelijen Amerika yang menyebut kemungkinan serangan teroris di Rusia. Pasca serangan ini, bisa saja Putin memanfaatkan dampak sosial politik tragedi ini untuk ‘diplintirkan’ demi perangnya di Ukraina, seperti bagaimana Soeharto pasca peristiwa G30S/PKI memanfaatkan kemarahan masyarakat untuk memberantas kelompok-kelompok kiri. Putin menuding bahwa para teroris mempunyai kontak dengan pihak di Ukraina dan ‘mereka sudah dinanti di sana’, sesuatu yang dibantah Ukraina sebagai kebohongan dan propaganda Rusia.

Terakhir, dunia disadarkan bahwa menanggulangi terorisme adalah tanggung jawab internasional. Meskipun saat ini kontak politik antara Rusia dan negara-negara Barat sedang berada pada keadaan yang sangat buruk, namun sebagian besar negara-negara Barat, termasuk Uni Eropa, mengucapkan belasungkawa pada Rusia setelah tragedi ini. Hal ini menunjukkan bahwa kemanusiaan sejatinya tetap menjadi pilar penting dalam politik internasional, karena banyak tantangan kontemporer yang tidak bisa dihadapi sendiri, seperti terorisme dan perubahan iklim. Ancaman ‘bersama’ yang dihadapi sebaiknya menjadi pemicu untuk mempertahankan kerjasama dan mencegah sikap cancel culture, hukuman kolektif, dan hal-hal kontraproduktif lainnya.

Agenda keamanan internasional saat ini begitu penuh, dengan berbagai lingkup ancaman keamanan yang dapat berdampak pada kehidupan manusia. Peperangan antarnegara, ancaman konflik nuklir, dan persengketaan wilayah yang merupakan persoalan keamanan tradisional juga dipengaruhi oleh ancaman-ancaman keamanan non-tradisional, seperti terorisme, perubahan iklim, perdagangan narkoba, pandemi dan lainnya. Oleh karena itu, keamanan nasional sebaiknya menjadi perhatian setiap negara,, termasuk Indonesia, termasuk juga peluang kerjasama internasional untuk menjaga keamanan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image