Mengapa Menjadi Korban Dapat Mendistorsi Ingatan Anda
Humaniora | 2024-03-19 18:43:39Kesaksian saksi mata tidak bisa diandalkan. Lebih buruk lagi bila seorang saksi juga menjadi korban.
Poin-Poin Penting
· Kesaksian saksi mata kurang dapat diandalkan dibandingkan yang diyakini secara umum.
· Saksi sering kali melaporkan "ingatan palsu" tentang hal-hal yang sebenarnya tidak terjadi.
· Penelitian baru menunjukkan bahwa orang-orang lebih cenderung salah mengingat peristiwa-peristiwa yang menjadikan mereka korban secara pribadi.
Kesaksian saksi mata memainkan peranan penting dalam sistem hukum. Hal ini sering kali memberikan bukti paling penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya suatu kejahatan yang dituduhkan.
Saksi biasanya hadir di hadapan pengadilan, dengan percaya diri menceritakan versi mereka tentang peristiwa yang mereka klaim telah mereka saksikan. Para juri sering kali sama yakinnya dengan kesaksian yang diberikan, dan dengan nyaman mempertimbangkannya selama pertimbangan mereka.
Di benak masyarakat, keterangan saksi mata juga sangat dijunjung tinggi. Ketika kita mendengar orang menceritakan pengalaman mereka, kita sering menganggap bahwa mereka benar-benar melihat apa yang mereka nyatakan telah mereka lihat dan bahwa mereka mengingatnya dengan akurat.
Penelitian bertahun-tahun telah menunjukkan bahwa keyakinan ini tidak pada tempatnya. Seringkali orang tidak benar-benar mengingat apa yang mereka pikir mereka lakukan. Faktanya, mereka sering kali tidak menyadari sebagian besar apa yang terjadi, seperti yang diilustrasikan oleh penelitian seperti eksperimen "gorila tak terlihat" yang terkenal. Lebih buruk lagi, terkadang apa yang kita pikir kita ingat sebenarnya adalah memori palsu yang sebenarnya tidak terjadi sama sekali.
Memori bukanlah sebuah rekaman, seperti file yang disimpan di komputer. Sebaliknya, ingatan adalah tindakan kreatif. Hal ini membuat sangat sulit untuk membedakan ingatan palsu dari ingatan akurat.
Ada banyak akibat yang meresahkan dari masalah ini. Hal yang paling penting adalah banyak orang yang tidak bersalah atas suatu kejahatan dinyatakan bersalah karena kesaksian yang buruk, sementara yang bersalah bisa saja dibebaskan. Faktanya, menurut Innocence Project, kesaksian yang tidak akurat berperan dalam sebagian besar hukuman yang salah.
Mengingat pentingnya kesalahan identifikasi saksi mata dan kekurangannya, para peneliti terus mengungkap misteri ingatan palsu. Selama bertahun-tahun, mereka telah mengidentifikasi berbagai faktor yang membantu memprediksi kapan hal ini paling mungkin terjadi. Sebuah studi baru-baru ini menambah penelitian ini dengan memeriksa faktor lain yang mungkin berperan: efek referensi diri.
Efek referensi diri merujuk pada kecenderungan orang mengingat sesuatu secara berbeda ketika mereka sendiri terlibat dalam suatu hal. Dalam penelitian ini, Wang dan rekannya meneliti bagaimana hal ini mungkin berperan dalam penciptaan ingatan palsu tentang suatu kejahatan. Secara khusus, akankah seorang saksi memiliki lebih banyak ingatan palsu ketika mereka menjadi korban kejahatan dibandingkan ketika mereka hanya menjadi saksi saja?
Sebuah Uji Efek Referensi Diri
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti melakukan percobaan. Pertama, 68 subjek Belanda menonton tayangan slide yang terdiri dari total 32 slide yang menggambarkan seorang pria mencuri dompet seseorang di jalan.
Selanjutnya, peserta membaca narasi yang menggambarkan peristiwa dalam tayangan slide. Terdiri dari 32 kalimat, masing-masing menjelaskan salah satu slide. Mereka diberitahu bahwa seorang detektif polisi telah menulisnya setelah memeriksa slide dengan cermat.
Beberapa dari pernyataan ini sebenarnya tidak benar. Misalnya, satu kalimat mungkin menggambarkan bagaimana pelaku memasukkan dompet hasil curiannya ke dalam saku celananya, padahal dalam tayangan slide tersebut dia benar-benar memasukkannya ke dalam jaketnya.
Terakhir, para peserta diminta menyelesaikan tes memori yang menanyakan berbagai detail tentang kejahatan yang mereka saksikan di tayangan slide. Untuk setiap pertanyaan, mereka dapat memilih dari tiga kemungkinan pilihan. Salah satunya benar, sedangkan dua lainnya tidak.
Enam dari pertanyaan yang diajukan mengenai slide yang dijelaskan secara tidak benar dalam narasi polisi. Untuk hal ini, salah satu jawaban yang salah adalah kesalahan informasi yang diberikan oleh narasi. Jika subjek mengatakan ini adalah cara mereka mengingat tayangan slide, ini menunjukkan bahwa itu sebenarnya adalah ingatan palsu berdasarkan narasi. Serangkaian pertanyaan terakhir mengkonfirmasi hal ini dengan meminta subjek untuk menentukan apakah mereka mengingat jawaban mereka berdasarkan tayangan slide, narasi, keduanya, atau tidak sama sekali.
Meskipun rinciannya sama untuk semua peserta, ada satu perbedaan penting. Pada kondisi kontrol, subjek melihat orang asing sebagai korban dalam tayangan slide. Namun, dalam kondisi referensi diri, para peneliti memotret partisipan sebagai korban. Akibatnya, subjek ini melihat tayangan slide di mana seseorang mencuri dompetnya secara pribadi.
Selain itu, beberapa keterangan dalam narasi polisi menyebutkan nama korban. Misalnya, “Pria itu memasukkan dompet Jane ke dalam saku jaketnya.” Untuk lebih meningkatkan rasa referensi diri dalam kondisi ini, nama ini ditukar dengan nama peserta saat mereka di-photoshop sebagai korban.
Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam memori keseluruhan antara kedua kelompok subjek. Saat membandingkan tanggapan atas semua pertanyaan kecuali pertanyaan yang berisi misinformasi, kedua kelompok mengingat dengan akurasi yang sama. Hal ini penting untuk ditetapkan; jika tidak, perbedaan ingatan palsu di antara kelompok-kelompok tersebut mungkin saja disebabkan oleh beberapa faktor asing.
Hasilnya juga menunjukkan adanya ingatan palsu di antara partisipan pada kedua kondisi tersebut. Namun, jumlah ini jauh lebih banyak di antara mereka yang berada dalam kondisi referensi mandiri dibandingkan dalam kondisi kontrol. Rata-rata, subjek dalam kelompok referensi mandiri secara tidak sengaja mengingat 2,74 pertanyaan berdasarkan narasi, bukan tayangan slide. Sebagai perbandingan, rata-rata hanya terdapat 1,77 memori palsu pada kondisi kontrol.
Pengujian yang lebih ketat membatasi perbandingan ini dengan hanya menghitung ingatan palsu di mana responden mengatakan, pada kuesioner berikutnya, bahwa mereka secara khusus mengingat informasi yang salah dari tayangan slide tersebut. Meskipun hal ini mengakibatkan jumlah keseluruhan ingatan palsu menurun pada kedua kelompok, kelompok referensi mandiri masih melaporkan lebih banyak ingatan palsu dibandingkan kelompok kontrol (rata-rata 0,97 berbanding 0,56).
Dalam percobaan kedua, penulis mereplikasi desain penelitian umum yang sama namun memasukkan beberapa revisi. Misalnya, di antara perubahan lainnya, mereka menggunakan sampel yang lebih besar (n = 122) dari subjek Tiongkok. Mereka juga menambah jumlah slide untuk memberikan simulasi kejahatan yang lebih koheren dan mengukur respons emosional subjek terhadap skenario tersebut.
Sekali lagi, subjek dalam kelompok referensi mandiri menunjukkan jumlah ingatan palsu yang jauh lebih tinggi (4,10) dibandingkan subjek dalam kondisi kontrol (3,36). Namun, perbedaannya hilang ketika menggunakan tindakan yang lebih ketat yang mengharuskan subjek menentukan sumber ingatannya. Para penulis berpendapat bahwa hal ini mungkin terjadi karena menyediakan pemeriksaan sumber untuk ingatan palsu menawarkan perlindungan terhadap hal ini; pada gilirannya, hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan budaya antara subjek dalam dua percobaan.
Mekanisme Pembentukan Memori Palsu
Temuan bahwa referensi diri tampaknya meningkatkan kejadian ingatan palsu adalah penting. Hal ini juga agak mengejutkan, mengingat orang biasanya lebih baik dalam mengingat hal-hal yang melibatkan mereka. Namun, penulis mempertimbangkan beberapa kemungkinan penjelasan atas temuan tersebut.
Pertama, keterlibatan pribadi sebagai korban kejahatan mungkin saja menimbulkan masalah pada tahap pengkodean. Dengan kata lain, korban mungkin terlalu fokus pada diri mereka sendiri—bagian paling relevan dari pengalaman mereka—dan mengorbankan detail lain dari peristiwa tersebut. Hal ini, sekali lagi, mengingatkan kita pada bias perhatian yang ditangkap oleh efek gorila yang tidak terlihat.
Karena ingatan mereka terhadap suatu peristiwa sudah lemah, maka mereka mungkin lebih rentan terhadap kesalahan informasi yang muncul kemudian dan rentan terhadap pembentukan ingatan yang salah. Hal ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan selama interogasi atau pemeriksaan silang polisi.
Atau, mungkin saja peningkatan ingatan palsu bukan disebabkan oleh masalah persepsi selama peristiwa tersebut, namun karena pengambilan kembali ingatan tersebut. Ketika diminta untuk mengingat informasi tentang kejahatan yang mereka saksikan, para saksi akan kembali fokus pada detail yang berkaitan dengan diri mereka sendiri. Jika detail ini salah, kemungkinan besar detail tersebut akan dimasukkan ke dalam memori secara keliru.
Penulis memberikan contoh situasi di mana seorang saksi ditanya, “Apa yang Anda lakukan ketika pria dengan ransel merah berjalan melewati Anda?” Jika ransel tersebut benar-benar berwarna biru, kemungkinan besar saksi akan salah mengingatnya sebagai warna merah karena pertanyaan tersebut mengaitkan mereka secara individu dengan detail kejadian tersebut.
Penjelasan terakhir yang potensial berkaitan dengan sifat emosional dari peristiwa tersebut. Emosi negatif seperti rasa takut diketahui berkontribusi terhadap distorsi persepsi dan memori. Menyaksikan suatu kejahatan dapat dengan mudah membangkitkan emosi seperti itu, namun emosi ini mungkin akan menjadi lebih intens jika saksinya juga adalah korban. Ini berarti efek distorsi akan menjadi yang paling kuat bagi individu-individu ini.
Para penulis menemukan bahwa emosi negatif yang lebih kuat dikaitkan dengan lebih banyak ingatan palsu dalam percobaan kedua mereka. Namun, referensi diri masih memiliki pengaruh yang signifikan bahkan setelah mengendalikan respons emosional. Hal ini menunjukkan bahwa hal ini mempunyai efek yang independen, meskipun hal ini dapat diperburuk oleh faktor lain.
Belajar dari Memori Palsu
Pentingnya penelitian seperti ini mempunyai jangkauan yang luas. Mengandalkan ingatan kita atau ingatan orang lain dengan percaya diri bisa menjadi masalah.
Setiap hari, orang-orang berdebat secara sia-sia mengenai detail peristiwa yang mereka ingat secara berbeda; di tabloid, atau dalam percakapan, klaim luar biasa sering kali hanya didukung oleh kesaksian saksi mata. Ternyata, ini bukanlah bukti yang bagus sama sekali. Keputusan yang diambil juri berdasarkan kesaksian semacam ini bisa mempunyai implikasi yang lebih serius, termasuk terkadang secara harafiah berarti perbedaan antara hidup dan mati.
Sayangnya, sangat sedikit orang di masyarakat umum yang menyadari betapa kesalahan ingatan itu. Ingatan kita terasa bisa diandalkan, yang membuat masalah ini menjadi lebih buruk. Hal ini menggarisbawahi perlunya penelitian lebih lanjut yang diarahkan untuk memahami betapa salahnya kesaksian saksi mata.
Namun, hal ini juga menyoroti betapa pentingnya membuat masalah ini diketahui lebih luas. Orang sering mengatakan hal-hal seperti, "Saya tahu apa yang saya lihat" atau "Saya mengingatnya dengan jelas." Klaim seperti ini seharusnya tidak membuat siapa pun merasa percaya diri, melainkan harus menjadi peringatan yang menyerukan kehati-hatian dan skeptisisme.
Terakhir, dalam mempertimbangkan pentingnya penelitian tentang ingatan palsu, perlu diperhatikan dua karakteristik penting dari eksperimen Wang dan rekannya. Pertama, meskipun tidak menyenangkan, simulasi kejahatan yang memicu ingatan palsu bersifat non-kekerasan. Kedua, subjek mengetahui bahwa itu hanyalah simulasi. Jika salah satu atau kedua faktor ini berubah, kemungkinan besar hasilnya juga akan terpengaruh.
Dengan kata lain, efek referensi diri pada ingatan palsu sebenarnya bisa lebih kuat di dunia nyata dibandingkan di laboratorium.
***
Solo, Selasa, 19 Maret 2024. 6:35 pm
Suko Waspodo
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.