Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aruma Hamida

Silent Majority, Suara tak Terdengar Kekuatan tak Terbantahkan

Politik | Monday, 04 Mar 2024, 11:42 WIB

Penahkah anda mendengar istilah Silent Majority? tidak terdengar asing bukan di telinga kita? Usai pemungutan suara pada pemilihan umum (Pemilu) 2024, ungkapan ini kembali menjadi sorotan dan viral di berbagai social media. Pasalnya perolehan suara Pasangan Calon (Paslon) 02 (Prabowo-Gibran) unggul jauh dari Paslon lainnya berdasarkan penghitungan resmi (real count) KPU dengan progres suara masuk 78,08% Senin, (04/03/2024). Keunggulan Paslon nomor urut 02 disebut-sebut karena faktor Silent Majority yang cenderung enggan menyampaikan pendapatnya, terutama terkait isu-isu seperti pemilu, isu sosial, dan kampanye politik.

Capres dan cawapres Prabowo-Gibran mendominasi dengan perolehan suara sementara mencapai 58,83% suara. Paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menyusul diposisi kedua dengan angka 24,49% suara. Sedangkan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD berada di posisi terakhir dengan perolehan 16,68% suara.

Berdasarkan Journal of American Studies, istilah “Silent Majority” pertama kali digunakan oleh Presiden Richard Nixon pada tahun 1969 di Amerika Serikat. Nixon merujuk kepada sekelompok besar orang Amerika konservatif yang tidak mengungkapkan pendapat mereka secara terbuka, dibandingkan dengan minoritas vokal (Noisy Minority) yang secara aktif menyuarakan pendapat atau berkampanye.

Ilustrasi Silent Majority (sumber: www.bing.com/images)

Secara umum konsep Silent Majority mencerminkan bahwa perspektif mayoritas masyarakat tidak selalu terwakili secara jelas, dalam narasi media, debat publik maupun aktivitas politik. Namun tetap memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil ketetapan akhir.

Dalam dunia Pemerintahan pada dasarnya, ASN, TNI, dan Polri diharapkan untuk mempertahankan netralitas mereka selama proses pemilu. Netralitas ini diperlukan agar lembaga-lembaga pemerintahan tetap menjaga integritas, keadilan, dan demokrasi. Sikap netral ini juga menciptakan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga tersebut, menghindari konflik kepentingan, dan memastikan bahwa keputusan dan tindakan yang diambil berdasarkan prinsip profesionalisme.

ASN diminta tetap netral dan tidak ikut serta dalam dunia politik, apalagi berekspresi dengan berpose menonjolkan kecenderungan tertentu terhadap salah satu pasangan calon. Partisipasi terbuka mereka dapat menimbulkan potensi konflik kepentingan dan melemahkan integritas sistem demokrasi. Peraturan mengenai pedoman pembinaan dan pengawasan netralitas untuk ASN tercantum di Surat Keputusan Bersama Menpan RB No. 2 Tahun 2022 yang ditetapkan oleh BKN, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, Komisi ASN dan Badan Pengawas Pemilu.

Dikutip dari akun instagram Badan Kepegawaian Negara (BKN) @bkngoidofficial: "Ketimbang ribet belakangan, lebih baik pencegahan yang dikedepankan". ASN yang tidak netral akan dikenakan sanksi mulai dari sanksi ringan seperti penurunan pangkat hingga sanksi berat seperti pemberhentian.

Partisipasi yang tenang namun efektif memberikan kontribusi signifikan terhadap stabilitas politik dan demokrasi. Komitmen mereka terhadap netralitas dan profesionalisme berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mencapai proses pemilu yang adil, transparan, dan bebas dari intervensi politik yang tidak sah.

Potensi keberadaan Silent Majority dari 3 Pilar (ASN, TNI, dan Polri) dapat kita temukan juga dalam upaya pemberantasan korupsi. Mereka merupakan sekelompok orang yang memiliki pandangan positif terhadap reformasi dan upaya anti-korupsi, namun mereka cenderung lebih memilih untuk tidak bersuara secara terbuka karena alasan tertentu. Upaya pemberantasan korupsi di kalangan pemerintahan membutuhkan pembentukan sistem pengawasan internal yang kuat. Jika terdapat kelompok mayoritas yang memiliki sikap anti-korupsi, dapat berperan sebagai mata dan telinga ekstra yang membantu memonitor perilaku koruptif di sekitar mereka.

Pentingnya menggerakkan Silent Majority terletak pada kemampuannya untuk menciptakan tekanan sosial internal. Strategi untuk memobilisasi kelompok ini dapat dilakukan melalui dunia maya dengan sistem pengaduan yang dapat memberikan jaminan keamanan bagi mereka yang ingin melaporkan tindakan korupsi atau sekedar menyuarakan keprihatinan.

Misalnya saja melalui KPK Whistleblower's System (KWS) masyarakat dapat memberikan akses informasi ataupun laporan dugaan tindak pidana korupsi (TPK) yang terjadi di sekitarnya. Kerahasiaan identitas pelapor dijamin dari kemungkinan terungkap ke publik. Melalui fasilitas ini, pelapor juga dapat secara aktif berperan serta memantau perkembangan laporan yang disampaikan dengan membuka kotak komunikasi rahasia tanpa perlu merasa khawatir identitasnya akan diketahui orang lain.

Laman KPK Whistleblower System (sumber: www.kws.kpk.go.id)

Caranya cukup dengan mengunjungi website KPK: www.kpk.go.id, lalu pilih menu "KPK Whistleblower's System", atau langsung mengaksesnya melalui: http://kws.kpk.go.id Informasi yang valid disertai bukti pendukung yang kuat akan sangat membantu KPK dalam menuntaskan suatu perkara korupsi.

Selain itu, kampanye media sosial melalui konten-konten pendidikan dan kampanye anti-korupsi dapat membantu mereka memahami peran krusial mereka dalam pemberantasan korupsi.

Pemberdayaan kelompok Silent Majority melalui penyuluhan, pelatihan etika, dan peningkatan kesadaran akan dampak buruk korupsi dapat memacu partisipasi mereka dalam upaya pemberantasan. Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga terkait perlu mendorong partisipasi aktif dari mereka dengan memberikan jaminan bagi mereka yang bersedia melaporkan tindakan korupsi. Jika perlindungan kerahasiaan masih dirasa kurang, KPK juga dapat memberikan pengamanan fisik sesuai dengan permintaan pelapor.

Jadi, apakah anda merupakan bagian dari Silent Majority tentang tindakan korupsi?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image