GANEFO DAN PENGGALANGAN DANANYA DI SEMARANG PADA TAHUN 1963
Sejarah | 2022-01-15 14:00:01Ganefo (Game of The New Emerging Forces) adalah ajang olahraga yang digagas oleh presiden pertama Indonesia, Sukarno.
Ganefo diikuti oleh banyak Negara, sebagian besar adalah negara-negara yang baru merdeka pasca perang dunia II. Ganefo I dilaksanakan pada tanggal 10-22 November 1963 di Jakarta.
Gelaran ini merupakan tandingan Olimpiade. Hal ini dikarenakan Komite Olimpiade Nasional menyatakan bahwa semestisnya olahraga dengan politik.
Namun bagi Sukarno olahraga juga alat politik.
Indonesia menyelenggarakan Ganefo setelah kecaman dari Komite Olimpiade Internasional perihal penyelenggaraan Asian Games 1962 di Jakarta.
Ketika itu Indonesia tidak mengundang Taiwan dan Israel karena bersimpati pada Tiongkok dan negara-negara Arab. Akibat hal tersebut Indonesia diskors pada gelaran Olimpiade Tokyo tahun 1964.
Pada tanggal 7 Agustus 1963 Jepang mengedarkan undangan Olimpiadenya ke seluruh dunia dan hanya Indonesia yang tidak mendapat undangan tersebut. Sukarno meradang. Ia menyelenggarakan Ganefo sebagai protes terhadap tindakan Komite Olimpiade tersebut.
Nyatanya Genefo justru mendapat dukungan dari banyak negara.
Sebanyak limapuluh satu negara ikut serta. Terdapat 2700 atlet yang meramaikan
gelaran ini. Rakyat Jepang, sebagai tuan rumah Olpimpiade yang tak mengundang Indonesia, pun menaruh perhatian yang besar terhadap Ganefo.
Hal tersebut dibuktikan dengan keberadaan seorang wartawan Jepang bernama Asahi Shinbun
di Indonesia. Ia dating dari negeri matahari terbit untuk mencari informasi tentang Ganefo seluas-luasnya.
Di Eropa gema Ganefo tidak kalah luar biasa. Harian Jerman Barat, Die Welt menulis “Ganefo tak dapat diremehkan”. Salah satu penulis koran tersebut menyebut bahwa Ganefo telah membuat I.O.C tak berdaya.
Skakmat oleh Sukarno!
Ganefo merupakan cara Sukarno menunjukan kekuatannya pada barat. Ia ingin menunjukan bahwa dirinya adalah kekuatan baru yang akan menggilas habis imperialisme. Ini adalah gelaran olahraga yang politis dan melibatkan banyak orang.
Pada praktiknya penyelenggaraan Ganefo mendapat sokongan dana dari banyak orang.
Ya, Ganefo dapat terselenggara karena memperoleh (atau lebih tepatnya meminta) sumbangan dari rakyat. Koran-koran pada waktu itu sering memasang iklan ajakan untuk menyumbang dana untuk penyelenggaraan Ganefo.
Brosur-brosur tentang Ganefo sangat politis, menggambarkan posisi politik Indonesia kala itu. Di setiap brosur penggalangan dana terdapat kata-kata
profokatif anti imperialisme, antara lain; Ganefo ide Bung Karno kini menjadi milik dunia. Ganefo adalah alat penggempur rakyat The Emerging Forces untuk
meruntuhkan kubu semacam I.O.C”.
Ganefo berlangsung dari tanggal 10 hingga 22 November 1963. Dbuka oleh Presiden Sukarno dan dihadiri oleh perwakilan dari Tiongkok, Korea Utara,
Uni Soviet, Vietnam Utara, Kamboja, dan Sailan. Ganefo kala itu dimenangkan oleh Tiongkok dengan perolehan enampuluh lima emas, limapuluh enam perak, dan empatpuluh tujuh perunggu. Posisi kedua ditempati Uni Soviet dengan perolehan tigapuluh sembilan emas, duapuluh perak, dan delapan perunggu.
Indonesia menempati peringkat ketiga dengan tujuhbelas emas duapuluh empat
perak dan tigapuluh perunggu.
Gelaran ganefo terpusat di kompleks olahraga Senayan Jakarta. Saat itu
kompleks istora senayan Jakarta merupakan falisitas yang megah dan sangat
lengkap. Bahkan menjadi salah satu yang tersbesar di dunia.
Ganefo menjadi gelaran yang meriah. Di balik kemeriahan itu ada dana
dari jutaan rakyat Indonesia. Pada tahun 2017 saya memperoleh beberapa “harta
karun sejarah” ketika mengunjungi kantor Arsip Jawa Tengah. Dari sumbersumber tersebut saya memperoleh bukti bahwa Ganefo banyak organisasi dan
kelompok masyarakat di Semarang yang menyokong pendanaan Ganefo.
Di kota Semarang penggalangan sumbangan untuk penyelenggaraan
Ganefo dikoordinir oleh harian Gema Massa. Pada waktu itu harian ini berkantor
di Taman Srigunting 8 Semarang. Dana yang disumbang oleh rakyat Semarang
jumlahnya sangat besar untuk ukuran waktu itu. Hingga tanggal 11 November
1963, misalnya, dana yang terkumpul mencapai Rp.1.673.144,50. Dana tersebut
berasal dari pengusaha tionghoa, sekolah-sekolah, toko-toko, dan pribadi.
Pegawai, baik negeri maupun swasta juga menyumbang dalam jumlah yang tak
sedikit. Dana sumbangan tersebut dikumpulkan dalam suatu wadah yang bernama
Dompet Ganefo.
Selain pengumpulan dana berupa sumbangan sukarela, pemerintah kota
Semarang juga mengeluarkan kebijakan pemotongan dana dari pembayaran listrik
warga kota. Ada pun ketentuan pemotongan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Untuk pelanggan yang menggunakan stroombegrenser dipungut sebesar
Rp.10,-
2. Untuk pelanggan yang menggunakan stroombegrenser dengan meter dipungut
sebesar Rp.25,-
3. Pelanggan yang menggunakan meter hanya unntuk keperluan rumah tangga
dipungut sebesar Rp.100,-
4. Pelanggan yang menggunakan meter dan digunakan untuk kepentingan
perusahaan dipungut sebesar Rp.500,-
Pemungutan hanya dilakukan satu kali. Pelanggan yang sudah dikenakan
pemotongan akan menerima tanda pembayaran bertuliskan ‘Bantuan Dana Ganefo
I’.
Ganefo adalah salah satu pagelaran olahraga besar yang pernah ada di
Indonesia. Bukan sekedar kegiatan olahraga, Ganefo juga merupakan bukti sikap
politik Indonesia pada masa pemerintahan Sukarno. Namun saying ganefo hanya
tak berumur panjang. Gelaran Ganefo selanjutnya tidak se-meriah Ganefo
pertama. Hal itu tidak lepas dari menurunnya pamor Sukarno setelah peristiwa G
30 S. Selepas kepergian Sukarno, Ganefo tak pernah diselenggarakan lagi.
Semarang, 20 Januari 2017
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.